CERITA DARI BANDUNG BARAT #8: Kisah Joki Roda Gila di Pasar Malam Bandung Barat
Mereka yang datang dan pergi di Pasar Malam. Yang menantang yang menghibur.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah25 November 2022
BandungBergerak.id — Malam minggu tanggal 19 November 2022, saat melaju entah ke mana hanya ingin berjalan-jalan memanjakan motor tua keluaran tahun dua ribu. Angin menusuk, masih ada sisa-sisa tetesan hujan yang turun tadi sore.
Di malam itu saya memutuskan untuk berbelok menuju Pasar Malam di Jalan GA Manulang, Desa Jayamekar, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Lokasinya tepat di depan SMAN 2 Padalarang. Malam yang dingin, di akhir pekan daripada tak ada kegiatan saya memilih berkunjung ke sana.
Alasan saya ke Pasar Malam hanya ingin mengingat perkataan Pramoedya Ananta Toer pada salah satu bukunya yang berjudul Bukan Pasar Malam (2013). Satu kalimat dalam buku itu terngiang.
“Dunia yang seperti Pasarmalam, di mana orang beramai-ramai datang dan beramai-ramai pergi,” tulis Pram, panggilan akrab Pramoedya Ananta Toer dalam buku tersebut.
Pada roman itu Pram menjelaskan tentang seorang perwira di zaman revolusi dihadapkan pada kenyataan yaitu ayahnya yang jatuh sakit. Kalimat yang kutip dari tulisan Pram itu adalah kata-kata perpisahan tokoh "aku" di dengan ayahnya dalam pusaran roman itu.
Saya hanya ingin melihat orang hilir mudik di Pasar Malam itu. Melihat rombongan keluarga yang berjalan melihat suasana, mendengar iringan lagu dangdut yang bergema, serta teriakkan setengah histeris atau setengah bahagia dari orang-orang yang menaiki wahana ombak banyu dan kora-kora – wahana yang membuat saya ngeri karena deg-degan dan panik menaikinya.
Tapi, ada satu wahana di sana yang saya pikir seru juga yaitu wahana yang bertuliskan “Atraksi Roda Gila”.
Saya menyambangi dua pemuda yang terlihat di sana, yang satu bertato dan yang satu memakai piercing di telinga. ”Ini wahana apa?” tanya saya.
“Roda Gila, A’ bayarnya Rp 8 ribu, beli tiket ke sana,” tunjuk mereka. ”Dekat wahana kuda,” terangnya sembari sesekali menghisap rokoknya.
Saya kemudian mengunjungi tempat tiket yang mereka tunjukkan. Lalu menyodok saku celana mengambil selembar Rp 10 ribu, menyerahkan uang itu untuk ditukar dengan tiket dan uang kembalian selembar Rp 2 ribu.
Saya serahkan tiket tersebut di wahana Roda Gila, lalu berjalan menaiki tangga yang cukup tinggi. Di ujung tangga sudah menunggu satu motor, mungkin RX-King atau entah apa, maklum saya tak begitu paham otomotif.
Sang joki mengisi bensin dan meneteskan oli samping. Motor dinyalakan, mesin dihangatkan sembari menanti orang-orang yang akan melihat pertunjukan sebab baru saya seorang yang datang. Terpaksa saya turun ke bawah dan menanyakan, “Kapan mau mulai?”
“Biasanya nunggu 5 orang lagi” sahutnya sambil tersenyum.
Saya pun menyetujui untuk menunggu dengan sabar, sebab saat naik ke atas, rasanya deg-degan gak karuan. Padahal joki itu yang mau atraksi, kok saya yang panik ya.
“Padahal kamu yang mau greng-greng tapi saya panik ya," ucap saya pada joki itu yang menanggapinya dengan tertawa.
Karena lama menunggu akhirnya saya putuskan untuk membeli dulu camilan untuk mengganjal perut biar tak keroncongan; malam minggu harusnya ada gandengan bukan? Ya sudah, saya lapar.
Sesudah membeli makanan, saya kembali lagi ke wahana atraksi roda gila, atau orang-orang menyebutnya “tong setan”. Saya naiki tangga kembali.
Di atas sana terlihat pemandangan bianglala, terdengar lagu dangdut remix membahana. Di bawah sana orang tampak para orang tua sedang mendampingi anak-anaknya bermain. Tak jauh dari wahana tong setan ini, di pinggirnya, ada anak-anak sedang bermain melompat pada balon menggelembung – saya bisa melihat raut kebahagiaan mereka. Masih terdengar jeritan histeris orang-orang yang sedang di hanyutkan oleh permainan wahana ombak banyu.
Baca Juga: CERITA DARI BANDUNG BARAT #7: Naik Delman tak lagi Istimewa
CERITA DARI BANDUNG BARAT #6: Bersama Z di Bawah Langit Cisarua
CERITA DARI BANDUNG BARAT #5: 26 Tahun Ukar Karmita di Jalur Perlintasan Kereta
CERITA DARI BANDUNG BARAT #4: Perlawanan Antikolonial di Balik Manisnya Wajit Cililin
Melihat Sang Joki Berkerja
Dari atas saya melihat ada rombongan keluarga yang berjalan naik setelah membeli tiket untuk melihat atraksi tong setan ini. Rasanya tak sabar melihat langkah mereka. Jantung masih berdegup karena sedikit panik menunggu atraksi sang joki.
Pintu masuk ditutup. Motor dinyalakan. Pedal gas dikocok. Suara motor bising mulai membuat telinga mendenging. Tapi tak apa, saya ingin menguji adrenalin dengan melihat sang joki bekerja
Joki itu mengendara kencang memutari wahana, lalu melepas dua tangan dari pegangan setang motornya. Penonton tersenyum lebar, terlihat bahagia.
Di samping saya ada seorang ibu dan anak, yang bapaknya memperlihatkan mimik muka yang memang terlihat penasaran menyaksikan aksi sang joki memutari wahana. Di ujung sebelah kiri saya ada seorang perempuan berkerudung hitam mulai mengeluarkan uang Rp 50 ribu selembar. Saya ingat kata sang joki agar ikut nyawer. Akhirnya saya titipkan uang pada bapak di pinggir saya, biar bapak itu yang nyawer, saya hanya ingin melihat joki beratraksi.
Sang joki berusaha menangkap lembar-lembar uang yang di lempar dari arah penonton. Setiap lembar uang yang berhasil didapat langsung di tempel di jidat, di simpan di sela-sela mulutnya, kemudian kembali melepas dua tangannya dari pegangan setang motor lagi, kemudian memutari wahana lagi.
Sekarang saya sudah tak deg-degan. Tetiba lega. Baru saya sadari, seorang ibu dan anaknya yang tadi di samping saya itu sudah lebih dulu turun, mungkin mereka deg-degan seperti saya tadi.
Atraksi selesai. Semua pengunjung kembali turun. Sang joki menghitung untung dari uang saweran para pengunjung.
Rambutnya lumayan agak gondrong, di tangannya ada tato. Senyuman di wajahnya terkesan begitu ringan dan ramah. Ia adalah Amoy atau Asep Deni, sang joki yang baru saja beraksi di dalam wahana tong setan tadi.
Amoy bercerita, pertama kali menjadi joki roda gila atau tong setan pada awal 2017 di Jawa tengah. “Dulu pertama pas awal 2017, pertama kali di Jawa Tengah, di Purworejo. Main tong setan jugalah, belajar. Kali pertama itu gak pake motor dulu A’. Tapi pake sepeda, sepeda Ontel. Selang beberapa bulan terus pake motor,” kata dia.
Amoy mengaku belajar sangat cepat selama satu minggu untuk kemudian bisa beralih dari sepeda ke motor.
“Kalau saya waktu dulu seminggu pake sepedah, tapi kan saya main bareng bertiga sama motor.”
Ia memilih menjadi joki tong setan ini karena bahagia bisa menghibur orang sekalipun sangat menguji mentalnya.
“Jadi kalau saya mah, kalau kerja pengennya agak menantang gitu A’. Sambil menghibur orang, juga seneng.”
Selama di Jawa dia bekerja di sirkuit tong setan. Selama tiga tahun dari satu pasar malam ke pasar malam yang lain. Dia lalu pulang ke tanah kelahirannya di Tasikmalaya, namun pandemi melanda. Dan kini ia kembali lagi di pasar malam yang saat ini ada di kabupaten Bandung Barat. Selanjutnya entah ke mana lagi.
“Di Jawa 3 tahun, pulang ke Tasik itu ga boleh dibuka karena kan korona.”
Amoy memilih menjadi joki tong setan karena bisa mendapatkan uang lebih dari saweran. Dia bercerita bisa mendapatkan hampir Rp 2,5 juta bila sedang ramai. Hasil saweran tak dilibas sendiri,tapi dibagikan pada kawan-kawan yang sedang berjaga di wahana lain.
“Kalau tong setan, ingin mencari uang lebih. Kalau saweran kan kadang-kadang banyak, semalam 800, 900 kalau ramai, bahkan saya pernah dapat saweran hampir dua juta kurang. Saweran doang itu bukan gaji. Tapi kan dibagikan lagi ke yang lain kasian,” kata Amoy.
Yang Tak Akan Terlupakan
Saya penasaran, bertanya pada sang Joki tanpa ada maksud apa-apa, hanya ingin ingin menjawab keinginan tahuan saya, yang ternyata hal yang sama dirasakan sang joki, ada juga perasaan takut sang joki kalau motornya tertimpa ke arah para penonton yang sedang melihat atraksi. Itu pernah terjadi dan menjadi pelajaran baginya untuk berhati-hati.
“Pernah saya A’, jatuh, dan motor kena ke penonton, kejadian itu gak bisa saya lupakan.”
Rasa waswas itu ada dalam diri Amoy. Tapi dia lupakan, dijadikan pelajaran, terus mengitari sirkuit wahana roda gila, melepas tangan dua dari setang motor, menghibur penonton, mendapatkan saweran walau sedikit rezeki itu dibagikan.
Benar kata Pramoedya Ananta Toer, di mana orang-orang ramai datang, dan ramai-ramai pergi. Berpamitan dengan Amoy dalam iringan backsound lagu dangdut, ini Pasar Malam.