• Kolom
  • JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #12: Merawat Halalbihalal, Mengokohkan Toleransi

JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #12: Merawat Halalbihalal, Mengokohkan Toleransi

Tradisi halalbihalal dalam ritual Idulfitri dirayakan secara umum dan masif. Bersifat lintas agama, lintas kepercayaan, lintas suku, dan lintas golongan (inklusif).

Ibn Ghifarie

Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.

Seusai salat Idulfitri, warga bersilaturahmi dan saling memberikan ucapan selamat Idulfitri tanpa bersentuhan fisik. (Foto: Prima Mulia)

29 April 2023


BandungBergerak.id – Tumbuh suburnya aktivitas silaturahmi, kerja sama, dialog antaragama dalam bingkai halalbihalal menjadi bukti nyata atas kekayaan khazanah Islam Indonesia.

Pasalnya, perbedaan keyakinan bagi Gus Dur tidak membatasi (melarang) kerja sama antar Islam dengan agama-agama lain, terutama dalam urusan yang menyangkut kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam tentang pentingnya kerja sama, dialog antaragama dapat diwujudkan dalam praktik kehidupan nyata sehari-hari.

Walhasil, seringnya digelar silaturahmi, dialog dengan pegiat lintas iman ini sebagai ikhtiar merawat, menebar tradisi halalbihalal yang berusaha mengokohkan toleransi tanpa basa-basi. Dengan berusaha meraih persaudaraan sejati tanpa melihat segala perbedaan suku, etnis, kepercayaan, agama. Sungguh indahnya saat berkumpul antarsesama manusia melekat tanpa sekat. Dialog tanpa monolog.

Dalam tulisan Satu Lebaran, Banyak Iman oleh Wawan Gunawan, Direktur Eksekutif Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian Nawang Wulan, Pembina Jakatarub, Penyuluh Program Moderasi Beragama Kementerian Agama RI mengaskan ihwal pentingnya toleransi tidak hanya saling menghormati dalam perbedaan, tetapi dibarengi dengan bekerja sama dalam perbedaan. Lebih dari itu, toleransi diharapkan untuk saling menjaga, merawat dalam perbedaan.

Kami bertoleransi dengan sama-sama menjaga iman masing-masing. Tidak hanya iman kami, tetapi juga iman sahabat-sahabat kami yang berbeda. Jadi, tidak ada yang namanya pencampuradukan iman, sebagaimana yang sering dituduhkan orang lain kepada kami para pegiat dialog lintas iman.

Justru kami saling mendorong agar masing-masing kuat dalam keimanannya. Inilah yang dimaksudkan oleh Mahaguru, KH. Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dari Cirebon sebagai mubadalah, kesalingan.

Saya pernah mendengarkan satu ceramah aneh dari seseorang profesor yang telah menulis buku komunikasi antar agama. Dalam suatu acara bertema kerukunan umat beragama di suatu provinsi, ia mengatakan: "Tidak usah orang Islam ikut-ikut acara natalan. Juga tidak usah orang Kristen ikut acara-acara Lebaran. Itu namanya toleransi kebablasan."

Padahal, ini sama sekali bukan pencampuradukan. Justru ini toleransi yang nyata di mana kami saling mengapresiasi untuk turut bergembira saat saudara-saudara kami yang berbeda agama berbahagia. Tentu dalam imannya masing-masing. (Bandung Bergerak, Rabu 26 April 2023).

Pengalaman serupa diceritakan oleh Guru Besar UIN Bandung, Prof Dadang Kahmad dalam liputan bertajuk Hari Pertama Lebaran Uskup Agung Bandung Sambangi Ketua PP Muhammadiyah.

Momen hari raya lebaran biasanya dimanfaatkan untuk saling bertemu saudara dan sanak famili yang sudah lama tak berjumpa. Sebab tak hanya didatangi saudara dan cucu, di hari besar itu rumah mantan Direktur Pascasarjana yang berada di Jalan Desa Cipadung disambangi pula oleh Keuskupan Agung Bandung, Senin, (2/05/2022)

Kunjungan pihak Keuskupan ini untuk sama-sama merayakan hari Lebaran sekaligus sebagai bentuk upaya mengeratkan tali silaturahmi kerukunan antar umat beragama. Sejatinya kunjungan silaturahmi lintas agama tidak hanya terjadi sekali ini saja. Pihak Uskup Agung dan Pastor memang sudah sering datang ke rumahnya setiap lebaran tiba.

“Budaya” ini pertama kali dilakukan pada tahun 2017 dan terus dilakukan hingga sekarang. Walaupun tahun lalu sempat ada larangan berkunjung ke rumah saat lebaran karena masih tingginya angka pandemi Covid-19, Keuskupan Agung tetap memberikan kartu ucapan selamat lebaran kepada Prof Dadang.

Kedatangan pihak Keuskupan ini tak lepas dari terjalinnya hubungan baik antara Guru Besar Sosilogi Agama bersama dengan orang-orang dari lintas agama lainnya.  Faktor ini pula yang menjadi latar belakang kehadiran Uskup Agung ke kediamannya pada saat lebaran.

Silaturahmi dengan Pastor Agus bersama dua pastor yang menemaninya diisi berbagai obrolan menarik seputar kebangsaan dan kemanusiaan tanpa sekalipun menyinggung perihal akidah masing-masing. Ini dilakukan demi saling menjaga kerukunan dan nilai toleransi antar umat.

Hubungan lintas agama ini wajib dijalin karena sudah sepatutnya setiap warga Muhammadiyah bisa bekerjasama dengan siapa pun untuk membangun bangsa dan negara yang lebih baik. (Muhammadiyah Jabar, Rabu 4 Mei 2022).

Baca Juga: JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #11: Merawat Sahur Toleransi, Indahnya Berbagi
JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #10: Memupuk Toleransi, Menebar Kebaikan
JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #9: Robohkan Prasangka, Rayakan Kebersamaan
JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #8: Memupus Kebencian, Meraih Indahnya Hidup Berdampingan

Dinamika Halalbihalal

Memang proses penyucian diri saat lebaran, lalu kita sempurnakan dengan memohon maaf kepada orang, kepada siapa kita berdosa, baik sengaja ataupun tidak. Ketika perbuatan baik itu dilakukan, ada yang mengatakan bahwa kita seperti dilahirkan kembali sebagai manusia yang tidak berdosa, karena telah terhapus.

Di Indonesia ada sebuah kegiatan yang tidak ada di Negara lain, yaitu halalbihalal: silaturrahim yang dilakukan antara anggota keluarga besar, kantor atau RT/RW.

Uniknya, halalbihalal bukan lagi tradisi agama Islam, tetapi sudah menjadi kegiatan budaya yang melibatkan warga non-muslim. Halalbihalal bersifat lintas lapisan masyarakat, lintas lapangan masyarakat dan lintas kepangkatan.

Banyak hadis yang menerangkan keutamaan silaturrahim. Salah satunya HR al Hakim: “Hai Abu Hurairah! Kamu harus berakhlak yang baik” Dia bertanya: “Apakah akhlak yang baik itu?" “Hendaknya kamu menyambung silaturrahim dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, memaafkan orang yang berbuat dzalim kepadamu, dan memberi kepada orang yang tak mau memberi apapun kepadamu.”

Untuk yang mempunyai masalah dalam hubungan pribadi mendapat kesempatan emas guna meminta maaf kepada pinak yang kita mempunyai kesalahan. Permintaan maaf itu harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tulus, jangan hanya basa-basi.

Bagi yang tidak mempunyai masalah berat, meminta maaf dan memberi maaf bukan sesuatu yang mudah. Tetapi bagi yang merasakan perlakuan dzalim, tidak mudah untuk memberikan maaf. Kalaupun memberikan maaf, tetap sulit untuk melupakan.

Para ahli mengatakan emosi negatif masih terasa, seperti marah, kecewa dan dendam, sakit hati. Keimanan yang kuat didalam diri akan membantu kita secara bertahap melupakan dan memaafkan secara ikhlas.

Dosa kepada Allah Insya Allah akan diampuni jika kita memohon ampun. Dosa pribadi kepada saudara, kawan, sahabat, tetangga seberat apapun Insya Allah akan terampuni bila kita maaf sepenuh hati. Kalau tidak seketika, Insya Allah secara bertahap.

Bagaimana dengan dosa sosial seperti korupsi, kebijakan yang memakan banyak korban? Seperti membongkar pasar tradisional yang menyebabkan ratusan pedagang kehilangan pekerjaannya, yang dilakukan karena menerima dana dari perusahaan yang menjadi pengembang dari lokasi yang dikosongkan itu?

Bagaimana dengan dosa politik seperti menghilangkan orang secara paksa atau melakukan tindakan yang menyebabkan terbunuhnya puluhan orang tanpa alasan yang kuat, seperti kasus Tanjung Priok dan peristiwa 27 Juli?  (Media Indonesia, 23 September 2009 dan Majalah Tebuireng edisi 34 Agustus-September 2014:5-6).

Saking kuatnya praktik halalbihalal lintas agama demi mewujudkan sikap toleran saat berinteraksi, hidup berdampingan. Temuan ini bisa kita baca dari hasil penelitian Aulia Rahmawati dan Joko Tri Haryanto tentang Penguatan Toleransi dan Identitas Sosial melalui Halalbihalal Lintas Agama.

Kegiatan halalbihalal lintas agama yang menjadi konsensus masyarakat Kampung Gendingan Yogyakarta dikonstruksikan sebagai pembentukan nilai toleransi antarumat beragama dan mengurai sekat identitas sosial yang dibatasi oleh identitas agama. Pada kehidupan bermasyarakat dengan terdapat pluralitas agama, halalbihalal lintas iman mampu mendorong penerimaan identitas sosial yang lebih besar dari pada identitas agama, yakni identitas sosial bersama sebagai warga Kampung Gandingan.

Identitas sosial sebagai warga mengatasi perbedaan identitas agama, sehingga lebih kuat dalam membangun sikap toleransi beragama dan kerukunan umat beragama.

Ingat, dalam catatan sejarah, tradisi halalbihalal sudah dilaksanakan sejak era Mataram Islam, yakni pada era KGPAA Mangkunegara I yang mengadakan pertemuan setelah salat Idul Fitri antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana untuk melaksanakan prosesi sungkeman. Intinya saling maaf memaafkan di antara mereka.

Namun pada saat itu belum dikenal istilah halalbihalal. Baru setelah era kemerdekaan, halalbihalal mulai dipergunakan. Berasal dari ide KH. Wahab Chasbullah salah seorang tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Pada bulan Ramadan di tahun 1948, Presiden Sukarno meminta nasehat kepada KH Wahab Chasbullah untuk memberikan solusi atas situasi politik yang tidak sehat.

Saat itu kondisi Indonesia dalam keadaan konflik internal, seperti pertikaian antarelit politik, bahkan terjadi beberapa pemberontakan seperti PKI dan DI/TII. Saran KH Wahab Chasbullah agar Presiden Sukarno memanfaatkan momentum Idulfitri untuk mengadakan forum silaturahmi sebagai bentuk rekonsiliasi yang diistilahkan halalbihalal.

Ini mengandung ikhtiar, thalabu halâl bi tharîqin halâl yakni mencari penyelesaian masalah, mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan, dan halâl yujza’u bi halâl yaitu pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan. Berkat tradisi ini semua tokoh politik diundang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahmi, duduk dalam satu meja dan memulai babak baru guna menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.

Toleransi Sejati

Dalam bukunya The Religion of Java, Clifford Geertz, dijelaskan tradisi lebaran setelah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan, yang disebut tradisi riyaya, di Jawa merupakan salah satu pesta keagamaan yang paling meriah dan menggembirakan.

Kebiasaan halalbihalal dimaknai sebagai “menghalalkan satu sama lain” yaitu saling memohon maaf. Meskipun pada kebudayaan Jawa, riyaya ini mencerminkan ketegangan, konflik dan penyesuaian kembali keagamaan yang terwujud dalam simbol perayaan yang paling umum, paling meriah dan paling kolektif kesatuan mendasar orang Jawa, bahkan kesatuan orang Indonesia pada umumnya.

Dengan demikian, tradisi riyaya, halalbihalal sangat menekankan kesamaan antara semua orang Indonesia, toleransi dalam menghadapi perbedaan-perbedaan mereka, kesatuan mereka sebagai bangsa. (Jurnal Smart, Studi Masyarakat, Religi dan Tradisi Volume 6 Nomor 1 Juni 2020:33-48).

Ihwal pentingnya kebiasaan halalbihalal, yang diikuti dengan meminta maaf ini bisa kita baca dari tulisan Bersalaman di hari yang Fitri Momentum Rekonsiliasi oleh Edy Musoffa Izzuddin. Sungguh tradisi halalbihalal ini sangat fenomenal di negeri ini, bahkan telah menjadi fenomena keindonesiaan itu sendiri.

Tak heran bila orang Arab pun bingung mendapati frase halalbihalal. Halalbihalal adalah bahasa Arab made in Indonesia. Momentum rekonsiliasi Idul Fitri yang merupakan ritual keagamaan yang khusus (eksklusif) di Indonesia dirayakan secara umum dan masif yang bersifat lintas agama, lintas kepercayaan, lintas suku dan lintas golongan (inklusif).

Dalam konteks dan perspektif ini tidak berlebihan jika Geertz menyatakan bahwa Hari Raya Idulfitri (bahasa Indonesia), riyaya (Jawa) adalah perayaan keagamaan yang paling umum, paling meriah dan paling kolektif di Indonesia.

Riyaya telah lama menjadi bukan hanya hari raya santri, karena faktanya dirayakan oleh semua orang Jawa, tidak peduli apa pun agama dan kepercayaannya. Riyaya dengan demikian secara sangat jelas menempatkan kesatuan dasar orang Jawa dan di balik itu kesatuan orang Indonesia pada umumnya. Riyaya mampu menyatukan keseluruhan serangkaian kepercayaan dan praktik keagamaan yang merupakan karakteristik Indonesia dewasa ini.

Saat memotret abangan, santri, priyayi; nasionalis yang bersemangat maupun tradisionalis yang sudah menipis; petani, pedagang, orang kota dan orang desa, semua bisa menemukan jenis lambang yang cocok buat mereka dalam pesta rakyat yang paling  sinkretis. 

Sinkretisme sebagai bentuk toleransi dalam keanekaragaman agama dan ideologi ini merupakan karakter kebudayaan Jawa yang fundamental.

Riyaya merupakan lambang yang sempurna untuk kultur Jawa. Kalau orang benar-benar mengerti segala sesuatu yang diamatinya dalam Riyaya, maka orang bisa mengatakan dirinya memahami orang Jawa. Maka dari itu riyaya adalah hari raya yang paling nasionalis di antara semua ritual umat Islam. Ini menandakan realitas dan kemungkinan tercapainya apa yang sekarang menjadi cita-cita semua orang Indonesia yang sangat jelas, yaitu kesatuan budaya dan kemajuan sosial yang terus berkesinambungan.

Idulfitri, riyaya dengan serangkaian tradisi saling bersalaman saat halalbihalal dapat menjadi sumber daya kultural untuk mewujudkan rekonsiliasi di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan mengukuhkan integrasi bangsa. Tentunya ini sangat relevan bila dihubungkan dengan potensi ketegangan dan konflik antar elite nasional menjelang perhelatan politik 2024 dewasa ini tampak semakin nyata di media sosial.

Pandangan para tokoh politik yang saling berseberangan, karena adanya agenda dan kepentingan, bisa menjadi sebab munculnya api perpecahan. Kita harus bisa memanfaatkan tradisi bersalam-salaman dalam acara halalbihalal untuk rekonsiliasi demi kemaslahatan umat dan bangsa. (Madrasatul Quran Times edisi 12 April-Juni 2022:13-15).

Untuk konteks Jawa Barat, tulisan Toleransi Beragama di Era “Bandung Juara” oleh Agus Ahmad Safei, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, semakin menegaskan fungsi agama sebagai berkah bagi umat manusia. Salah satunya, dapat diekspresikan melalui penghasilan kesadaran toleransi beragama.

Toleransi beragama merupakan satu parameter yang dapat dipakai untuk mengukur level kemajuan, keadaban dan peradaban sebuah bangsa. Bila semakin toleran sebuah bangsa, tingkat kemajuan, maka keadaban publik dan peradabannya akan maksimal pula.

Dalam pandangan Michael Walzer, toleransi merupakan keniscayaan dalam ruang individu dan ruang publik karena muara akhir dari toleransi beragama adalah membangun hidup damai (peaceful co-exsistance) di antara pelbagai kelompok masyarakat yang berbeda keyakinan, latar belakang sejarah, kebudayaan, bahasa, dan identitas.

Toleransi harus mampu membentuk kemungkinan-kemungkinan sikap, antara lain sikap untuk menerima perbedaan, mengubah penyeragaman menjadi keragaman, mengakui hak orang lain, menghargai eksistensi pihak lain dan mendukung secara antusias terhadap perbedaan budaya dan keragaman ciptaan Tuhan.

Hadirnya, silaturahmi ulama-umaro setiap menjelang datangnya bulan suci Ramadan dan Halalbihalal Idulfitri. Di mata Wali Kota Bandung perlu dipertahankan acara ini sebagai media memelihara komunikasi dan toleransi di kalangan umat beragama.

Dengan harapan sebagai media tempat menyampaikan sejumlah gagasan kepada para tokoh agama. Sebagai contoh, pada acara silaturahmi ulama-umaro yang digelar 11 September 2014. Gagasannya agar setiap bulan di setiap Kecamatan diadakan acara “Istighotsah Night” untuk melengkapi acara “Culinary Night” yang sudah ada sebelumnya.

Alih-alih mewujudkan wajah kota yang toleran, ramah, bersih, dan indah melalui penataan banyak taman dan fasilitas kota, yang jika berhasil dilakukan maka sesungguhnya itu adalah implementasi nyata dari nilai-nilai agama.

Bagi Wali Kota ikhtiar menghadirkan agama secara formal, mengimplementasikan esensi ajaran agama dalam kehidupan publik jauh lebih penting daripada sekedar terjebak pada simbol-simbol formal, yang rentan terpeleset menjadi sekadar komoditas politik. (KALAM, Volume 10, No. 2, Desember 2016:403–422).

Sudah saatnya umat Kristen (Katolik, Hindu, Budha, Konghucu) merasa senang melihat penganut Islam menjadi Islam lebih baik dan menjadi teladan bersama. Sebaliknya umat Muslim merasa bahagia melihat saudaranya Kristiani menjadi Kristen terus berbuat baik dan menginspirasi.

Hidup berdampingan sebagai praktik toleransi dalam ruang perjumpaan yang digelar melalui ajang silaturahmi, dialog, diskusi, halalbihalal. Semuanya dilakukan demi merobohkan prasangka, perbedaan keyakinan menjadi keharusan dalam memupuk sikap toleran sejak Ramadan, tiba waktunya Idulfitri, hingga open house Lebaran.

Dengan demikian, membiasakan halalbihalal atas keberagaman ini harus dimulai dari pribadi pimpinan, tokoh masyarakat, pemuka agama, pegiat dialog lintas iman yang berusaha mengokohkan toleransi, membangun kesadaran, persaudaraan sejati, peduli terhadap sesama, menebar cinta kasih, welas asih, kebaikan terhadap sesama tanpa sekat agama, kepercayaan, suku dan golongan.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//