• Nusantara
  • Penyegelan Gereja di Purwakarta Melanggar HAM

Penyegelan Gereja di Purwakarta Melanggar HAM

Tindakan Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika bertentangan dengan konstitusi yang menjambin kebebasan beragama dan berkeyakinan warga negara.

Kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin konstitusi Indonesia. (Foto Ilustrasi: LBH Bandung)

Penulis Iman Herdiana5 April 2023


BandungBergerak.idKasus pelanggaran hak asasi manusia terkait kebebasan beragama terjadi di Purwakarta, Jawa Barat. Ironisnya, pelanggaran dilakukan oleh Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika yang melakukan penyegelan terhadap bangunan Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Purwakarta, 1 April 2023 lalu.

Anne Ratna Mustika menyatakan penyegelan itu dilakukan karena GKPS Purwakarta tidak berizin dan untuk menghindari konflik di antara masyarakat. Tindakan Anne atas nama Pemerintah Kabupaten Purwakarta ini menuai kecaman dari organisasi masyarakat sipil di bidang hak asasi manusia.

Direktur LBH Bandung Lasma Natalia mengatakan tindakan Bupati Purwakarta mencerminkan bahwa negara masih tetap aktif dalam melakukan tindakan pelanggaran HAM pada isu kebebasan beragama dan berkeyakinan. Negara semestinya hadir dalam wujud penghormatan bagi siapapun yang akan melakukan kegiatan ibadah keagamaan, sebagaimana dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Kedua, kata Lasma, perihal perizinan yang dijadikan alasan bupati Purwakarta dalam melakukan penyegelan adalah urusan administrasi negara yang tidak bisa menjadi alasan untuk menggugurkan jaminan hak asasi sesuai amanat konstitusi. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan:

(1) setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; (2) negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan kepercayaan itu jelas dan terang benderang bahwa dengan adanya tindakan Bupati Purwakarta ini menambah perlakuan negara yang diskriminasi terhadap kelompok agama tertentu.

“Selaku seorang kepala daerah, Bupati Purwakarta semestinya mengedepankan nilai-nilai toleransi dan melakukan langkah mempermudah serta mempercepat proses perizinan pendirian rumah ibadah yang mana itu menjadi tugasnya,” kata Lasma, dalam pernyataan resminya, Selasa (5/4/2023).

Tugas kepala daerah tersebut  sebagaimana tertulis dalam Pasal 6 ayat (1) huruf (e) peraturan bersama dua menteri tahun 2006, yakni menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Rumah Ibadah. Akan tetapi dalam hal ini Bupati Purwakarta justru bertindak sebaliknya, yakni malah melakukan pembatasan kegiatan beribadah untuk kelompok lain.

Sementara itu, Setara Institute mengecam keras penyegelan GKPS Purwakarta. Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan menyatakan, beribadah merupakan hak dasar yang dijamin oleh konstitusi negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

“Perizinan yang dipersoalkan oleh Pemkab Purwakarta adalah persoalan administrasi yang tidak boleh mengalahkan jaminan hak asasi di dalam konstitusi,” kata Halili Hasan, dalam pernyataan resmi.

Pemkab Purwakarta memiliki kewajiban untuk memfasilitasi GKPS sampai rumah ibadah tersebut layak secara administratif. Kewajiban ini merupakan salah satu penekanan dalam PBM 2 Menteri Nomor 9 dan 8 tahun 2006, terutama pada Pasal 14, selain syarat pendirian.

Setara Institute juga melihat bahwa pihak GKPS sebenarnya tidak memiliki masalah serius dengan masyarakat setempat, termasuk dalam bentuk penolakan. Pihak gereja juga telah membangun kedekatan dan harmoni sebagai salah satu upaya untuk mendapatkan dukungan.

Baca Juga: Rumah Sakit Jiwa Pertama di Hindia Belanda Didirikan di Bogor
Organisasi Masyarakat Sipil Satu Suara Menolak Perppu Cipta Kerja
Keluhan Warga Bogor dan Garut, Jalan Provinsi Jabar Rusak dan Berlubang

Namun, Pemkab secara tiba-tiba mengambil tindakan penyegelan hanya karena gereja tersebut didatangi oleh sekelompok orang berpakaian putih dari luar masyarakat setempat, yang berusaha membubarkan ibadah GKPS pada 19 Maret 2023 dan 26 Maret 2023.

Pihak GKPS-lah yang kemudian melaporkan upaya menghalang-halangi peribadatan mereka kepada aparat setempat. Namun laporan GKPS tersebut ‘berbuah’ penyegelan dengan alasan perizinan.

“Tampak sekali bahwa Pemkab tunduk pada kelompok intoleran,” kata Halili Hasan.

Setara Institute lalu mempersoalkan solusi yang ditawarkan oleh Bupati Anne. Setelah penyegelan, ia menyarankan agar jemaat GKPS beribadah di gereja lain, seperti Gereja Isa Almasih.

Solusi dari Bupati Anne dinilai memprihatinkan. Di dalam agama Kristen terdapat banyak denominasi dan aliran yang mereka sulit dan tidak dapat bergantian dalam penggunaan satu gereja untuk denominasi atau aliran yang berbeda.

“Di samping itu, persoalan jarak juga akan menjadi masalah tersendiri bagi jemaat GKPS. Hal itu menunjukkan bahwa Bupati tidak mengkaji secara komprehensif persoalan GKPS dan hanya tunduk begitu saja pada tekanan kelompok intoleran,” katanya.

Halili Hasan kemudian mendesak Pemkab Purwakarta dan Pemerintah Pusat untuk segera membatalkan penyegelan GKPS dan memfasilitasi penggunaan gereja tersebut untuk peribadatan.Terlebih tidak lama lagi umat Kristiani akan merayakan Paskah 2023. GKPS juga harus diberi waktu untuk menyelesaikan urusan administrasi perizinan.

Sebelumnya, kehidupan umat beragama di Purwakarta cukup terbangun damai dalam kebinekaan. Hak-hak kaum minoritas terjamin. Namun penyegelan GKPS oleh Bupati Anne merupakan kemunduran serius dalam perlindungan kelompok minoritas di Purwakarta.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//