• Opini
  • Refleksi Tragedi 1965: Jalan Terjal Rekonsiliasi

Refleksi Tragedi 1965: Jalan Terjal Rekonsiliasi

Rekonsiliasi hanya bisa diraih dengan mengaku kesalahan masa lalu dan jujur menerima fakta sejarah yang sudah disepakati bersama.

Farouq Syahrul Huda

Alumni Program Studi Hukum Pidana Islam UIN Surakarta.

Ada orang-orang yang berperan signifikan dalam dinamika zamannya tapi ditinggalkan begitu saja oleh sejarah. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

30 September 2025


BandungBergerak.id – Meskipun sudah enam puluh tahun berlalu, tragedi 1965-1966 masih menyisakan kebencian yang amat mendalam bagi masyarakat non-komunis. Di berbagai platform media online sekalipun, ujaran paranoid ini masih terus berkumandang. Simposium Tragedi 1965 yang diadakan 2016 lalu tidak menghasilkan apa-apa selain kebencian yang terus berlanjut, rekonsiliasi tidak benar-benar terjadi antara korban dan pelaku. Sebelumnya juga acara tersebut mendapat penolakan keras oleh berbagai organisasi kemasyarakatan (ormas) yang antikomunis. Saya tidak akan menceritakan lebih lanjut tentang simposium tersebut karena sudah banyak tulisan yang membahas agenda tersebut dan beberapa surat kabar juga sudah memberitakan itu.

Tulisan ini hanya berangkat dari sebuah refleksi panjang tentang bangsa ini, sebuah bangsa yang belum berdamai pada masa lalunya. Pemahaman literasi yang rendah dan kosongnya pola pikir kritis pada masyarakat inilah yang menjadi penyebab utama kebencian terhadap kaum komunis terus diwariskan. Bayangkan saja jika Indonesia sudah memasuki tahun 2035 bertepatan dengan tujuh puluh tahun tragedi 65 dan masyarakat khususnya Gen Z dan Gen Alpha masih mewarisi kebencian itu dari generasi terdahulu seperti Gen X dan Gen Milenial. Ini menjadi tugas pemerintah untuk membuka diskursus baru dalam rangka meluruskan pemahaman mayoritas masyarakat yang salah kaprah. Tetapi untuk pemerintah saat ini yang sedang berkuasa, rasa-rasanya ini konyol dan tak mungkin terealisasi.

Amerika Serikat tak mungkin tinggal diam tentang upaya “pencerdasan masyarakat” ini. Meskipun Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur sudah berakhir bertahun-tahun yang lalu, eskalasi sentimen terhadap komunisme tetap tidak pudar. Hanya sisa beberapa negara yang masih menerapkan ideologi komunis seperti Tiongkok, Kuba, Laos, Vietnam, dan Korea Utara. Bekas negara-negara komunis seperti di bagian Eropa Timur sudah berkiblat ke Amerika Serikat dengan bergabung dengan NATO (Organisasi Perjanjian Atlantik Utara) dan Uni Eropa, sedangkan Rusia yang semula menjadi simbolisasi negara Uni Soviet sudah menjadi negara independen dan memulai membangun ekonomi-politiknya secara signifikan demi bisa menyeimbangkan diri dalam menghadapi pengaruh liberalisme Amerika.

Tiongkok akhirnya juga harus beradaptasi pada lingkungan baru perpolitikan global, meskipun kebijakan ekonominya juga absurd. Tiongkok adalah negara komunis, tetapi dalam praktik ekonomi luar negerinya mirip kapitalisme barat. Indonesia masih terjebak dalam parade politik kelam di masa lalu, negara yang masih muda sebelum 1965 ini menjadi pionir utama dalam menggerakkan kesadaran akan hegemoni gaya baru imperialisme di negara-negara Dunia Ketiga dengan agenda Konferensi Asia-Afrika. Sukarno sadar betul akan posisi rentan politik global negara-negara Dunia Ketiga yang jika orientasinya adalah “tendensisme” maka akan memengaruhi arah kebijakan publik suatu negara dan membuat para pemimpin terkekang bahkan tersandera oleh rencana kebijakan mereka. Maka dari itu salah satu manifesto dari konferensi ini adalah menyatakan sebagai negara-negara Non Blok untuk menjaga netralitas dan independensi para pemimpin di Asia dan Afrika.

Baca Juga: Bangsa Indonesia, dari Masyarakat Klenik Menuju Masyarakat Rasional
NKRI Harga Mati, untuk Siapa?
Denialisme Naratif dan Kemerdekaan Palsu

Narasi dan Propaganda

Terlepas dari itu semua, apakah masyarakat awam khususnya di Indonesia yang terpapar propaganda rezim Orde Baru bisa melihat serangkaian alur konflik ini secara utuh? Sayangnya, saya rasa tidak akan bisa. Kita begitu sulit memahami pola pemikiran masyarakat dalam memahami sejarah yang utuh. Sejarah pun juga harus dipahami secara metodologis dan ilmiah. Paling tidak, kita menghargai proses kepenulisan sejarah yang juga berlandaskan metode jurnalistik yang kaya akan verifikasi dan klarifikasi akan sumber-sumber dari hasil wawancara narasumber beserta penguatan referensi pada bidang pustaka dan literatur tertulis mengenai sebuah teori-teori ilmu pengetahuan yang terkait dan juga kaitannya terhadap praktik yang terjadi di lapangan. Apalagi ini, kita sedang memahami secara mendalam bagaimana sejarah tragedi 1965 khususnya pada konteks pembunuhan massal.

Setiap tahun orang-orang dipaksa untuk mengingat kematian para enam jenderal itu, yang satunya adalah seorang letnan. Kemudian sehari setelahnya dikukuhkan sebagai peringatan Kesaktian Pancasila, seolah-olah menciptakan narasi tunggal bahwa komunisme sangat bertentangan dengan Pancasila. Orang tidak mengingat dan dengan mudahnya mengabaikan peristiwa setelahnya tentang kematian warga sipil tidak bersenjata hingga jutaan korban itu. Baik mereka yang komunis maupun yang tertuduh sebagai seorang komunis. Dan jika mereka (orang-orang antikomunis) tahu akan pembunuhan massal tersebut, maka respons awam mereka adalah bahwa mereka (orang-orang komunis) layak dibunuh hanya karena orang-orang itu adalah seorang komunis.

Harus diakui bahwa propaganda Angkatan Darat sangat manjur sekali dalam membentuk opini publik kala itu, bahkan hingga sekarang. Legitimasi atas keabsahan pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) itu juga didapatkan dari pembenaran sepihak oleh Angkatan Darat dengan alasan bahwa PKI (Partai Komunis Indonesia) sedang melakukan kudeta besar-besaran terhadap negara sehingga harus ditumpas, bahkan kepada mereka yang tertuduh atau terafiliasi dengan partai tersebut. Kesadaran yang rendah tentang aturan hukum inilah yang membuat masyarakat antikomunis membenarkan tindakan pembunuhan tersebut dan melihat apa yang dilakukan oleh Angkatan Darat adalah sesuatu yang absah.

Peradaban rendah masyarakat Indonesia pada masa itu juga dibuktikan dengan tindakan brutal perusakan kampus Universitas Res Publica milik Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) hanya karena tertuduh terafiliasi dengan PKI. Kampus yang merupakan sebuah institusi untuk kemajuan intelektual bangsa dirusak begitu saja, meskipun kelak di tanah yang sama berdirilah kampus Universitas Trisakti yang nantinya disebut Kampus Reformasi. Kampus yang dulunya Pramoedya Ananta Toer pernah mengajar di sini. Menurut John Roosa dalam bukunya yang berjudul Riwayat Terkubur, massa perusak kampus tersebut dilindungi oleh Angkatan Darat sehingga kepolisian tidak berani bertindak. Tidak hanya menghancurkan properti dan fasilitas kampus, massa yang terorganisir ini juga menyerang kantor-kantor organisasi sipil lainnya yang terafiliasi PKI, seperti kantor Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), serta gedung kantor Pemuda Rakjat.

Dan masih banyak lagi kejadian-kejadian pada kurun waktu tujuh bulan tersebut dari kisaran waktu Oktober 1965 hingga April 1966. Di sektor kebudayaan, produk-produk budaya juga turut serta dalam memanipulasi sejarah dan mencuci otak masyarakat Indonesia melalui sastra dan film seperti yang dijelaskan oleh Wijaya Herlambang dalam bukunya Kekerasan Budaya Pasca 1965. Seperti film pesanan rezim Suharto garapan Arifin C. Noer berjudul Pengkhianatan G30S/PKI, serta juga buku novel karya Arswendo Atmowiloto dengan judul yang sama. Sampai sekarang pun propaganda itu masih hidup dan berjalan di ingatan kolektif yang terbentuk secara “paksa dan disengaja”. Narasi sejarah tragedi 1965-1966 yang dimonopoli rezim Suharto melalui proyek penulisan sejarah yang dipimpin oleh Nugroho Notosusanto bahkan dijadikan sejarah resmi di buku-buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah.

Disinformasi Sejarah

Peran-peran PKI dalam masa-masa pra-Kemerdekaan melawan kolonialisme juga dihilangkan dan tidak dimasukkan di dalam buku pelajaran sekolah, seperti misalnya, kontribusi partai dalam memobilisasi kaum buruh dan tani untuk memberontak terhadap kebijakan koloni Belanda kala itu. Sejarah gerakan perempuan oleh Gerwani pasca-Kemerdekaan pun juga luput dalam diskursus sejarah resmi nasional, seperti peran Gerwani dalam memberdayakan posisi perempuan dalam konteks perjuangan mengentaskan buta huruf pada kaum perempuan serta perjuangan intelektual dalam bidang pendidikan perempuan dan kesetaraan gender dalam rangka melawan budaya patriarki. Apalagi membahas Lekra yang menanamkan kesadaran untuk mengenalkan budaya lokal di setiap daerah pada dunia internasional.

Mereka yang antikomunis khususnya orang-orang yang awam sangat mungkin sekali tidak paham kenapa mereka bisa begitu sangat anti dan benci terhadap ideologi ini. Yang hanya mereka bisa jawab adalah bahwa orang komunis itu tidak beragama, tidak bermoral, ataupun diselingi isu-isu seperti orang-orang PKI yang membunuh kiai dan penyerangan di salah satu pondok pesantren seperti yang tergambarkan dalam potongan film Pengkhianatan G30S/PKI. Ingatan salah kaprah ini diwariskan ke keturunan mereka tanpa dikritisi lebih bijak, masyarakat pada umumnya tidak mempunyai basis pengetahuan yang kuat dikarenakan minimnya minat baca pada literatur sejarah yang kredibel. Hal itu juga yang menyebabkan masyarakat tak mempunyai daya kritis yang tinggi dalam menyaring informasi sejarah dengan penalaran logika yang kuat. Masyarakat mudah percaya pada “kabar burung” dari mulut ke mulut yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Di negara yang sudah terlanjur terjun bebas ke dalam sistem kapitalisme seperti Indonesia ini memungkinkan PKI tidak mungkin bisa bangkit lagi, tak ada celah sedikit pun untuk bangkit. Tak ada dan tak mungkin gerakan komunis bisa termobilisasi seperti dahulu. Mereka yang dari keturunan orang-orang PKI tidak ada hasrat untuk itu semua, para keluarga korban pembunuhan massal sudah menjalani hidup dengan sangat baik sambil berdamai dengan masa lalu. Maka jika masih ada oknum-oknum yang menggencarkan isu bahaya laten PKI dan sebagainya, maka bisa dipahami mereka hanya menaburkan ketakutan pada masyarakat yang sebenarnya ketakutan itu tidak pernah ada dan nyata. Mereka yang masih terus berupaya mempertahankan propaganda rezim Orde Baru adalah mereka yang khawatir akan perilaku kejam dan kebiadaban mereka sendiri bisa terbongkar oleh sejarah.

Para pelaku tidak bisa menceritakan secara heroik tentang pembasmian itu kepada keluarga mereka ataupun orang lain, alih-alih dicap sebagai pahlawan, justru mereka akan mendapat label sebagai pembunuh yang keji dan psikopat. Sampai detik ini pun penyelesaian secara hukum oleh negara tidak terlaksana. Negara sangat sulit untuk mengakui sebagai pihak yang bersalah khususnya pada lembaga militer yang menjadi aktor utama dalam apa yang mereka sebut “pembersihan” itu. Angkatan Darat khususnya, tetap berkeras mereka melaksanakan pembersihan itu sesuai yang ditugaskan yaitu “melindungi bangsa dari ancaman kudeta nasional oleh PKI”.  PKI tidak melakukan kudeta apa pun pasca-30 September, apalagi menumpuk senjata api dan memberontak. Yang terjadi justru berkebalikan, para orang-orang komunis dan pendukungnya diburu di seluruh tanah air, ditangkap lalu dipenjara kemudian beberapa tahanan dijemput dari sel penahanan pada malam harinya lalu dibawa keluar ke tempat yang jauh dan sepi untuk dieksekusi tanpa putusan resmi dari peradilan.

Merenungkan Masa Lalu

Jadi untuk seluruh masyarakat Indonesia terkhusus para pembaca tulisan ini yang kemungkinan di antara kalian ada yang fobia terhadap komunisme, maka sudahilah ketakutanmu yang berlebihan itu. Mulailah membuka ruang di otak dan hatimu tentang pengetahuan baru yang belum pernah kamu dengar, turunkanlah ego dan sinismu, kemudian bersihkan hatimu dari kebencian yang kamu tanam selama ini. Cobalah untuk memulai membaca buku-buku sejarah yang objektif, yang di mana kamu bisa mendapatkan hal baru dan tentunya masuk akal dari apa yang kamu ketahui sebelumnya. Mengutip apa yang disampaikan oleh George Santayana bahwa “mereka yang tidak belajar dari sejarah, dikutuk untuk mengulanginya”. Kalimat ini bukanlah sebuah retorika pengingat biasa, karena memang terbukti di seluruh dunia, siapa pun orang-orang yang tidak memahami dan belajar dari kesalahan masa lalu maka ia akan dikutuk untuk mengulangi kesalahan yang sama di kemudian hari dalam konteks apa pun.

Tulisan singkat ini pada akhirnya menjadi sebuah narasi pelengkap untuk mendokumentasi opini publik yang konkret dan apa adanya, sebagai counter terhadap narasi antikomunis yang masih bertebaran di mana-mana. Tulisan ini juga sebagai penegas utama bahwa sejarah memiliki dimensi pemahaman yang sangat luas dan tidak bisa dimonopoli secara sepihak, kita sebagai kaum intelektual dari kalangan warga sipil biasa paling tidak menjaga kredibilitas informasi sejarah serta membangun integritas individu untuk jujur pada sejarah masa lampau tanpa disembunyikan dan dimanipulasi. Paling tidak ini menjadi salah satu syarat agar negara ini bisa berkembang dan menuju kemajuan yang nyata yaitu dengan mengakui kesalahan di masa lalu dan jujur serta menerima adanya fakta sejarah yang sudah disepakati bersama. Suatu saat saya berharap masih ada peluang untuk rekonsiliasi antara kedua belah pihak dan mengakhiri kebencian yang sudah berjalan bertahun-tahun lamanya.

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//