Bale Bandung, Pasebannya Kota Bandung
Bale Bandung di Alun-alun sempat menjadi tempat berlangsungnya pengadilan pribumi atau Landraad. Kemudian dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan sebelum ditinggalkan.
Dewi Diana Saraswati
Penikmat sejarah Kota Bandung. Tergabung dalam beberapa komunitas, seperti Braga Heritage, Sahabat Heritage Indonesia, dan Heritage Lover.
8 April 2023
BandungBergerak.id – Pada kota-kota tua yang tersebar di Pulau Jawa, banyak yang membangun pusat pemerintahannya dengan menempatkan beberapa komponen utama di lokasi yang sama. Komponen tersebut di antaranya adalah alun-alun yang berupa ruang terbuka, keraton yang merupakan kediaman penguasa sebagai pusat kekuasaan, paseban atau sitinggil, dan candi atau masjid sebagai tempat peribadatan. Keberadaan masjid ini menggantikan candi seiring masuknya agama Islam dan terkadang dilengkapi dengan adanya kompleks makam orang-orang yang dianggap penting.
Alun-alun sendiri merupakan konsep ruang terbuka publik yang sudah dikenal masyarakat Jawa tradisional sejak zaman Majapahit hingga kerajaan Mataram sebagai bagian dari keraton. Kata alun-alun sendiri memiliki makna sebagai tempat yang bergetar bagai ombak karena pengaruh panas matahari pada siang hari. Tempat tersebut terlihat bergetar bagai ombak mengalun (bahasa Jawa: amun-amun). Makna lain kata alun-alun berasal dari kata Jawa alon-alon atau berjalan lambat-lambat atau sabar. Kondisi ini sesuai dengan kepercayaan sebagian masyarakat Jawa bahwa karena alun-alun termasuk bagian wilayah keraton, maka mereka menghormati tempat tinggal rajanya dengan berjalan pelan-pelan (alon-alon) (Sujiyo Miranto, Tinjauan Fungsi Ekologis Alun-Alun Tradisional Jawa. The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran,135-141. 2016).
Begitu juga ketika pusat pemerintahan Kabupaten Bandung dipindahkan dari Krapyak ke sisi barat Sungai Cikapundung, pusat pemerintahan yang baru ini juga memiliki komponen pembentukan kota tradisional tersebut. Bandung mempunyai alun-alun sebagai ruang terbuka, kediaman bupati (regentswoning) sebagai pusat kekuasaan, masjid sebagai pusat peribadatan, dan paseban. Paseban mempunyai arti balai yang digunakan untuk menghadap bupati (seba). Meski ada juga yang menyebutnya sebagai sitinggil atau siti hinggil yang mempunyai arti tanah yang ditinggikan, namun paseban di Bandung ini lebih dikenal dengan nama Bale Bandung.
Keberadaan Bale Bandung ini oleh Andries de Wilde, Asisten Residen pertama Bandung, ditulis dalam bukunya, De Preanger Regentschappen op Java Gelegen, bahwa di antara gapura alun-alun dan gapura yang menuju Gedong atau Boemi Dalem tempat tinggal bupati terdapat bangunan yang disebut Bale Bandung.
M. Buys juga menulis dalam bukunya Batavia, Buitenzorg en de Preanger (1891), bahwa di sebelah selatan alun-alun, di depan pagar batu, terdapat bangunan dengan kubah tinggi seperti yang biasa ditemukan pada alun-alun di Jawa. Di belakangnya terdapat rumah bupati, yang digunakan untuk mengadakan pesta dan menerima tamu-tamu Eropa.
Dari tulisan Andries de Wild dan M. Buys tersebut, maka kita bisa mengetahui bahwa Bale Bandung terletak di sebelah selatan alun-alun, di antara alun-alun dan rumah bupati. Hal tersebut juga memperlihatkan bahwa letak Bale Bandung serupa dengan beberapa kota tua lainnya pada saat itu seperti Cirebon, Malang, Purwokerto, Cianjur, Indramayu, dsb., yang ingin menjadikan pusat pemerintahannya sebagai miniatur keraton dengan meletakkan paseban di depan kediaman bupati, menghadap alun-alun.
Posisi Bale Bandung ini juga bisa kita lihat pada peta Kota Bandung tahun 1905. Dari peta tersebut kita bisa melihat posisi tepatnya Bale Bandung, yaitu seperti yang ditulis Andries de Wilde, terletak di antara alun-alun dan kediaman bupati, di lokasi yang sekarang menjadi Jalan Dalem Kaum.
Baca Juga: Perjalanan Panjang Mendapatkan Surat Keterangan Disabilitas bagi Orang dengan Autisme dan ADHD Dewasa
Tuak dalam Keseharian Masyarakat Balige Sumatera Utara
MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #4: Sastra Perlawanan
Suardi Tasrif, dari Sastra, Jurnalistik, hingga Advokat
Bentuk Bale Bandung
Lalu, bagaimanakah bentuk dari Bale Bandung itu sendiri? Masih dalam catatan Andries de Wilde dijelaskan bahwa Bale Bandung merupakan bangunan luas dan sebagian besar terbuka, atapnya bertumpu pada dua baris tiang, dan lantainya dinaikkan dua atau tiga kaki di atas tanah. Berikut penampakan dari Bale Bandung berdasarkan foto yang berasal dari collectie.wereldculturen.nl.
Dari foto tersebut kita bisa melihat bahwa Bale Bandung mempunyai bentuk yang hampir serupa dengan bale lainnya yang ada di berbagai daerah di Jawa dan Bali, yaitu berupa ruang terbuka, tanpa dinding, beratap limas yang disangga oleh beberapa tiang atau pilar, dengan lantai yang lebih tinggi dari tanah di sekitarnya. Peninggian lantai sendiri dalam sebuah ruangan menurut Kopendium Sejarah Arsitektur (Djauhari Sumintardja: 1978: 14) mempunyai arti simbolis bahwa ruangan tersebut mempunyai penggunaan yang lebih penting.
Dalam buku Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 1998, pada halaman 59 dijelaskan bahwa dalam bahasa Jawa, Bale berarti balai, rumah atau bangunan, pendopo. Sedang dalam bahasa Sunda, kata bale berarti semacam bangku tempat duduk orang-orang desa sambil berbincang-bincang sesama tetangga rumah. Bale Desa sendiri merupakan bangunan tempat diadakannya musyawarah desa yang sebagian besar tidak berdinding dengan tujuan memudahkan orang untuk datang berkunjung.
Masih dalam buku yang sama juga dijelaskan bahwa bale desa banyak ditemukan di tiap desa di Jawa Barat, yang dibuat pada masa pemerintah Hindia Belanda sebagai akibat pembentukan desa-desa pada masa itu. Di beberapa tempat, bangunan bale bisa berbentuk bujur sangkar atau persegi panjang, berkolong, dengan atap berbentuk limas. Bangunan Bale Desa kemudian mengalami perubahan dengan penambahan ruangan dan tiang-tiang. Bahan yang digunakan juga beralih dari yang awalnya menggunakan bahan sederhana seperti kayu dan papan menjadi bata dan semen.
Alasan kenapa sebuah bale biasanya tidak mempunyai dinding, ini bertujuan untuk memperlancar sirkulasi udara, sehingga ketika pertemuan dilakukan dengan dihadiri banyak orang, pertemuan tetap dapat berlangsung dengan baik tanpa terganggu udara panas. Keadaan ruangan yang terbuka juga memudahkan penggunaannya untuk kepentingan umum lainnya.
Fungsi Bale Bandung di Zaman Kolonial
Bale di berbagai daerah digunakan untuk banyak hal, tapi hal yang paling umum, bale yang terdapat di pusat kota tradisional pada masa kolonial banyak digunakan sebagai tempat berlangsungnya pengadilan pribumi atau Landraad. Landraad terdapat di setiap ibukota kabupaten di Jawa-Madura dan setiap ibukota di Residentie di Tanah Seberang serta beberapa kota lainnya. Terdapat 80 buah Landraad di Jawa-Madura, dan 82 buah di Tanah Seberang. Selain digunakan sebagai pengadilan pribumi, Landraad juga digunakan untuk pengadilan pidana bagi golongan orang Timur Asing. (Koerniatmanto Soetoprawiro, Susunan dan Kedudukan Pemerintahan Pusat, Pemerintahan di Daerah, serta Peradilan pada masa Hindia Belanda, 2018).
Demikianlah, Bale Bandung kemudian juga digunakan sebagai tempat berlangsungnya pengadilan pribumi, seiring dengan dibentuknya Landraad Bandung pada tahun 1831 seperti yang tercatat dalam Het Preanger Stelsel (1677-1871) en Zijn Nawerking (1931:93).
Bale Bandung digunakan sebagai Landraad setidaknya sampai tahun 1898, ketika pada tahun tersebut Landraadzaal dibangun oleh Burgerlijke Openbare Werken (B.O.W.) di pinggiran Grootepostweg. Setelahnya, Bale Bandung sendiri kemudian digunakan untuk berbagai kegiatan, di antaranya sebagai tempat belajar bagi 13 anak calon siswa Frobelschool (sekolah taman kanak-kanak) yang didirikan oleh anggota St.Jan. (M. Ryzki Wiryawan, Okultisme di Bandoeng Doeloe, 3014:124). Bale Bandung juga dijadikan sebagai tempat pemberian vaksin cacar gratis, seperti yang dimuat dalam Preanger Bode tanggal 24 April 1902. Namun, seiring dengan berjalannya waktu Bale Bandung mulai jarang digunakan sampai akhirnya tidak digunakan sama sekali.
Pada foto tahun 1920 tersebut kita bisa melihat kondisi Bale Bandung yang tak terawat dan dikelilingi pagar bambu untuk menghalangi siapa pun yang hendak masuk ke dalamnya. Kondisi Bale Bandung tersebut merupakan salah satu contoh menurunnya pamor paseban di berbagai kota di Pulau Jawa. Contoh lainnya terjadi di Batang Kabupaten Kendal, di mana dua buah paseban di kota tersebut berubah menjadi kantor untuk urusan dinas kesehatan medis. Bahkan di Pemalang, dua buah paseban yang berada di alun-alun dipasangi dinding yang dipaku rapat, dan dijadikan sebagai penjara tambahan (De Locomotief, 06-02-1940).
Bale Bandung sendiri belum diketahui kapan tepatnya dihancurkan, tapi keberadaannya sudah tidak lagi tercantum dalam peta Bandung tahun 1921. Kegiatan-kegiatan masyarakat pun kemudian dipusatkan di pendopo yang mengalami perubahan seiring dengan dilakukannya perombakan terhadap komplek kediaman bupati. Bangunan pendopo yang diperluas selain digunakan bupati untuk menerima tamu juga digunakan sebagai tempat pertunjukkan seni dan kegiatan lainnya, seperti upacara pernikahan putri Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusuma V pada Juli 1929 dan tempat pemberian penghargaan Orange Nassau kepada Raden Dewi Sartika pada akhir Februari 1940.
Dengan dihilangkannya Bale Bandung tersebut menandai bahwa Bale Bandung sebagai paseban yang merupakan salah satu komponen pembentukan kota tradisional yang meniru tatanan keraton Mataram, keberadaannya tidak lagi dianggap sebagai suatu keharusan. Bisa dikatakan ini menandakan mulai menurunnya nilai-nilai tradisional pada Kota Bandung pada saat itu. Hal tersebut berkebalikan dengan semakin kuatnya pengaruh kolonial seiring dengan semakin pesatnya perkembangan Kota Bandung. Hal ini bisa dilihat dari semakin banyaknya bangunan di sekitar alun-alun yang dibangun untuk menunjang keperluan orang Eropa, seperti bank, pertokoan, dan societeit. Meski disayangkan, perubahan ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari dari perjalanan sejarah Kota Bandung. Kita juga tidak bisa menampik bahwa perubahan tersebutlah yang menjadi salah satu faktor terciptanya Bandung sebagai kota yang memiliki banyak peninggalan bangunan kolonial seperti yang kita kenal saat ini.