• Opini
  • Surat Cinta untuk Presiden

Surat Cinta untuk Presiden

Menghambat penurunan emisi hari ini merupakan wujud dari kemunduran proses transisi energi, dan itu bakal memberikan kausalitas yang buruk bagi bumi di masa depan.

Faudzil Adhiem

Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra IKIP Siliwangi.

Pantai Utara Jawa Barat menghadapi ancaman sangat serius karena perubahan iklim dan abrasi. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

1 Mei 2023


BandungBergerak.id – Kepada yang terhormat, Presiden Joko Widodo. Di tempat.

Termasuk Bapak, tak ada yang berhak kita puja dan puji atas kebenaran dan ciptaan selain Ia. Ia yang memberikan udara melalui ciptaan-Nya, dan IA juga yang mematikan hambanya melalui cipta-Nya.

Tanpa mengurangi rasa hormat, demikianlah faktanya, Pak; sebegitu kuasanya anda, kekuasaan anda itu fana. Bila anda berlaku diktator dan otoritarianisme, berarti anda melawan hakikat diri, takdir dan fitrah ontologis sebagai makhluk yang fana. Jadi, soal isu tiga periode, sebaiknya anda memegang ucapan anda dan amanat konstitusi soal masa jabatan presiden.

Kefanaan adalah fitrah ontologis dari manusia, dari anda dan kita. Seperti umur. Sepanjang bertambah, berarti semakin berkurang umur hidup anda di muka bumi, dan pada akhirnya anda akan mati, menjadi bangkai dimakan belatung kemudian menjadi tengkorak: Anda hanya akan jadi kenangan bagi generasi berikutnya. Anda hanya akan jadi bahan obrolan generasi kami semalam suntuk. Anda bisa disalahkan sebagai penyebab ketidakadilan bagi generasi kami. Anda bisa menjadi lumbung bagi serapah maupun tepuk sorai. Semua itu tergantung dari hukum kausalitas yang anda perbuat dalam hidup. Saya jadi ingat pada nasihat dari pepatah Sunda yang berbunyi; lamun melak bonteng, tangtu metik bonteng. Lamun melak hade, moal metik goreng, tangtu hade. Artinya bila menanam timun, pasti memetik timun. Bila anda menanam baik, mustahil memetik buruk, pasti baik! Apa yang anda tanam itu yang akan anda tuai: Anda menentukan diri anda sendiri.

Melalui surat ini saya – Faudzil, telah tinggal di bumi selama 22 tahun, dan kini dilanda kecemasan tentang hari dan tahun kemudian – ingin membawa anda merenungkan eksistensi anda dalam kontribusi kebijakan anda terhadap krisis iklim. Sekarang usia anda menginjak 61 tahun. Itu artinya anda lahir di tahun 1961, 4 tahun sebelum tahun-tahun tragis dari sejarah bangsa ini.

Sebagai presiden dan kakek dari kelima cucu anda yang lucu dan anda tentunya menyayangi mereka, sebagaimana anda menyayangi anak-anak anda. Bahkan biasanya lebih. Saya hanya ingin menyarankan anda untuk menjaganya dengan penuh kasih dan sayang, termasuk menjaganya dari masa depan bumi yang hari ini sedang dilanda krisis iklim.

Cucu-cucu anda, anak-anak anda atau anak-anak semuanya adalah pewaris dan pelanjut bumi. Merekalah yang akan hidup di tahun 2030 sampai seterusnya, sementara anda mungkin sudah menjadi kenangan.

Baca Juga: Surat Terbuka untuk Presiden di Hari Raya Idulfitri
Rahasia Umum Korupsi dan Politik Uang di Tahun Politik
Ramadan Selfie
Pendidikan dan Politik Bahasa, Sekolah sebagai Mitos Juru Selamat?

Bumi Kita Hari ini

Berdasarkan laporan The Climate Crisis Is a Child Rights Crisis: Introducing the Children’s Climate Risk Index, indeks Risiko Iklim Anak menunjukkan ada 1 miliar anak dengan “risiko ekstrem” mengalami kerugian akibat perubahan iklim. Jumlah ini nyaris setengah dari jumlah anak-anak di dunia, di dalamnya termasuk mungkin cucu-cucu anda dan anak-anak anda.

Bumi yang anda tempati sekarang, bukan lagi bumi yang digambarkan oleh kitab anda atau gampangnya bukan bumi yang ditulis oleh penyair Rainer Maria Rilke; “Bumi seperti seorang anak yang kenal sajak. Bumi tanpa kita sadari telah mengenal ritme, kejutan, keakraban dan keterpautan yang intens dengan kita. Bumi yang menyebabkan hujan seakan-akan berbicara nyaman, bukan terancam bukan mengancam”

Bumi yang anda tempati sekarang, ketika hujan turun bermetamorfosa menjadi rasa cemas-takut bagi manusia kota. Karena banjir akan mengetuk pintu rumahnya, mengepungnya dengan air, lumpur dan sampah. Bumi yang rusak itu bermusabab dari aktivitas manusia, perusahaan dan kebijakan anda yang tidak pro-iklim dan lingkungan hidup.

Kerusakan bumi/krisis iklim yang ditenggarai oleh aktivitas manusia, antara lain sebagai berikut: 1) Deforestasi. Pada era-anda, GreenPeace bilang laju deforestasinya seluas tiga kali pulau Bali. Dan tahukah anda? Dampak dari deforestasi itu mengakibatkan penurunan kualitas atmosfer, dan berkontribusi pada pemanasan global karena adanya peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang menyebabkan kenaikan suhu udara global. Artinya penurunan laju deforestasi mesti ditekan sedemikian rupa. 2) Pengubahan energi. Nyala lampu yang berasal dari energi fosil; batubara merupakan biang kerok terjadinya pemanasan global. Dan, tahukah anda, Pak? RUU EBET, yang disebut-sebut sebagai wujud penguatan regulasi pengembangan energi terbarukan dan berkelanjutan. Menurut Greenpeace hanya solusi palsu yang DPR sajikan karena menyelesaikan masalah dengan masalah. Melalui analisis yang GreenPeace lakukan. Dalam RUU EBET, Produk turunan energi batu bara: tercairkan, tergaskan, gas metana batubara dibungkus sebagai energi terbarukan. Selain itu, RUU EBET membuka opsih pembangkit listrik dengan campuran biomasa dengan bahan baku dari pelet kayu. Biomasa pelet kayu, menurut Greenpeace, berpotensi besar deforestasi. RUU EBET juga mengembangkan tenaga nuklir sebagai tenaga terbarukan di Indonesia, padahal sumber energi dari angin, matahari jauh lebih murah lima kali lipat ketimbang nuklir. Terakhir, RUU EBET memasukkan dan mengatur hidrogen sebagai energi terbarukan, padahal sumbernya dari energi fosil.

Bumi Kita Nanti

Yang digadang-gadang sebagai wujud kebijakan pro iklim, demi janji mengurangi emisi karbon 31.9% yang tertuang dalam dokumen Echanced Nationally Determined Contribution (NDC) Bapak bersama DPR malah berpotensi menghambat penurunan emisi, yang merupakan wujud dari kemunduran proses transisi energi, dan itu bakal memberikan kausalitas yang buruk bagi kita, bagi cucu-cucu anda, bagi generasi berikutnya.

Pak, Presiden. Negara yang sedang anda nakhodai ini berada pada peringkat 46, negara yang berisiko tinggi dari krisis iklim, dan anak-anak Indonesia sangat rentan terhadap penyakit yang ditularkan melalui vektor, polusi udara, dan bencana banjir.

Perlu Anda ketahui, dan tentunya Anda mengetahuinya. Anak-anak berhak atas lingkungan hidup yang bersih, udara bersih, air bersih, dan makanan yang cukup. Anak-anak juga berhak belajar, bersantai, dan bermain. Hampir semua negara pada tahun 1989 sudah sepakat dengan itu. Namun apa buktinya? Silakan anda renungkan sendiri.

Menurut laporan UNICEF bumi masa depan, penuh api, mengalami kekeringan, dan badai menerjang karena suhu bumi yang kian memanas. Kota-kota akan hanyut oleh banjir besar: bumi masa depan itulah bumi yang bakal ditempati cucu-cucu anda/generasi kami; dan anda mungkin sudah menjadi tengkorak. Generasi setelah anda, menghadapi masa depan yang gelap; kelaparan, konflik, penyakit mematikan akibat guncangan iklim dan lingkungan. Yang lebih nahasnya anak muda paling miskin dan paling rentan jatuh lebih jauh dalam kemiskinan, mempersempit peluang mereka pulih dari bencana siklon atau kebakaran liar di masa depan

Ingat perkataan ini, Pak presiden yang bijaksana: Krisis iklim adalah krisis hak anak, demikian kata perwakilan UNICEF Indonesia Debora Comini, dan itu melanggar apa yang disebutkan dalam konvensi perserikatan bangsa-bangsa. Tetapi yang patut anda renungkan dan jawab adalah: masihkah anda menyayangi anak dan cucu anda? Bila iya, anda tahu apa yang mesti anda perbuat!

Anda hari ini, adalah kakek bagi republik Indonesia di mata anak-anak bangsa yang gemes dan ceria.

Demikian surat ini, saya akhiri dengan mengucapkan peluk cium dari sini untuk anda, agar anda tahu bahwa segala kritik tentang kebijakan semata-mata karena cinta kita terhadap kemajuan bangsa. Semoga anda berada dalam lindungan Tuhan semesta alam.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//