• Kolom
  • NGABUBURIT MENYIGI BUMI #26: Melihat Dinasti Gunung Jayagiri dari Puncak Gunung Burangrang

NGABUBURIT MENYIGI BUMI #26: Melihat Dinasti Gunung Jayagiri dari Puncak Gunung Burangrang

Jejak peristiwa letusan Gunung Jayagiri, Gunung Sunda, dan Gunung Tangkubanparahu dapat direkonstruksi dengan sangat baik dari puncak Gunung Burangrang.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Dari puncak Gunung Burangrang, terlihat dengan nyata Gunung Tangkubanparahu yang lahir dari kaldera Gunung Sunda. (Foto: T. Bachtiar)

17 April 2023


BandungBergerak.id – Menjelang fajar, kami terus berjalan menanjak. Di sebelah utara, gawirnya menganga dalam, itulah dinding kawah tua Gunung Burangrang (+2.064 m dpl) yang terbuka ke arah barat laut, ke arah Darangdan, Kabupaten Purwakarta. Di arah utara-timurlaut, terdapat beberapa kerucut, merupakan bagian dari dinding timur-timur laut Gunung Burangrang. Gunung ini persis berada di sisi barat lingkaran kaldera Gunung Sunda.

Di ufuk timur, langit memerah, bukit dan gunung-gunung terlihat nyata. Jadi teringat putra mahkota Kerajaan Sunda, Bujangga Manik yang berkelana dari perguruan ke perguruan di sepanjang Pulau Jawa sampai Bali. Dari puncak Gunung Burangrang, terlihat jelas kerucut Bukit Tunggul di sebelah timur, dengan rangkaian gunung-gunung yang berbaris ke selatan. Di arah selatan terlihat Gunung Cikuray di kejauhan, ada Gunung Malabar dan Gunung Patuha. Di barat, terlihat Gunung Gede-Pangrango membiru, dan gunung-gunung di Provinsi Banten.

Gunung Burangrang dapat dikelompokkan ke dalam gunungapi tua, karena wujud gunungnya masih terlihat jelas. Gunung ini pernah meletus, disusul dengan guguran puing yang besar, yang menggerus sebagian tubuhnya, meninggalkan jejak robekan ke arah barat laut yang dalam selebar 2 km. Bagian yang lemah di bibir lingkaran kawahnya terus tererosi, lalu hanyut ke lembahnya. Yang kuat bertahan, membentuk tinggian yang seolah-olah gunung tersendiri. Oleh masyarakat setempat diberi nama Gunung Gedogan, Gunung Masigit, dan gunung  lainnya.

Dari pelataran yang sempit di puncak Gunung Burangrang, terlihat dengan jelas Situ Lembang, danau kaldera Gunung Sunda yang megah. Di bagian baratnya dibatasi oleh dinding kaldera Gunung Sunda yang melengkung dari selatan ke utara, mulai Pasir Limas, Gunung Leumeungan, Gunung Sunda dst.

Baca Juga: NGABUBURIT MENYIGI BUMI #25: Situs Budaya di Puncak-puncak Gunungapi Purba di antara Soreang dan Cililin
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #24: Perkampungan di dalam Kawah Purba Gunung Bubut
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #23: Delapan Kilometer Ci Tarum Bersih Untuk Ilmu dan Pariwisata
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #22: Gunung Tangkubanparahu Cucu Gunung Jayagiri

Gunung Burangrang

Dilihat dari selatan, rona bumi Gunung Burangrang berlembah dalam dengan punggungan yang jarang. Berbeda sekali dengan lereng selatan Gunung Tangkubanparahu yang masih rata. Rona bumi ini menandakan perbedaan umur di antara kedua gunung ini. Artinya, umur Gunung Burangrang jauh lebih tua dari Gunung Tangkubanparahu. Bila Gunung Burangrang seumur dengan Gunung Sunda yang meletus antara 210.000 – 105.000 tahun yang lalu, sedangkan Gunung Tangkubanparahu baru meletus 90.000 tahun yang lalu. Selama itulah lereng Gunung Burangrang mendapatkan pengaruh cuaca, sudah terjadi pelapukan dan erosi. Inilah salah satu penyebab, mengapa lerengnya berlembah dalam, dan antar punggungan yang lebih jarang.

Rona bumi lereng gunung dengan punggungan yang jarang, yang dipisahkan oleh lembah yang dalam, telah menginspirasi warga setempat untuk menamainya Gunung Burangrang. Nama geografi Burangrang, akar katanya rang, lalu berubah menjadi rangrang yang berarti jarang. Bentukan kata yang berasal dari akar kata rang, yang bermakna jarang, dapat dijumpai dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia, seperti: a-rang, ca-rang, ca-rang-cang, ca-rang-ka, ja-rang, rang-ke-bong, nga-rang-rang-an, boeh la-rang, rang-ka, ke-rang-ka, rang-gas, rang-kas, yang semuanya merujuk pada akar kata rang yang berarti jarang.

Dalam bahasa Spanyol, lereng gunung berlembah dalam, yang memisahkan antar punggungan yang jarang, seperti lereng Gunung Burangrang, rona bumi seperti itu dinamai barranco (dibaca barrangko). Istilah ini digunakan untuk menamai lembah yang mirip parit yang dalam, bertebing curam, jurang, ngarai, sebagai hasil erosi dalam waktu yang sangat lama.

Meniti tubir kawah tua Gunung Burangrang yang menganga dalam, melintasi jalan setapak yang tipis seperti sirip ikan. Titik tertinggi dari punggungan ini rona buminya bergerigi, menanjak-menurun, bergelombang, dan menjadi pembatas bagi Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Purwakarta.

Dari puncak Gunung Burangrang, kronologi letusan Gunung Jayagiri, Gunung Sunda, dan Gunung Tangkubanparahu dapat direkonstruksi dengan sangat baik. Bentang alam yang megah ini menjadi sumber belajar yang sangat baik, dan dapat dijadikan media pembelajaran dalam sekala yang sesungguhnya dan nyata di lapangan. Jejak peristiwa alamnya terlihat nyata. Gunung Tangkubanparahu yang lahir dari kaldera Gunung Sunda terlihat dengan sangat nyata. Kaki Gunung Tangkubanparahu berakhir di dalam kaldera Gunung Sunda yang melandai di tepian Situ Lembang.

Berjalan pulang di lingkaran kawah Gunung Burangrang yang tipis, menurun di punggungan dengan lembahnya yang dalam. Ketika matahari sudah bersinar terang, semuanya terlihat nyata. Pepohonan yang rapat memayungi para pengelana. Cukup nyaman, berjalan diketeduhan, dengan medan yang tidak menurun terus-terus. Ada jeda untuk menikmati keadaan sekeliling dengan berjalan pelan di bagian yang datar, sebelum meniti akar di turunan.

Pendakian ke Gunung Burangrang dapat dilakukan tektok, pergi sekitar pukul 02.00 dan turun setelah semua kegiatan selesai. Biasanya pukul 10.00 pun sudah berjalan turun. Perbekalan selama pendakian harus dipersiapkan dan dibawa dari bawah. Terutama untuk sarapan pagi dan camilan selama dalam perjalanan. Di lintasan pendakian, apalagi di puncak, tidak ada sumber air. Air minum harus diperhitungkan jumlahnya agar mencukupi kebutuhan selama pendakian dan pada saat turun, ditambah air untuk keperluan memasak.

Karena sempitnya lahan di dinding kawah tua Gunung Burangrang, sebaiknya tidak berkemah di puncak, karena titik tertinggi akan menjadi tujuan semua pendaki. Berkemahlah sedikit di bawah puncak, di punggungan yang sedikit datar.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//