CERITA DARI BANDUNG BARAT #10: Tradisi Ngadu Bedil Kawung di Rongga
Tradisi ngadu bedil kawung di Kecamatan Rongga sudah terjadi sejak 1980. Tradisi ini sebagai sambutan terhadap lebaran, biasa digelar setiap tanggal 2 Sawal.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah28 April 2023
BandungBergerak.id - Sebelum lebaran saya sempat mengunjungi persiapan tradisi ngadu bedil kawung di Desa Cibitung, Kecamatan Rongga, Kabupaten Bandung Barat. Bedil kawung adalah meriam terbuat dari pohon aren (kawung). Tradisi ini biasa dihelat warga Cibitung pada dua Syawal setiap tahunnya, sesudah takbiran Idulfitri berkumandang.
Berikut ini catatan perjalanan saya pada Kamis (20/4/2023) menuju tradisi menyambut lebaran tersebut:
Di suatu malam, seusai meliput arus mudik lebaran Idulfitri 1444 Hijriyah, seorang teman bertanya pada saya dengan maksud mengajak ke wilayah Kabupaten Bandung Barat bagian selatan. "Isuk hudang jam sabaraha?" kata ia seraya memastikan, entah memaksa juga saya agar bangun pagi. "Gas, ah," kalimat itu lagi-lagi dilontarkan pada saya.
Singkatnya, malam berlalu dengan begitu cepat, pagi menjemputnya tidak pernah terlambat. Pun saya berusaha agar tidak bangun kesiangan untuk memenuhi janji bersama teman itu, seperti yang sudah dijelaskan bahwa kami akan pergi ke Bandung Barat bagian selatan. Saya pergi dari rumah di Padalarang menuju Cipatat, kemudian nanti kami ke Saguling dan lalu Rongga, ada cerita apa saja? Mari selesaikanlah.
Setelah saya membersihkan badan, lalu bergegas beranjak menggunakan ojeg pangkalan di dekat rumah agar mengantarkan saya sampai jalan raya, karena jarak rumah dan jalan raya memang cukup jauh. Tadinya saya ingin jalan kaki guna mengirit keuangan tengah bulan, tapi agar tidak terlambat saya naik saja ojeg.
Oleh tukang ojek saya diantar ke Parapatan Arab. Sedikit informasi, nama Parapatan Arab ini kerap dikenal juga oleh supir bus yang melewati Padalarang. Awalnya saya mengira di sini banyak tenaga kerja yang pernah kerja di Arab, namun ternyata menurut seorang perangkat desa Padalarang Yoga, ternyata Parapatan Arab tidak ada keterkaitan dengan TKI Arab Saudi.
Yoga menjelaskan, nama jalan itu bermula dari banyaknya santri-santri yang sekolah di Pesantren Persis 38 Padalarang, Cingeunjing, Desa Kertamulya, Kecamatan Padalarang, yang melalui jalan tersebut. Di zaman Orde Baru penggunaan jilbab di sekolah pemerintah dilarang, terutama saat diberlakukan asas tunggal Pancasila.
“Pelarangan jilbab ini berangkat dari arah politik pemerintah yang memandang Islam politik sebagai ancaman. Pasca ditumpasnya gerakan komunis, pemerintah Orde Baru memandang ekstrem kanan Islam sebagai ancaman selanjutnya setelah komunisme ditumpas. Dan jilbab adalah representasi dari apa yang dinamakan ekstrem kanan," kata Yoga, beberapa waktu lalu di Perpustakaan Desa Padalarang.
Orang-orang dahulu melihat orang yang menggunakan jilbab unik. "Terutama bagi mereka yang bekerja sebagai sopir atau kernet mobil angkutan umum. Konon, penamaan Parapatan Arab berasal dari mereka (yang berjilbab)," terang Yoga.
Dari Parapatan Arab, saya naik angkot Rajamandala arah Cipatat. Tapi saya diturunkan oleh sang supir di tengah jalan, di sekitar Gunung Masigit, belum sampai Cipatat. Mungkin karena muatan angkot tersebut lagi sepi.
Saya melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki sembari menunggu angkutan umum kedua. Akhirnya saya dapat angkot yang penuh muatan, berdesakan antara penumpang yang kegerahan karena cuaca panas.
Saya tiba di tempat janjian dengan teman saya di Kecamatan Cipatat. Kami kemudian meluncur ke arah jalan Rajamandala-Saguling. Sebelumnya di tempat ini terjadi longsor. Di jalan yang menjadi alternatif pemudik yang hendak memotong jalan menuju akses Soreang-Ciwidey itu banyak pemudik yang berjatuhan.
"Kemarin saja banyak yang jatuh, ada puluhan motor, mereka pakai jalan ini kan akses alternatif ke Padalarang bisa tembus ke Kota Baru Parahyangan langsung," ujar warga setempat, Adam.
Adam menuturkan, longsor disebabkan intensitas hujan yang tinggi pada Selasa (18/4/23). Setelah longsor, Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan (Damkar) Bandung Barat sudah membersihkan jalan, namun tidak merata. Akses jalan yang terhalang material longsor sempat menimbulkan kemacetan. Sekarang jalan tersebut sudah bisa dilalui.
Setelah melewati jalan tersebut, kami semakin dekat dengan lokasi persiapan tradisi ngadu bedil kawung.
Baca Juga: CERITA DARI BANDUNG BARAT #7: Naik Delman tak lagi Istimewa
CERITA DARI BANDUNG BARAT #8: Kisah Joki Roda Gila di Pasar Malam Bandung Barat
CERITA DARI BANDUNG BARAT #9: Jalan Menuju Stasiun Tagogapu
Ngadu Bedil Kawung di Rongga
Di Cibitung, warga semangat bergotong royong mempersiapkan tradisi ngadu bedil kawung. Masing-masing bedil kawung panjangnya bisa mencapai 5-8 meteran dengan diameter antara 40 centimeter hingga 140 centimer. Satu bedil kawung bisa menghabiskan batu karbit 30 hingga 80 kilogram.
Tampak seorang anak berpeci bersama pamannya sedang melakukan uji coba bedil kawung yang mereka bikin. Mereka menyalakan obor yang terbuat dari buntalan kain. Api tersebut didekatkan pada lubang bedil kawung sampai muncul suara, “BUMMM...” Bocah dan paman itu tertawa bahagia.
Menurut Yusuf, warga setempat, tradisi ngadu bedil kawung di desanya sudah ada dari sejak 1980-an. Seperti halnya meriam, bedil kawung mampu menggeluarkan suara menggelegar. Suara tersebut berasal dari proses pembakaran gas kalsum karbida atau karbit yang telah dicampur dengan air.
Yusuf mengatakan, tradisi ini sebagai penyemangat agar anak-anak menamatkan puasa Ramadan. Mereka yang tamat puasa diberi hadiah bedil kawung. Selain itu, bedil kasung pernah biasa dipakai untuk penyambutan mempelai pria dalam adat pernikahan.
Kepala Dusun Desa Cibitung Agus meninpali, warga memang sengaja menyiapkan tradisi ini sejak seminggu sebelum lebaran. Ngadu bedil kawung tersebut digelar di dua tempat, yakni du Pasir Gombong dan Lapangan Pasir Merek pada pada Minggu, 23 April 2023. Total bedil kawung yang disiapkan sebanyak 80 meriam, 40 di Lapangan Pasir Merak dan 40 di Pasir Gombong.
Waktu dan tempat pelakasanaan ngadu bedil kawung dirumuskan berdasarkan musyawarah warga. "Pokoknya gak ada juri dan gak ada pemenangan, ini murni hiburan warga. Waktu juga dipilih agar tidak bentrok dengan takbiran," ujar Agus.
Agus juga menceritakan proses pembuatan satu bedil kawung bisa memakan waktu 3 hari dan melibatkan 3 orang. Semua warga gotong royong, mereka memotong dulu pohon aren, memahatnya, membuat juga lubang meriam sampai nanti diikat serta ditancapkan di tanah.