NGABANDUNGAN: Palestina vs Israel 2-0
Seandainya timnas Israel jadi main di Indonesia, atau mungkin di Bandung, masih banyak cara untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina.
Iman Herdiana
Editor BandungBergerak.id, bisa dihubungi melalui email: [email protected].
28 Maret 2023
BandungBergerak.id - “Boikot (negara-negara) Arab menyebabkan pengucilan sepak bola Israel dari konfederasi Asia, memindahkan kompetisi kualifikasi Piala Dunia dan Olimpiade Israel ke grup Oseania,” demikian penggalan sejarah timnas Israel di situs resmi Asosiasi Sepak Bola Israel, IFA (Football.org.il, diakses Selasa (28/3/2023)). Mengapa negara-negara Arab memboikot? Tidak dijelaskan dalam situs resmi ini. Yang pasti, karena politik.
Sepak bola kok dihubung-hubungkan sama politik? Sebelum menjawab pertanyaan ini, sekarang Indonesia sedang sibuk mempersiapkan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Di sela-sela persiapan Piala Dunia U-20, prokontra kehadiran Timnas Israel riuh disuarakan pelbagai kalangan, mulai tokoh agama, pejabat, politikus partai politik, dan lain-lain. Menolak kehadiran timnas Israel ini jelas sebagai sikap politik.
Berbagai alasan muncul di balik penolakan itu, salah satunya karena fakta umum bahwa Israel telah mempraktikkan kolonialisme di Palestina. Di balik kencangnya suara-suara penolakan ini, tentu ada motif-motif tersendiri yang tersembunyi, misalnya motif politis karena Indonesia sedang berada di tahun politik.
Pengamat hubungan internasional di Universitas Indonesia Broto Wardoyo mengatakan, polemik kehadiran timnas Israel ke Indonesia terkait dengan menghangatnya situasi politik menjelang pilpres pada Februari 2024. Isu Palestina, kata Broto, selalu dipakai sebagai komoditas politik dalam negeri (voaindonesia.com, Selasa (3/28/2023)).
Membicarakan timnas Israel mau tidak mau akan menyinggung timnas Palestina yang jauh lebih lebih dulu berdiri, lalu akan terkait dengan berdirinya negara Israel. Sejarah mencatat, pendirian negara Israel yang disokong Inggris dan negara-negara barat memicu pergolakan di Timur Tengah. Salah satu puncak pergolakan ini adalah ledakan perang 1967 yang melibatkan Mesir, Yordania, Suriah, Bairut, Arab Saudi, Irak, dan Palestina melawan Israel. Negara-negara Arab plus Mesir ini tidak terima atas kemerdekaan Israel di tanah Palestina (Palestina Dan Israel: Sejarah, Konflik dan Masa Depan, Misri A. Muchsin Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry, diakses Selasa (28/3/2023)).
Sejarah kemudian memberitahu kita bahwa perang tersebut dimenangkan Israel (yang didukung barat). Kini negara-negara Arab tidak lagi memerangi Israel. Mereka mungkin sibuk mengamankan urusan nasionalnya masing-masing. Bahkan beberapa negara Arab yang tadinya menolak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, belakangan membuat perjanjian diplomatik. Tinggal Palestina yang kini terus-menerus diperangi Israel.
Di dunia sepak bola, peperangan itu tak berhenti. Di tahun yang sama dengan berdirinya Israel, Asosiasi Sepak Bola Israel dibentuk. Pada tahun tersebut sebenarnya Asosiasi Sepak Bola Palestina sudah lama eksis. Menurut Laurent Dubois dalam Soccer Politics, Asosiasi Sepak Bola Palestina didirikan pada 1928, kemudian menjadi anggota FIFA dan berkompetisi dalam turnamen selama beberapa dekade berikutnya. Begitu muncul Israel, maka posisi Asosiasi Sepak Bola Palestina di FIFA digantikan oleh Asosiasi Sepak Bola Palestina.
Jadi, begitu mencaplok Palestina secara militer, Israel juga mendominasi di panggung sepak bola. Menurut Dubois, Asosiasi Sepak Bola Israel kemudian bergabung dengan Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) pada tahun 1954. AFC mencakup wilayah geografis terbesar di dunia, membentang dari Jepang hingga Timur Tengah. Di sinilah tekanan politik terhadap Israel dari negara-negara Arab meningkat dan memuncak pada pengusiran dari Konfederasi pada tahun 1974.
Terkucil di Asia, sebagaimana keterangan di situs resminya, timnas Israel sempat berkompetisi di Oseania. Namun bukan Israel kalau tidak banyak akal. Mereka lantas berusaha bergabung dengan UEFA agar bisa berkompetisi di Eropa. Begitulah gerakan lincah seperti ular dimainkan Israel yang akhirnya mendapatkan keanggotaan penuh di Eropa pada 1994, walaupun dalam praktiknya tampak ganjil karena ia menjadi satu-satunya negara di Asia yang berkompetisi UEFA seperti Piala Eropa, sementara negara-negara sekitarnya berkompetisi di Konfederasi Sepak Bola Asia.
Bagaimana dengan nasib Federasi Sepak Bola Palestina yang tempatnya di FIFA diambil alih Israel? Federasi Sepak Bola Palestina sempat mati suri seiring pergolakan di negerinya karena politik apartheid yang diterapkan Israel. Baru pada tahun 1998, Dubois mencatat, dengan pembentukan Otoritas Nasional Palestina, Asosiasi Sepak Bola Palestina didirikan kembali, diterima oleh FIFA, dan Konfederasi Sepak Bola Asia.
Berbeda dengan langkah-langkah moncer Israel di dunia sepak bola, perjalanan Asosiasi Sepak Bola Palestina lebih banyak tertatih-tatih. Penyebab utamanya tidak lain karena politik neokolonial Israel yang mencengkeram di segala lini, termasuk sepak bola. Palestina kesulitan membangun timnas yang solid manakala negerinya terus-menerus mendapat teror. Teror Israel yang paling telanjang pada sepak bola Palestina adalah pengeboman stadion sepak bola di Gaza pada 2012 (republika.co.id, diakses Selasa (3/28/2023)).
Pengeboman stadion di Gaza memicu protes keras dari 62 pesepak bola profesional. Mereka mengunggah protesnya di situs Frédéric Kanouté; Didier Drogba dan Eden Hazard menjadi bagian dari protes ini. Mereka bersolidaritas untuk rakyat Gaza, dan secara khusus menyebut pengeboman stadion sepak bola itu mengakibatkan kematian empat remaja laki-laki (walaupun, seperti biasa, Israel mengklaim bahwa stadion sepak bola itu digunakan sebagai gudang senjata dan tempat peluncuran roket oleh Hamas).
Baca Juga: NGABANDUNGAN: Sajak Kritis Politik Pendidikan
NGABANDUNGAN: Bunga Rawa dan Burung Pelikan
NGABANDUNGAN: Winter is Coming di Tahun Politik
Kemenangan Palestina
Hubungan politik dan sepak bola Palestina-Israel paling mutakhir, sebelum ramai-ramai penolakan timnas Israel di Indonesia, adalah Piala Dunia 2022. Sebagai negara terus-terusan dijegal Israel, Palestina tentu tidak lolos Piala Dunia yang digelar di negeri sendiri, Qatar (Timur Tengah). Namun penonton justru yakin Palestina menjadi "negara ke-33" di turnamen sejagat ini. Sebutan ini datang dari beberapa media Amerika Latin, seperti ditulis Dima Khatib, Managing Director AJ+ Channels, dalam artikelnya (aljazeera.com, diakses Selasa (28/3/2023))
Khatib menulis judul artikelnya “Piala Dunia 2022: Palestina Mengalahkan Israel di Panggung Besar Sepak Bola”, padahal Palestina maupun Israel tidak mengikuti kompetisi yang diikuti 32 negara itu. Bagaimana mungkin Palestina bisa menang?
Khatib mengawali artikelnya dengan pandangan mata soal banyaknya bendera Palestina, ban lengan dan gelang Palestina, dan nyanyian “bebaskan Palestina” di stadion, zona penggemar, di jalan-jalan, dan di media sosial saat berlangsungnya Piala Dunia Qatar.
Singkatnya, “... Palestina.... mencetak gol di hati dan pikiran penggemar dari seluruh dunia,” tulis Khatib. Menurut Khatib, bendera atau atribut Palestina ada di mana-mana, di dalam maupun di luar stadion. Bahkan dalam beberapa partai pertandingan, bendera-bendera jumbo Palestina terbentang di tribun-tribun penonton diiringi teriakan dan nyanyian “bebaskan Palestina”.
Para pemain Maroko mengibarkan bendera Palestina di lapangan ketika sukses mengalahkan Kanada dan Spanyol. Sejumlah pertandingan juga menampilkan bendera Palestina yang dikibarkan pada menit ke-48, disertai dengan nyanyian pro-Palestina, untuk mengingatkan dunia akan Nakba (malapetaka) yang dialami warga Palestina pada tahun 1948 ketika ratusan ribu warga Palestina direbut dan berubah menjadi pengungsi seumur hidup.
Pemberian dukungan kepada Palestina bukan hanya dilakukan oleh orang-orang Timur Tengah, melainkan juga oleh penonton dari luar Arab, seperti Amerika Latin. Para pendukung Brasil, tulis Khatib, juga meneriakkan “Bebaskan Palestina, Bebaskan Palestina”, saat mereka berada di metro Doha menuju pertandingan melawan Kamerun.
“Fans dari seluruh dunia dengan senang hati menerima dan mengibarkan bendera Palestina yang diberikan oleh warga Palestina di jalan-jalan Doha,” tulis Khatib.
Khatib tak hanya mengkritik Israel, tapi juga menyindir pemerintah di negara-negara Timur Tengah yang tidak mau mendengarkan aspirasi rakyatnya yang menginginkan kebebasan Palestina. Namun rakyat di Timur Tengah, bahkan dunia, memiliki cara sendiri dalam memboikot Israel. Dan mereka menang. Khatib membukukan kemenangan 1-0 untuk Palestina vs Israel.
Politik yang kerap membayangi perjalanan sepak bola Palestina dan Israel (dan sepak bola dunia) tampaknya masih akan terus berkembang sejalan dengan hubungan rumit kedua negara ini. Sulit untuk meramalkan bagaimana akhirnya, sesulit menjawab kapan Israel bisa enyah dari tanah Palestina.
Politik sepak bola Palestina-Israel paling mutakhir kembali terjadi kini, ketika orang-orang ramai-ramai menolak Israel berlaga di Indonesia. Namun jika mau bercermin dari Piala Dunia Qatar, penolakan atau boikot bisa dilakukan dengan banyak cara tanpa harus dikompori politikus atau tokoh mana pun yang menjadikan Palestina sebagai komoditas politik. Rakyat punya caranya sendiri.
Bisa dibayangkan ketika Israel akhirnya bermain di Indonesia, mungkin di Bandung di stadion GBLA, seluruh stadion penuh dengan bendera-bendera jumbo Palestina dan diiringi nyanyian kemerdekaan untuk Palestina seperti di Piala Dunia Qatar. Peristiwa yang disaksikan mata dunia ini akan memiliki makna tersendiri sebagai penolakan dan perlawanan terhadap neokolonial yang sudah lama dicita-citakan oleh para peserta Konferensi Asia Afrika tahun 1955 – karena jangan lupa, Konferensi Asia Afrika masih memiliki utang kemerdekaan untuk Palestina. Lalu papan skor pun akan berubah menjadi 2-0 untuk kemenangan Palestina atas Israel.