• Kolom
  • BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #2: Menikah dengan R.A.A. Wiranatakoesoemah

BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #2: Menikah dengan R.A.A. Wiranatakoesoemah

Raden Adjeng Sangkaningrat (17 tahun) menjadi istri ke-4 Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakoesoemah (39 tahun). Pernikahan diselenggarakan secara diam-diam.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Berita pernikahan R.A.A. Wiranatakoesoemah dengan R.A. Sangkaningrat. (Sumber: Sin Po, 16 September 1924)

20 April 2023


BandungBergerak.id – Jum’at siang, 12 September 1924, R.A. Sangkaningrat menikah dengan Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakoesoemah. Dari sisi umur, selisih pasangan tersebut sangat jauh. Sangkaningrat saat itu baru berumur 17 tahun, sementara Wiranatakoesoemah sudah berusia 39 tahun.

Dari Iip D. Yahya (R.A.A.H.M. Wiranatakusumah V: Kedalaman yang Belum Terselami, 2011: 35-38), saya tahu Sangkaningrat adalah istri keempat Wiranatakoesoemah. Karena sebelumnya ia pernah menikah dengan R.A. Yoyo Siti Roedaya Prawirakoesoemah (R.A. Inda Admini) antara 1910-1911, R.A. Cucu Soehanah antara 1911-1916, dan R.A. Syarifah Nawawi antara 1916-1924. Dari ketiga pernikahan sebelumnya, Wiranatakoesoemah dikaruniai sembilan orang anak, yaitu R.T. Male Wiranatakoesoemah, R.A. Amalia, R.A. Madeleine, R. Maryunani, R.A. Martini, R.H. Brigjen Muharam, R. Mohamad Sjarif (meninggal dunia saat balita), R.A. Hj. Nelly Hakim, dan R.A. Minarsih Soedarpo.

Kabar pernikahan Sangkaningrat-Wiranatakoesoemah banyak diliput media, dalam bahasa Belanda, Melayu, dan Sunda. Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie (15 September 1924) mengabarkannya dengan tajuk “De Regent van Bandoeng Opnieuw in het Huwelijk Getreden” atau bupati Bandung menikah lagi. Konon, pada Jum’at sore, bupati Bandung menikahi Raden Adjeng Sangkaningrat, putri patih Sumedang dan cucu bupati Lebak. Konon, Sangkaningrat dibesarkan ala Eropa. Pernikahannya diselenggarakan secara diam-diam dan istri baru itu untuk sementara tidak akan bertindak sebagai raden ayu yang resmi.

Dalam Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi 16 September 1924 ada tambahan keterangan. Selain sama dengan berita sebelumnya, di Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie dinyatakan Wiranatakoesoemah telah memberitahukan pernikahan barunya kepada residen Priangan berikut pernyataan bahwa untuk sementara tidak akan menempatkan istri barunya sebagai raden ayu yang resmi. Hal tersebut bersangkutan dengan penolakan istri Wiranatakoesoemah sebelumnya, serta terjadinya kehebohan di Bandung.

Sin Po edisi 16 September 1924 mengulangi berita De Locomotief yang isinya sama dengan yang dimuat dalam Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie. Di Sin Po diberi tajuk “Regent Bandoeng Kawin Lagi?” Di situ antara lain dikatakan, “Regent telah kasi taoe ini nikahan baroe dengan officieel pada resident di Preanger” dan “Ia kasi taoe raden ajoe baroe boeat sementara waktoe tida aken pertoendjoeken dirinja pada publiek”.

Sementara sumber permasalahannya ditunjukkan Sin Po dengan menyatakan, “Seperti orang taoe regent Bandoeng dapet tjelahan keras dari berbagi-bagi fihak sebab tjereken istrinja”. Demikian pula dalam Sin Jit Po edisi 16 September 1924 yang mewartakan kembali kabar dari De Locomotief dan Sin Po, dengan komentar akhirnya, “Dengen ini djadi njata jang regent Bandoeng soeda teroesken djoega ia poenja maksoed”.

Baca Juga: BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #1: Putri Patih Sumedang, Cucu Bupati Bandung
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #17: Diserahkan kepada Pengurus Besar Paguyuban Pasundan
BIOGRAFI JONATHAN RIGG 1809-1871 #10: Meninggal di Jasinga Tahun 1871

Telegram Perceraian

Kabar Wiranatakoesoemah hendak mengambil istri baru di saat punya raden ayu sudah santer dikabarkan pada bulan Mei 1924. Salah satunya dapat kita simak dari surat pembaca bertajuk “Regent Bandoeng” yang ditulis BP di Weltevreden tanggal 19 Mei 1924, dalam Sinar Sumatra edisi 30 Mei 1924.

BP antara lain menulis, “Antara laennja kita dapet kabar toean Wiranata Koesoema sakombalinja dari Mekka maoe kawin lagi sekali dengen seorang prampoean bangsanja sendiri, prampoean mana ada toeroenan baek-baek serta dapet rawatan sempoerna dari ia poenja familie dan djoega soeda taoe doedoekin bangkoe sekolahan HBS, dus sama djoega Raden Ajoenja sekarang. Kaloe ini kabar ada betoel dan bisa kedjadian, artinja betoel-betoel regent poenja niatan boeat memake doea Raden Ajoe, itoelah memang ada satoe hal jang penting dan sanget aneh. Poen ini kabaran boekan sadja bisa mengagetken loear biasa bagi Raden Ajoe Regent Bandoeng jang sekarang berada di tanah aernja Menangkabau serta ia poenja kaoem familie, tetapi djoega kita rasa ada satoe hal jang bekal membikin gontjang doenia pers disegenep Indonesia menoetoerken itoe hal, atawa lebi djaoe menoetoerken tentang polygamie dan monogamie”.

Memang saat itu, Wiranatakoesoemah sudah punya istri Raden Ajoe Sjarifah Nawawi yang dinikahinya pada 29 Mei 1916. Menurut R.A. Minarsih Soedarpo atau Mien Soedarpo (Kenangan Masa Lalu, 1994: 11), ibunya diceraikan melalui telegram saat berada di Bukitinggi ketika ayahnya sedang dalam perjalanan naik haji ke Mekah.

Kata Mien, “Waktu aku berumur dua bulan, 28 Maret 1924, ibu, abang, kakak dan aku meninggalkan Bandung dengan kereta api menuju Batavia dan kemudian dengan kapal ke Padang. Bapak akan naik haji ke Mekkah, dan kami – ibu, abang, kakak, aku serta pesuruh-pesuruh – akan menunggu kepulangannya di rumah orangtua ibu di Bukittinggi. Ibu akan memakai kesempatan ini untuk beristirahat panjang setelah melahirkan aku dua bulan sebelumnya”.

Adapun telegram Wiranatakoesoemah ditulis pada 2 April 1924. Bunyi telegramnya, sebagaimana yang saya lihat dari buku Mien Soedarpo (1994: 21), akan demikian bila diberi tanda baca, “Sedikit hari Djeddah sebeloem datang tanahsoetji. Maaf sekalian, teroetama Sjarifah. Nasib hidoep bertjerai berat sekali, tetapi ta’ lain djalan oentoek rajat familie Bandoeng, delapan tahoen hidoep soesah banjak perselisihan roemah dan politiek. Lain adat, pendidikan dan haloean. Sjoekoer kalau Sjarifah minta sendiri bertjerai, ta’pandai hidoep kaboepaten di Sumatra dengan anak familie tasoesah, tiada intrice wang dapat oentoek anak”.

Telegram tersebut diterima ayah Sjarifah, Nawawi, di Bukitinggi, pada 17 April 1924. Kata Mien, “Ibu berumur 27 tahun ketika ia diceraikan – sekarang ia seorang diri mengurusi seorang putra berumur tujuh tahun, seorang putri berumur empat tahun, dan seorang bayi tiga bulan. Tindakan bapak menimbulkan reaksi keras di kalangan masyarakat Belanda dan Indonesia, dan banyak kecaman bermunculan baik di pers Belanda maupun di pers Indonesia.”

Kritik kepada Wiranatakoesoemah yang menceraikan Sjarifah dan menikahi Sangkaningrat. (Sumber: Soerapati, 9 September 1924)
Kritik kepada Wiranatakoesoemah yang menceraikan Sjarifah dan menikahi Sangkaningrat. (Sumber: Soerapati, 9 September 1924)

Kecaman Kaum Komunis

Alhasil, BP yang menulis dalam Sinar Sumatra edisi 30 Mei 1924 itu sudah telat hampir sebulan dari sejak diceraikannya Sjarifah. Barangkali saat itu memang masih menjadi kehebohan di kalangan penduduk Hindia Belanda. BP saat itu juga mewanti-wanti bahwa meski Wiranatakoesoemah disukai dan dipandang baik oleh orang Bandung, tapi kaum komunis membencinya.

BP menulis, “Pembatja djangan loepa, maski itoe regent Bandoeng rata-rata ra’jatnja menganggep ia sebagi satoe wakil pamerenta jang berhaloean djoedjoer pada doea belah fihak, toch ia itoe soeda dipandang sebagi moesoe jang teroetama oleh partij jang memake merk Communisme di itoe kota, tapi itoe hal tiadalah dikwatirken apa apa oleh regent, boleh djadi ia berfikir memang ada moesoehnja partij Communisme alias Ngatjo-isme itoe mendesek boeta toeli pada partij manapoen jang tida tjotjok dengen marika poenja azas; sama-rata, sama rasa, sama kaja, sama miskin, sama gila ... ja setaoe sama apa lagi”.

BP betul, karena Wiranatakoesoemah kerap diserang oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Sarekat Rakjat (SR) cabang Bandung. Salah satunya sebagaimana yang dikabarkan dalam Sin Po edisi 19 Agustus 1924. Pada hari Minggu pagi, di sekolah SI di Kampung Parapatan Ijan, ada pertemuan gabungan antara PKI dan SR. Salah satu programanya adalah “perginja regent Bandoeng ka Mekka” dengan pembicara Achmad Bassach, ketua SR Bandung.

Menurut Sin Po, “Achmad Bassach menerangken bahoea maksoednja regent Bandoeng pergi ka Mekka tida laen hanja boeat mentjari tambah pengaroeh serta boeat bikin iapoenja pangkat djadi semangkin tinggi. Djanganlah toean Woranatakoesoema, kata spreker, sedeng orang-orang biasa sadja kaloe soeda pergi ka Mekka memang lantas djadi bertambah pengaroehnja; orang Betawi bilang tida pergi ka Mekka, tetapi naek hadiji, djadi tida salah lagi bahoea toean Wiranatakoesoema poenja maksoed tjoema boeat bikin soepaja ia djadi naek pangkatnja, dan seperti orang masi inget pada waktoe timboel pemogokan dari PPPB ia djoega soeda asoet itoe penggawe penggadean di Bandoeng soepaja tida toeroet mogok, sahingga kadjadian djoega tidak toeroet mogok, sedeng ia lantas dapet titel Adipati”.

Ketika Wiranatakoesoemah menikahi Raden Ayu Sangkaningrat, kalangan kiri di Bandung semakin menjadi-jadi. Saya mendapatkan buktinya dari koran Soerapati sejak edisi 9 September 1924. Pada edisi tersebut ada dua sindiran singkat bertajuk “Estoe Hawatos Djoeragan ...” dan “Hadji Wiranatakoesoemah pro Neng Oekon. Anti Sarifah”. Pada “Estoe Hawatos Djoeragan ...” tertulis begini: “Oepami teu lepat, abdi mendak wartos jen dina waktos2 ijeu, kenging disebatkeun sadoenja, teu aja deui noe keur bingoeng embahna bingoeng lian tie Djoerahan Hadji WIRA, dalem Bandoeng, anoe bedjana anjar panganten” (Bila tidak keliru, saya mendapat kabar bahwa saat-saat ini bisa disebutkeun bahwa di dunia tiada yang sangat bingung kecuali Juragan Hadji Wira, bupati Bandung, yang konon baru menikah).

Demikian pula yang ditulis dalam “Hadji Wiranatakoesoemah pro Neng Oekon. Anti Sarifah”, tidak kalah pedas. Pertama-tama yang ditulis adalah dua pertanyaan beruntun: “Naha jaktos koelan, Hadji Wiranatakoesoemah teh geus kawin djeung Neng Oekon?” (apakah betul Hadji Wiranatakoesoemah sudah menikah dengan Neng Oekon?) “Naha jaktos tjenah noe ngawinkeunana disoempah soepaja oelah reja omong?” (apakah betul katanya yang mengawinkannya disumpah agar tidak banyak omong?).

Penulis yang mengatasnamakan Awewe itu kemudian menjawabnya “Tapi loetjoe moen enja teh geus kawin! Eta bae loetjoena teh teu goedjroed heula, teu pesta, teu iring-iringan!” (Tapi lucu bila betul sudah menikah! Lucunya karena tidak ada kehebohan terlebih dulu, tidak ada pesta, dan tidak ada iring-iringan). Kepada Sjarifah, Awewe menyatakan simpati dengan menyebutkan “Adoeh, den Sarifah  ... sing ledjar sareng ageung manah bae” (aduh, Sarifah ... semoga tidak sedih dan berlapang dada) dan “Sadajana para istri, oge pameget ngiring sedih” (semua perempuan dan laki-laki turut sedih).

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//