• Cerita
  • RAMADAN SETELAH PAGEBLUK #6: Kisah Fiona, Transpuan yang Menginginkan Hidup Mandiri

RAMADAN SETELAH PAGEBLUK #6: Kisah Fiona, Transpuan yang Menginginkan Hidup Mandiri

Fiona seorang transpuan yang menginginkan hidup mandiri. Ia menjadi aktivis Srikandi Pasundan, relawan kesehatan di Puskesmas, sekaligus menjadi petani di Garut.

Fiona yang ingin menjadi transpuan yang mandiri. (Foto: Dokumentasi Fiona)

Penulis Emi La Palau14 April 2023


BandungBergerak.id – Beberapa transpuan duduk melingkar, di tengah ada seorang pemateri memaparkan tentang kesetaraan gender, difabel dan inklusi sosial dalam Learning Culture Srikandi Pasundan yang digelar di Rumah Cemara, pada Selasa (28/3/2023) petang. Fiona (47 tahun) bersama transpuan lainnya mengikuti diskusi petang itu yang menyoal bagaimana kesetaraan dan diskriminasi yang masih terus dialami transpuan. Dengan diskusi tersebut diharapkan menambah pengetahuan bagi para transpuan untuk mau berani berbicara dan membela hak-hak pribadinya di masyarakat.

Fiona saat ini bertugas sebagai Koordinator Petugas Lapangan di Srikandi Pasundan. Tugasnya memantau dan menjangkau kelompok rentan terkena HIV/AIDS untuk di data agar mendapat pengobatan.

Ia bergabung dengan Srikandi Pasundan sejak 2014. Organisai tersebut mewadahi dan memperjuangkan hak-hak transpuan di Jawa Barat. Di awal bergabung, ia menjadi petugas lapangan penjangkau kelompok rentan yang juga adalah transpuan dan kelompok rentan lainnya. Ia menggantungkan hidup dari pendapatan hasil bertugas di Srikandi Pasundan.

Seiring berjalannya waktu, Fiona tak hanya aktif di Srikandi Pasundan. Ia juga menjadi salah satu relawan di Puskesmas Babatan, Kota Bandung. Selama pandemi, Fiona banyak membantu proses vaksinasi. Meski bukan berlatar sebagai orang kesehatan, namun tenaganya dibutuhkan untuk membantu pendaftaran vaksinasi dan sesekali bertugas di meja observasi, tentunya setelah ia mendapatkan penyuluhan terlebih dulu dari pihak Puskesmas. Hal ini membantu, karena sumber daya manusia di Puskesmas yang terbatas. Meski kini vaksinasi sudah jarang, namun sesekali ia masih menjadi relawan di Puskesmas.

Ketika ditemui Bandungbergerak.id dua tahun lalu, Fiona baru saja selesai membantu vaksinasi yang dilakukan pada warga yang ingin di vaksin. Kini di masa setelah pagebluk, tugasnya di Puskesmas semakin jarang, aktivitasnya lebih berkegiatan kembali di Srikandi Pasundan.

“Di puskesmas mulai berkurang aktivitasnya karena ketersediaan vaksin kurang, jadi sudah jarang ke Puskesmas kecuali ada panggilan,” ujar Fiona pada Bandungbergerak.id.  

Selama pagebluk, Fiona justru lebih sibuk. Ia harus pintar membagi waktunya antara bertugas di Srikandi Pasundan dan di Puskesmas. Belum lagi ia harus sesekali menengok kebunnya di Garut.

Fiona juga bertani. Ia memiliki sebidang tanah yang dibelinya sejak tahun 2015 lalu di Garut. Ia memang ingin bertani.

“Hobi senang bertani, senang masak, jadi sengaja menyisihkan (dana) itu untuk beli lahan,” ujar Fiona.

Baca Juga: RAMADAN SETELAH PAGEBLUK #5: Suci dan Takjil Ramadan
RAMADAN SETELAH PAGEBLUK #4: Hasan masih Menunggu Godot di Pasar Buku Palasari
RAMADAN SETELAH PAGEBLUK #3: Yani Maryani Konsisten di Balik Mesin Jahitnya
RAMADAN SETELAH PAGEBLUK #2: Merawat Asa Toleransi Bersama Pendeta di Jamika

Menjadi Petani Kesulitan Pupuk

Fiona menyempatkan dua Minggu sekali pergi menengok kebunnya di Garut untuk. Di kebunnya, ia menanam kol, sawi putih, cabe keriting, cabe rawit.

Ia menyewa petani untuk penggarap lahannya. Menjadi petani di kondisi saat ini tak mudah. Ia mengeluhkan harga pupuk yang kian melejit. Ia tidak mendapat subsidi pupuk yang biasanya diberikan pada petani oleh pemerintah.

Harga pupuk saat ini naik sampai 10 kali lipat, dari harga Rp 135 ribu menjadi Rp 1 juta. Otomatis pengeluaran untuk pupuk Rp 5 jutaan harus dikeluarkan pertiga bulan. Untuk petani, harga tersebut memberatkan.

Ia juga mengeluhkan karena sebagai petani yang memiliki lahan kecil ia tak mendapat subsidi pupuk. Justru petani yang tak memiliki lahan yang seringnya mendapat subsidi. Subsidi ini menurutnya salah sasaran.

“Yang punya lahan tidak dapat subsidi pupuk, yang tidak punya lahan untuk apa dapat subsidi pupuk, seharusnya dapat subsidi pupuk itu petani kecil seperti aku.”

Ia tak bisa berbuat banyak. Penjualan sayuran yang murah tak sebanding dengan pengeluaran untuk biaya perawatannya.

Ia merasakan betul saat ini kondisi di pertanian sangat sulit. Ditambah cuaca yang tak menentu, hujan turun terus-menerus. Satu ketika, akibat hujan yang terus-menerus turun menyebabkan 500 pohon kolnya membusuk. Tentu ini membuatnya merugi.

Fiona mesti pintar-pintar membagi uangnya. Ia harus menyisihkan Rp 1,5 juta untuk membayar upah petani yang menggarap lahannya. Ia juga harus menyiapkan sembako beras dan bahan pangan lainnya untuk mereka, karena petani penggarap tersebut tinggal di kebun. Jika tidak, kebunnya bisa digasak pencuri.

Untuk sejumlah pengeluarannya ia tutupi dari hasil pendapatannya bekerja di Srikandi Pasundan. Pendapatan dari penjualan sayuran saat ini tak bisa benar-benar diharapkan, harga yang murah tak sebanding dengan modal yang dikeluarkan. Tapi mau tak mau, ia tetap menjalaninya.

“Sekarang pengeluaran kebun sama pemasukan hampir besar pasak daripada tiang, harga pupuknya mahal sementara harga sayurnya murah karena kebanyakan impor. Wortel kebanyakan impor, wortel lokal murah.”

Fiona (ketiga dari kanan), dalam diskusi Kearning Culture Srikandi Pasundan yang digelar di Rumah Cemara, Selasa (28/3/2023) (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)
Fiona (ketiga dari kanan), dalam diskusi Kearning Culture Srikandi Pasundan yang digelar di Rumah Cemara, Selasa (28/3/2023) (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Perjalanan Panjang untuk Mandiri

Menjadi transpuan tak melulu mesti bekerja di sektor kecantikan dan dunia hiburan. Meski Fiona sempat membuka salon, namun ia sempat mencoba bekerja di berbagai bidang.

Lahir di keluarga keturunan Tionghoa di Bandung yang serba berkecukupan, ia tumbuh di keluarga yang kedua orang tuanya mualaf. Setelah lulus SMA di Kediri, ia memutuskan untuk bekerja sebagai pekerja migran di Taiwan, di sana kurang lebih dua tahun bekerja sebagai pramusaji.

Fiona kembali ke tanah air tahun 1998. Saat itu kerusuhan meletus di mana-mana. Di Jakarta ia menyaksikan penjarahan mal-mal. Beruntung ia selamat sampai tiba di Bandung.

Di Bandung ia sempat bekerja sebagai kepala koki di sebuah restoran di Bandung dari tahun 2002 hingga 2007. Ia bekerja dengan bermodal keahliannya memasak yang diperolehnya melalui kursus tata boga.

Selanjutnya ia kembali bekerja di luar negeri sebagai pekerja migran. Ia bekerja menjadi koki di Arab Saudi selama dua tahun.

Fiona adalah anak ke-6 dari tujuh bersaudara. Sejak kecil ia merasa dirinya berbeda dari lelaki kebanyakan. Ia merasa dirinya adalah perempuan. Hal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan baginya untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan dan memilih pergi bekerja ke luar negeri. Ia mulai mengubah penampilannya meski belum secara total ketika di Taiwan. Sekembalinya ke Indonesia, ia benar-benar menjadi seorang transpuan dengan penampilan yang berubah sepenuhnya.

Sekarang ada yang berbeda dari Fiona. Jika ditemui dua tahun lalu ia belum mengenakan kerudung. Kini, Fiona tampak lebih feminin dengan hijab yang ia kenakan. Ia mulai memakai jilbab pada 2021, perlahan, karena ikut memvaksin masyarakat harus menutupi rambut. Akhirnya ia pun memilih sepenuhnya menggunakan hijab.

Harapan besarnya saat ini agar bisa mendapat subsidi dari pemerintah untuk pupuk dan obat-obatan tanaman di kebunnya untuk membantunya bertani. Ia ingin mandiri.

Ia memilih menjadi transpuan yang mandiri, karena tak mau menyusahkan orang lain. Karena hidup transpuan sudah berat, mandiri menjadi keharusan.

“Kalau saya tidak mau menyusahkan orang lain, tidak mau dilecehkan otomatis harus mandiri tidak bergantung sama orang lain,” ungkapnya.  

“Karena kehidupan transpuan sudah seberat itu jadi harus mandiri.”

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//