BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #4: Pameran Kesehatan, Buku Adat Sunda dan Baby Show
Raden Ayu Sangkaningrat berkontribusi pada penyusunan buku kesehatan anak. Ia juga terlibat pameran bayi di Jaarbeurs, Bandung.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
2 Mei 2023
BandungBergerak.id - Antara 25 Juni hingga 10 Juli di Bandung berlangsung pameran pertama higienitas di Hindia Belanda (Eerste Hygiene Tentoonstelling in Nederlandsch-Indie) atas inisiatif Vereeniging tot Bevordering der Hygiëne in Nederlandsch-Indie. Perhelatan tersebut diselenggarakan bersamaan dengan pelaksanaan pekan raya tahunan di Bandung yang kedelapan (“8ste Nederlandsch-Indie Jaarbeurs en Markt”).
Sumber informasi mengenai pameran tersebut terbilang banyak. Saya sendiri memperolehnya dari buku panduan, katalog acaranya, dan pembukaannya yang masing-masing bertajuk Eerste Hygiene Tentoonstelling in Nederlandsch-Indie, Bandoeng, 25 Juni-10 Juli 1927; Eerste Hygiene Tentoonstelling in Nederlandsch-Indie, Tweede Overzicht der Inzendingen; Gids voor de Eerste Hygiënetentoonstelling in Ned.-Indie; dan Rede Uitgesproken ter Gelegenheid van de Opening der Eerste Hygiene Tentoonstelling in Nederlandsch-Indie.
Dari dua buku pertama, saya mendapatkan data Raden Ayu Bandung alias Raden Ayu Sangkaningrat tercatat sebagai salah seorang panitia pada perhelatan besar itu. Bersama dengan Nyonya Van Gesseler Verchuir dan Nyonya Tjen Djin Tjong, Sangkaningrat menjadi panitia “Sub-Comite” di Groep K terutama pada subketiganya “Vrouwen- en kinderkleeding” (pakaian perempuan dan anak-anak).
Latar belakang pameran higienitas itu bisa dibaca dari berbagai pustaka sejak tahun 1926. Misalnya dari Verzameling voorschriften betreffende den Dienst der Volksgezondheid (1926), saya tahu kepala jawatan kesehatan masyarakat (“het Hoofd DVG”) menerbitkan sirkuler bernomor 1830 tanggal 2 Februari 1926. Isinya berkisar di sekitar niatan untuk mengumpulkan beragai materi untuk pameran dalam bidang higienitas, baik di Hindia maupun di Eropa. Ia juga diminta untuk bekerja sama dalam penyelenggaraan pameran pertama higienitas di Hindia Belanda yang akan dilaksanakan pada pertengahan tahun 1927 di Bandung.
Rencana lainnya saya temukan dari wawancara dengan Prof. H.M. Neeb, guru besar Technische Hoogeschool (ITB) yang menjadi ketua utama panitia pameran, dalam De Locomotief edisi 20 Mei 1926. Antara lain di situ dikatakan bahwa pameran tersebut selain yang pertama di Hindia Belanda juga yang pertama diselenggarakan di Asia. Tujuan utamanya, konon, adalah untuk mendirikan museum higienitas yang permanen.
Sementara yang berkaitan dengan Raden Ayu Sangkaningrat terdapat dalam berita Bataviaasch Nieuwsblad (2 November 1926) dan De Locomotief (3 November 1926). Intinya, untuk pameran tersebut Nyonya Hovig akan mengumpulkan pakaian dari zaman dulu hingga masa sekarang (tahun 1926) di Bandung. Sedangkan Sangkaningrat dan Nyonya Tjen Djin Tjong akan mengumpulkan pakaian bangsa bumiputra dan Tionghoa di Bandung.
Pameran pertama higienitas dan Jaarbeurs di Bandung dibuka secara resmi pada pagi hari tanggal 25 Juni 1927 di restoran Jaarbeurs. Ketua, sekretaris, dan banyak anggota Volksraad hadir dalam perhelatan tersebut. Pada pukul 08.00 lebih, K.A.R. Bosscha, warga kehormatan Bandung, membuka acaranya dengan pendahuluan singkat ihwal Jaarbeurs. Dilanjutkan sambutan Directeur van Onderwijs Hardeman yang berterimakasih kepada Vereeniging tot Bevordering der Hygiëne in Nederlandsch-Indie dan menyatakan bahwa saat itu perusahaan yang mengikuti Jaarbeurs meningkat dari 28 pada tahun 1925 menjadi 34 pada 1926, dan pada 1927 menjadi 45 perusahaan.
Dari sambutan Profssor Neeb, saya tahu bahwa pada makan siang dalam sesi konferensi pers di Jaarbeurs keenam bulan Juli 1925 di Bandung, M.A.J. Kelling, editor keuangan untuk De Indische Post, menyatakan gagasan bahwa untuk Jaarbeurs ketujuh tidak saja diselenggarakan pameran sosial, ekonomi, dan keuangan saja, melainkan juga dengan higienitas. Demikianlah asal usul penyelenggaraan Eerste Hygiene Tentoonstelling in Nederlandsch-Indie.
Menurut Neeb, maksud penyelenggaran pameran tersebut adalah untuk meningkatkan kesadaran di antara para penduduk di Hindia Belanda dan membangkitkan minat pada pendidikan kesehatan, berikut aplikasi praktis dan hasil-hasil yang dicapainya. Ada tujuh butir manfaat dari pameran tersebut. Sementara sasaran akhirnya adalah pendirian museum higienitas (De Koerier, 25 Juni 1927).
Buku Kesehatan Orang Sunda
Selain sebagai panitia Groep K, Raden Ayu Sangkaningrat berkontribusi pada penyusunan buku Iets over Hygiëne, in verband met adat, geloof en bijgeloof van het Soendaneesche volk, bersama dengan R. Kosasih Soerakoesoemah, R. Memed Sastrahadiprawira, R. Saleh Soeriawinata dan R. King Soelaeman Natawijogja. Buku ini merupakan terbitan kesepuluh dari Vereeniging tot Bevordering der Hygiëne in Nederlandsch-Indie (“Publicatie no. 10 van de Vereeniging tot bevordering der hygiëne in Ned.-Indië”) dan dicetak oleh A.C. Nix di Bandung.
Buku ini diterbitkan pada 1927. Salah satu yang membuat yakin demikian, antara lain karena ada sedikit bahasannya dalam De Locomotief edisi 15 November 1927. Di situ dikatakan dalam buku tipis yang bagus terbitan Vereeniging tot Bevordering der Hygiëne in Nederlandsch-Indie, sejumlah orang Sunda yang terkemuka, baik perempuan maupun laki-laki, mengumpulkan sejumlah besar keterangan rinci tentang higienitas, yang berkaitan dengan adat, kepercayaan, dan mitos di antara masyarakat Sunda. Di antaranya tradisi mengikir gigi yang dilakukan oleh “doekoen goesar”.
Secara rinci, saya melihat bukunya. Memang, sesuai judulnya, buku tersebut berkaitan dengan higienitas yang terdapat dalam adat, kepercayaan, dan mitos orang Sunda. Buku yang tebalnya 73 halaman ini terdiri atas empat bab utama, yaitu “Inleiding” (pendahuluan), “Algemeene Ziekten” (penyakit umum), “Kinderziekten” (penyakit anak-anak), “Bijzondere Ziekten” (penyakit-penyakit khusus), ditambah dengan bahasan tentang “Eerste Hulp bij Ongelukken” (pertolongan pertama pada kecelakaan), “De bevalling” (kelahiran), “De besnijdenis” (menstruasi), “Tanden afvijlen (goesaran)” (mengikir gigi), “Het huwelijk inde Soendalanden” (pernikahan di antara orang Sunda), “De huwelijksvoltrekking” (upacara pernikahan), dan “De begrafenis” (penguburan).
Misalnya, kepercayaan orang Sunda terhadap cacar, sebagaimana yang sudah saya urai dalam buku Kuris: Vaksinasi Cacar di Tatar Sunda, 1779-1948 (2021). Menurut Raden Ayu Sangkaningrat dan kawan-kawan (1927: 15), orang Sunda mengganggap cacar disebabkan oleh hantu (jurig kuris). Orang yang terkena cacar dibawa oleh hantu (kapalingan). Saat datang ke rumah korban, hantunya meletakkan batang kayu atau pohon pisang, untuk membuat samar orang lain.
Pengobatan cacar secara tradisi dilakukan oleh dukun. Sebelum mengobatinya, dukun membaca mantra untuk makhluk-makhluk halus yang bisa jadi berasal dari air atau dari daratan, sebagai berikut: “Poen sampoen kaloehoer ka Goeroe Poetra Hiang Bajoe, ka handap ka Sinoegrahan ka Batara Nagaradja, ka Batari anoe pasti, panoehoen djisim abdi bisi aja noe ti tjai, ti geusan mandi, ti darat ti pasampangan”. Setelah membaca mantra itu, dukun merapal mantra berisi agar penyakit yang menghuni sumsum, selaput, bulu, bulu hiang, dapat sembuh seperti sedia kala (“Oelah tjitjing dina soengsoem, oelah tjitjing dina lamad, nja tjitjing dina boeloe, oelah tjitjing dina boeloe hiang, tiis tali poerna, hoerip waras!”, Sangkaningrat, dkk, 1927: 17).
Dukun melanjutkan rapalan agar orang yang sakit kian memerlihatkan kegembiraan, memberikan daya hidup dan keberanian. Penderita lalu dimandikan dengan air dari kendi lalu dukun membakar kemenyan sambil mengelilingi tubuh penderita sebanyak tiga kali. Panglay dikunyahnya saat malam tiba dan menyemburkannya ke pintu depan dan halaman. Setelah tiga hari dimandikan, bintil-bintil akan muncul. Proses pengobatannya tidak boleh berganti dengan dukun berbeda.
Penderita harus dijaga dengan berbagai pencegahan, yaitu di tengah rumah atau depan pintu dipasangi kemenyan yang dibakar, seraya merapal berikut: “Sang Ratoe Depong, Sang Ratoe Tempo, Sang Ratoe Gerendel herang, Sang Ratoe Paksa, Sang Ratoe Oepas Barabaj, Oelah raksa gawe ka oerang manoesa, njaho aing Ratoe sia, Ratoe Toeroeg anoe tjalik di Goenoeng Agoeng.anoe ngageugeuh Pandaj Domas, diilang koe Banteng Soeria Kantjana, dipangngilangankeun koe Banteng Soeria Kantjana, istan ora lajana, istan ora bajana” (Sangkaningrat, dkk, 1927: 18).
Selama pengobatan, anggota keluarga harus tetap melek hingga menjelang pagi. Sambil berkomat-kamit membaca mantra, ada yang harus mengelilingi rumah dan sebaiknya sambil bertelanjang, dan membawa tiga batang sapu lidi yang terus dicambuk-cambuk ke sana-ke mari. Kata-kata yang harus digunakan di dekat penderita cacar adalah “loba” (banyak), “samak” (tikar), dan “beunghar” (kaya) dengan maksud seperti yang sudah dibahas di atas. Demikian pula penggunaan kata “bagong” (babi hutan) bagi penderita (Sangkaningrat, dkk, 1927: 19).
Baca Juga: BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #1: Putri Patih Sumedang, Cucu Bupati Bandung
BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #2: Menikah dengan R.A.A. Wiranatakoesoemah
BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #3: Meisjes-internaat Soemoer Bandoeng
Pameran Bayi
Dalam ajang Jaarbeurs 1928, Raden Ayu Sangkaningrat terlibat dalam pameran bayi antara 29-30 Juni dan 1 Juli 1928. Kabar-kabar awalnya saya simak dari De Koerier edisi 2 dan 3 Mei 1928.
Menurut warta, antara 29 Juni hingga 1 Juli 1928 akan diselenggarakan “Baby Show” dalam perhelatan Jaarbeurs. Para pesertanya adalah bayi yang pada 1 Juli 1928 umurnya lebih dari enam bulan dan di bawah 12 tahun (tetapi kemudian diralat menjadi tidak lebih dari dua tahun). Panitia kehormatannya terdiri atas Nyonya A.C. de Iongh, Nyonya van Gesseler Verschuer, Nyonya Tjen Djin Tjong, dan Raden Ayu Sangkaningrat. Konon, maksud acara tersebut adalah memamerkan para bayi dengan ibunya lalu diuji, ditimbang, diukur, dan lain-lain yang dilakukan oleh panitia inspeksi. Panitia pemeriksanya terdiri atas Dr. F. J. van Mervennée, Dr. Christie Wyckerheld Bisdom, Dr. R. Soemitrohadibroto dan Dr. E.R.R Linn.
Sesuai perlapisan masyarakat kolonial, bayi-bayinya dikelompokkan berdasarkan ras, ada kelompok Belanda, Tionghoa, dan bumiputra. Bayi Eropa akan dinilai pada 29 Juni, sementara bayi bangsa bumiputra pada 30 Juni, dan pembagian hadiahnya akan dilangsungkan pada 1 Juli 1928. Hadiahnya akan diberikan oleh Nestlé Condensed Milk Co, berupa uang sebesar f. 2000, sebagai uang tabungan. Manajemen Hotel Homann akan menyediakan cenderamata bagi para peserta. Pendaftarannya sendiri dilakukan pada 15 Mei hingga 15 Juni 1928.
“Baby Show” itu diiklan dalam De Koerier edisi 6 Juni 1928. Kemudian, dalam De Koerier edisi 16 Juni 1928 dikatakan acara tersebut menarik minat banyak orang. Banyak bayi, demikian juga keluarga dokter dan para pemuka, yang sudah mendaftar. Bahkan para wedana mendaftarkan bayi-bayi dari desa-desa di sekitar wilayah pemerintahannya. Di antara yang terdaftar, disebut-sebut Raden Mohamad, putra bupati Bandung dengan Raden Ayu Sangkaningrat (“dat onder de deelnemers aan de baby-show zich ook bevindt Raden Mohamad, zoon van den regent en raden ajoe van Bandoeng”).
Raden Mohamad yang dimaksudkan dalam berita De Koerier edisi 16 Juni 1928 itu sudah tentu merujuk kepada Raden Mochammad Memed Wiranatakoesoemah yang dilahirkan pada 20 November 1926. Alhasil, pada 1 Juli 1928, usia Raden Mohamad baru akan memasuki usia 20 bulan, sehingga dapat masuk menjadi peserta “Baby Show” dalam perhelatan pekan tahunan Jaarbeurs.
Karena peminatnya membeludak, Nestlé Condensed Milk Co menaikkan jumlah hadiahnya. Bagi bayi bangsa Eropa sebesar f. 200, f. 150, dan f. 50, bagi bayi orang Tionghoa sebesar f. 200, f. 100, dan f. 50. Sementara bagi bayi bangsa bumiputra dibagi menjadi dua kelompok, dengan hadiah masing-masing f. 200 untuk pemenang pertamanya dan selebihnya disediakan hadiah masing-masing sebesaf f. 100, f. 75, dan f. 50 (De Koerier, 25 Juni 1928).
Menurut warta De Indische Courant edisi 2 Juli 1928, ada 66 bayi Eropa yang mendaftar, yang masuk 60 bayi, dan 12 bayi diperiksa lagi. Ada 12 bayi Tionghoa yang mendaftar dan 5 yang masuk. Sementara bayi bumiputra ada 152 bayi yang didaftarkan, 102 bayi yang masuk, dan 21 bayi diperiksa lagi.
Daftar para pemenangnya antara lain mengemuka dalam Deli Courant edisi 10 Juli 1928. Bagi kategori bayi Eropa yang menjadi jawaranya adalah Louis Andiée van Smaalen (juara pertama, f. 200), Rudy Kolmus (juara kedua, f. 150), Willy van der Kulff (juara ketiga, f. 100), bayi perempuan keluarga Van der Mey (juara keempat, f. 50). Bayi Tionghoa yang dapat hadiah adalah Jo Hat Liang (juara pertama, f. 200), Tan Tek Siang (juara kedua, f. 100) dan Lim Wi Seng (juara ketiga, f. 50). Sedangkan bayi bangsa bumiputra yang menyabet hadiah adalah Soenarto anak Soekarmin (juara pertama, f 200), Salima anak Mohamad Idris (juara pertama, f. 200), Kardi anak Winata dan Sene anak Amin (hadiah kedua, f. 100), Djoemasi anak Atnan dan Maemoena anak Saleh (juara ketiga, f. 75), Endjih anak Raden Soekahadidjaja dan Mamat anak Aijim (juara keempat, f. 50).