RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #16: Suwardi Suryaningrat Menjadi Ketua NIP-Sarekat Hindia
Pergantian Insulinde menjadi Nationaal Indische Partij-Sarekat Hindia memiliki tujuan sebagai perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
10 April 2023
BandungBergerak.id – Setelah mengambil alih hoofdbestuur (Pengurus Besar) Nationaal Indische Partij untuk menjadi ketua sementara, Suwardi Suryaningrat dipilih secara resmi dalam pertemuan umum yang berlangsung di Surakarta pada 15 Oktober 1919. Pertemuan yang digelar oleh NIP afdeeling Surakarta atas prakarsa Tjipto itu, menghadirkan juga Tjokroaminoto sebagai perwakilan dari Centraal Sarekat Islam. Selain itu, sebanyak 2000 orang anggota memadati ruang rapat terbuka, dan menjadi pertemuan pertama sejak dilarangnya berbagai pertemuan petani Insulinde oleh residen Surakarta (Shiraishi, 2005:251).
Tentu saja, dengan banyaknya jumlah yang hadir dalam pertemuan tersebut menandai pula kebangkitan Nationaal Indische Partij-Sarekat Hindia pada awal kepemimpinan Suwardi. Takashi Shiraishi menilai, kendati Tjipto merupakan sang inisiator dalam menggerakkan rapat umum, Suwardi dan Tjokroaminoto menjadi tokoh utama jalannya pertemuan afdeeling Surakarta itu. Di sana, baik Suwardi maupun Tjokro, tidak menyinggung sedikit pun soal serangan Tjipto terhadap kasunanan dan para priayi di Surakarta mengenai kampanye anti rajanya.
Sementara itu, Suwardi menyatakan dalam pidatonya, bahwa pergantian Insulinde menjadi Nationaal Indische Partij-Sarekat Hindia memiliki tujuan sebagai perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme. Ia juga mengemukakan untuk bekerja sama dan bergotong-royong dengan pihak Sarekat Islam. Lalu dalam pidatonya juga Tjokroaminoto merespons dengan jawaban yang sama. Ia menaruh harapan bahwa NIP dan Sarekat Islam betul-betul dapat bekerja sama (Het Nieuws van den dag 23 October 1919), sehingga, menurut Takashi Shiraishi, upaya kerja sama dan gotong royong itu dapat dibaca melalui konteks pergerakan NIP Surakarta, dan juga dapat dipahami sebagai pembentukan kelompok gabungan—antara Sarekat Islam dan Nationaal Indische Partij—yang dianggap suatu perkumpulan kaum kromo untuk memerangi pro-kerajaan dan keningratan (Shiraishi, 2005:251-252).
Tentu saja, pembacaan Takashi tersebut bisa saja sejalan dengan pernyataan Tjokroaminoto. Dalam pertemuan umum itu Tjokro mengungkapkan bahwa Sarekat Islam setuju dengan NIP dalam berbagai hal, termasuk berperang melawan kapitalisme dan imperialisme. Ia menambahkan bahwa kerja sama antara Sarekat Islam dengan NIP merupakan upaya gabungan dalam memperoleh kebebasan rasial, serta dapat memberikan bantuan terhadap kaum-kaum kecil seperti para pekerja dan petani yang membutuhkan. Di samping itu, Tjokro juga mengajukan sebuah mosi agar pemerintah menolak permintaan Residen Surakarta dalam membatasi hak berkumpul, lantaran bertolak belakang dengan undang-undang (Het Nieuws van den dag 23 October 1919).
Baca Juga: RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #15: Dari Insulinde Menjadi Nationaal Indische Partij-Sarekat Hindia
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #14: Tjipto Mangoenkoesoemo Masuk Volksraad
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #13: Kongres Insulinde di Bandung
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #12: Haji Misbach Bergabung dengan Insulinde
Suwardi Memimpin Nationaal Indische Partij-Sarekat Hindia
Sementara itu, dalam kepemimpinan Suwardi, terdapat kebijakan yang mesti dilakukan oleh seluruh anggota Nationaal Indische Partij. Ia melarang anggota NIP merangkap sebagai anggota organisasi lain, terkecuali pada Sarekat Islam. Beberapa waktu kemudian, prinsip ini diikuti oleh organisasi pergerakan lain sebagaimana yang dilakukan para pengurus Budi Utomo, sehingga menghapus tradisi sebelumnya saat anggota biasa menjadi anggota organisasi lain (Simbolon, 1995:292).
Konon, sejak Suwardi menjadi ketua, ia mendapat uang tunjangan sebesar f 250. Dengan jumlah uang tersebut, Suwardi juga bahkan sangat disegani oleh anggotanya dan dianggap sebagai orang yang banyak tahu terkait berbagai macam persoalan. Dengan demikian, orang-orang di sekelilingnya menaruh harapan besar terhadap Suwardi untuk dapat membangun NIP-Sarekat Hindia dan mampu memberikan kemaslahatan pada rakyat Hindia (Het Vaderland 23 Desember 1919).
Saat Suwardi bermarkas di Semarang untuk memimpin Nationaal Indische Partij, banyak kasus pertanian yang dianggap menghimpit kaum petani. Salah satunya, problem petani yang letaknya tidak jauh dari Semarang. Menurut catatan Het Vaderland 23 Desember 1919 terdapat beberapa persawahan yang gagal panen. Bahkan di sana diterapkan kebijakan penyediaan pangan daerah yang mengharuskan pemilik padi membayar 1 pikul beras per bahu dengan harga f 10 per pikul. Bukan hanya itu, ketika kelangkaan terjadi, beras yang diperoleh sebelum panen selanjutnya, dijual kepada penduduk dengan biaya yang diusahakan sendiri. Lalu untuk mematuhi kebijakan pemerintah mereka mesti rela kekurangan padi dari sawahnya, bahkan harus berjalan sejauh 40 km untuk membeli 2 pikul beras ke wilayah panen yang nantinya diserahkan kepada pemerintah.
Problem-problem seperti ini menjadi tantangan bagi Suwardi untuk mampu mengorganisasi kalangan petani dari ketertindasan pemerintah. Meskipun upaya ini lebih dulu dilakukan oleh NIP Surakarta. Malah, setelah Suwardi menjadi ketua, para pengurus afdeeling Surakarta kembali bangkit setelah peristiwa pemogokan yang menjerat para petinggi Insulinde bersama kalangan petani dapat dilalui.
Pada tanggal 1 November 1919 aturan terkait hak berkumpul dan berserikat akhirnya dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini berhasil terwujud salah satunya berkat komitmen Suwardi, sehingga di masa-masa berikutnya permintaan izin secara resmi tidak lagi dibutuhkan. Kendati demikian, teknis perizinan masih diperlukan kepada pemerintah setempat jika akan menggelar pertemuan-pertemuan besar. Dalam aturan ini juga polisi diberi kewenangan untuk menghadiri pertemuan. Bahkan dalam konteks ini, polisi berhak mengintervensi bila dinilai bertentangan dengan rust en orde. Meskipun polisi tidak berhak menghadiri pertemuan internal tanpa diberi persetujuan dari pihak penyelenggara, mengacu pada pasal 173 Hukum Pidana Hindia yang dikenakan pada mereka yang menghalangi terselenggaranya pertemuan umum yang memiliki izin. Jika diketahui telah melanggar dengan kekerasan atau ancaman, maka pelaku akan diberi hukuman penjara selama satu tahun (Shiraishi, 2005:254).
Demikianlah pasal yang telah diberlakukan itu membuat berbagai organisasi pergerakan lebih leluasa dalam mengadakan pertemuan. Malah para pemimpin pergerakan berhak memperingatkan polisi bila dianggap melakukan campur tangan. Sebelumnya, saat peraturan tersebut belum diberlakukan, residen Surakarta sempat meminta jaksa agung untuk menunda pemberlakuan pasal itu di Surakarta. Akan tetapi permintaan tersebut ditolak, lantaran dianggap bukan sebagai ancaman serius secara langsung terhadap rust en orde. Sejak ditetapkan peraturan itu, Nationaal Indische Partij Surakarta kembali memulai propagandanya yang disokong oleh tenaga dan semangat baru dari Panggoegah dan Islam Bergerak sebagai sayap pergerakan (Shiraishi, 2005:254). Kebangkitan NIP afdeeling Surakarta ini sekaligus mengindikasikan juga era keemasan pada masa kepemimpinan Suwardi Suryaningrat.