RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #15: Dari Insulinde Menjadi Nationaal Indische Partij-Sarekat Hindia
Insuiinde yang berubah nama menjadi Nationaal Indische Partij-Sarekat Hindia mengorganisasi petani untuk melawan pada rezim kolonial. Banyak petani dipenjara.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
3 April 2023
BandungBergerak.id - Perubahan nama dari Insulinde menjadi Nationaal Indische Partij (NIP)-Sarekat Hindia tidak terlepas dengan adanya tekanan yang muncul dari pemerintah kolonial dan juga para pejabat lokal. Tekanan ini bukan saja menimbulkan reaksi bagi para pengurus Insulinde, terutama di Surakarta, tetapi sekaligus mematangkan rencana Douwes Dekker untuk mengubah Insulinde menjadi Nationaal Indische Partij (NIP) atau Sarekat Hindia.
Setelah peristiwa pemogokan yang terjadi di beberapa perkebunan di Surakarta, banyak anggota dan para pemimpin Insulinde di desa-desa ditangkap lalu dipenjara. Ketakutan pun muncul di antara pengurus Insulinde kalangan Indo terhadap tindakan represif dari pemerintah itu. Sementara Douwes Dekker percaya dengan mengubah Insulinde menjadi Nationaal Indische Partij akan mengalihkan ketakutan mereka terhadap tekanan tersebut (Simbolon, 1995:288-289).
Pada tanggal 7-9 Juni 1919, Insulinde mengadakan kongres tahunan yang kedelapan di Semarang. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh 23.000 orang Hindia itu diputuskan bahwa nama Insulinde telah diganti menjadi Nationaal Indische Partij alias Sarekat Hindia dengan perubahan undang-undang yang berlaku sebelumnya. Dengan mengacu pada perubahan tersebut, maka Nationaal Indische Partij mengutamakan tujuannya terhadap kemakmuran masyarakat Hindia, serta menumbuhkan jiwa patriotisme untuk dapat bekerja sama pada persamaan konstitusional. Singkatnya, NIP-Sarekat Hindia memiliki tujuan untuk memupuk semangat nasionalisme Hindia dengan gagasan persatuan nasional (De Nieuwe Vorstenlanden, 26 Juli 1919, Blumberger, 1939:45).
Selain itu pada kongres itu juga para pembicara menekankan bahwa mereka enggan untuk melalukan perubahan secara kekerasan. Justru dalam prinsip ini mereka lebih memprioritaskan pada revolusi pikiran sebagai usaha untuk meyakinkan pemerintah (De Nieuwe Vorstenlanden, 26 Juli 1919). Hal ini sebagaimana ditunjukan pada pidato yang dinyatakan oleh Douwes Dekker mengenai revolusi spiritual untuk membentuk wadah persatuan dengan pendasaran cita-cita nasional dan ideologi nasional (Shiraishi, 2005:233).
Untuk menghormati perlawanan para pemimpin Insulinde yang ditangkap, pada kongres tersebut forum menyatakan sikapnya terhadap tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah kolonial dan para pejabat lokal. Lalu mereka juga menyebut-nyebut sikap heorik yang ditunjukkan Haji Misbach dalam peristiwa pemogokan kalangan petani di Surakarta yang berujung pada penangkapan terhadap dirinya (De Preangerbode, 12 Juni 1919). Sekalipun para pengurus pusat mengklaim peristiwa pemogokan itu tidak ada sangkut-pautnya dengan Insulinde. Namun konteks ini berkaitan dengan perubahan nama Insulinde menjadi Nationaal Indische Partij, sebagaimana rencanaa Douwes Dekker untuk membersihkan nama partainya dari daftar represif pemerintah kolonial.
Kongres pun memutuskan kepengurusan baru di pusat. G.L. Topee masih menjabat sebagai ketua, sedangkan Douwes Dekker menjadi sekretaris; lalu Tjipto Mangoenkoesoemo memegang kendali komisi di pusat (Shiraishi, 2005:233). Perubahan nama Insulinde menjadi NIP tidak menjamin partai itu bisa bangkit dari keterpecahan akibat tekanan pemerintah. Dua bulan setelah kongres, hampir semua pengurus, kecuali Tjipto, dari komisi pusat mengundurkan diri dan menimbulkan kepemimpinan di pusat terpuruk. Douwes Dekker mengundurkan diri sebagai sekretaris NIP sebelum ia ditangkap dan dikenakan hukuman rumah tahanan lantaran dianggap telah menghasut kalangan petani di Polanharjo. Dari kejadian ini juga banyak anggota NIP-Sarekat Hindia dari kalangan Indo ketakutan dan tidak sedikit dari mereka mundur karena takut dinilai sebagai revolusioner (Simbolon, 1995:290, Shiraishi, 2005:234).
Baca Juga: RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #12: Haji Misbach Bergabung dengan Insulinde
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #13: Kongres Insulinde di Bandung
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #14: Tjipto Mangoenkoesoemo Masuk Volksraad
Afdeeling Surakarta tetap Kokoh
Di Surakarta terjadi kekacauan yang diakibatkan oleh serangan aparat terhadap para anggota NIP. Anggota NIP di desa-desa banyak yang ditekan oleh polisi dan pamongpraja, bahkan salah seorang pemilik rumah di Surakarta diancam oleh polisi agar rumahnya tidak disewakan kepada para pengurus NIP. Selain itu, rapat-rapat yang digelar oleh NIP dilarang oleh pemerintah. NIP pun dituduh telah menjual kartu anggotanya kepada masyarakat Hindia dengan harga f 0,25. Tuduhan itu berisi bahwa siapa pun yang menjadi anggota NIP-Sarekat Hindia ia akan dijamin tindakan perlawanannya oleh organisasi (Balfas, 1957:94), sehingga tuduhan itu kian mempersulit NIP yang berada dalam tekanan pemerintah.
Untuk menangani semua masalah ini, Tjipto Mangoenkoesoemo mengambil posisi sekretaris sebagai upaya sementara, akan tetapi mayoritas anggota meragukan dukungannya terhadap Tjipto. Masalah ini membuat Tjipto mengorganisasi ulang Nationaal Indische Partij. Ia kemudian mengumumkan afdeeling Surakarta bersama kring-kringnya (ranting-rantingnya) menjadi hoofbestuur (pengurus besar) Surakarta dan cabang-cabang. Dengan demikian hancurnya hoofbestuur di Semarang membuat afdeeling Surakarta dan kring-kringnya menjadi mandiri di bawah kepemimpinan Tjipto (Shiraishi, 2005:234).
Pada akhir Agustus 1919, Nationaal Indische Partij menjadi tidak terorganisasi. Pengurus besar hancur, sementara para petinggi afdeeling di kota-kota utama kehilangan arah, terkecuali afdeeling Surakarta sebagai satu-satunya cabang yang tetap berdiri kokoh. Selain itu, di masa-masa tersebut juga bertepatan dengan kepulangan Suwardi Suryaningrat ke Tanah Air. Setibanya di Hindia Belanda Suwardi tinggal di Semarang dan langsung menduduki posisi ketua NIP yang sebelumnya terlihat ambruk. Dalam jabatannya itu Suwardi berhasil memulihkan kepengurusan pusat di bulan selanjutnya, bahkan berhasil menumbuhkan kembali kebangkitan pengurus di desa-desa seperti kring-kring di Surakarta yang menjadi afdeeling (Shiraishi, 2005:234).
Pada bulan Desember 1919 para pemimpin kring yang dipenjara kembali ke desanya masing-masing. Mereka disambut dengan sangat baik oleh para petani yang terlibat dalam aksi pemogokan. Demikianlah pada akhir tahun 1919 itu Nationaal Indishe Partij Surakarta kembali sebagai basis utama pergerakan. Meskipun pada tahun 1920 pergerakan NIP-Sarekat Hindia beralih pada ranah politik yang berbeda dari sebelumnya. Dalam konteks ini, Tjipto menonjolkan kampanye antiraja sebagai bagian dari keberpihakannya terhadap kalangan petani yang tertindas. Dari pergerakan inilah Nationaal Indische Partij-Sarekat Hindia yang didominasi oleh Tjipto dapat memobilisasi kaum petani, bahkan memiliki sikap revolusioner yang dinilai oleh Takashi Shiraishi sebagai watak revolusioner yang khas di perode berikutnya (Shiraishi, 2005:235-236).