Denialisme Naratif dan Kemerdekaan Palsu
Kemerdekaan suatu negara adalah apa yang tercermin dari kehidupan yang layak bagi masyarakat, bukan narasi kosong sebuah slogan formal kemerdekaan.

Farouq Syahrul Huda
Alumni Program Studi Hukum Pidana Islam UIN Surakarta.
17 Agustus 2025
BandungBergerak.id – Indonesia ini masih pantas disebut bangsa atau “bangsat” sih? Mohon maaf saja, tulisan ini saya buat atas dasar keresahan dan kemarahan personal saya terhadap negara ini. Rezim sudah berganti tetapi kebiasaan buruk rezim sebelumnya masih saja melekat di rezim yang sekarang, habit buruk ini juga masih termanifestasi di dalam perilaku sehari-hari masyarakat. Lebih muak lagi saya apalagi menjelang kemerdekaan seperti ini, lihat saja logo resmi delapan puluh tahun Indonesia merdeka yang dirilis beserta slogan-slogannya. Logonya cukup “lucu” juga sekaligus jadi bahan hujatan dan kritikan dari netizen, dengan kreatifnya netizen mengedit logo tersebut seperti wajah orang yang lagi dibungkam mulutnya dan kedua mata yang ditutup dengan kain. Mengingatkan saya pada kasus yang masih hangat tentang kematian janggal sang diplomat muda Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) yang ditemukan meninggal di indekosnya dengan wajah tertutup lakban, dan konyolnya lagi kepolisian dengan terburu-buru menyimpulkan bahwa kematian sang diplomat dikarenakan bunuh diri.
Logika akal sehat mana yang mau menerima kesimpulan konyol seperti itu, tapi ya sudahlah. Pada dasarnya ini juga bagian dari kebobrokan institusi lembaga pemerintahan yang tak mampu menyelesaikan masalah yang dialaminya sendiri alih-alih memberi kepastian terhadap kondisi terakhir nasib sang diplomat. Dari sini saya mulai berpikir untuk merangkum segala permasalahan yang sangat pelik di negara ini, saya bahkan bingung untuk memulai dari mana saking kompleksnya problem bangsa ini. Masalah lain belum selesai, muncul lagi masalah yang baru. Sebagai negara yang baru berkembang dan tak maju-maju, bangsa Indonesia itu seperti seorang yang sedang ditonjok berkali-kali dari berbagai sisi dan hanya diberi kesempatan untuk berhenti istirahat/jeda beberapa detik lalu dihantam lagi dari sisi yang sama dengan eskalasi hantaman yang mulai meningkat.
Luka lama belum sembuh lalu datang lagi luka yang baru, dihajar berkali-kali tanpa henti membuat saya berpikir ulang kenapa bangsa ini selalu mengulangi kesalahan yang sama dan sangat gemar sekali untuk tidak belajar dari kesalahan sebelumnya dan cenderung tidak peduli pada apa yang terjadi di masa lampau. Lalu apa gunanya sebuah slogan-slogan ataupun jargon-jargon kemerdekaan yang akan datang itu? Kenapa kita begitu tekstual dan dangkal dalam memahami sebuah kalimat? Dan kenapa pula kita begitu denial terhadap realitas yang terjadi? Tentunya pertanyaan-pertanyaan itu tidak mungkin mendapatkan jawaban untuk menjawab semua permasalahan yang ada. Coba kita mulai dari slogan kemerdekaan Indonesia yang kedelapan puluh itu, slogan itu berbunyi “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”.
Baca Juga: Politik Mbajingisme
Bangsa Indonesia, dari Masyarakat Klenik Menuju Masyarakat Rasional
NKRI Harga Mati, untuk Siapa?
Narasi Kontradiktif
Di dalam benak kepala saya, sebenarnya motivasi dan landasan apa pemerintah menyajikan slogan tersebut? Bisakah narasi dalam slogan tersebut secara inklusif dapat menggambarkan persepsi yang sama di kalangan masyarakat? Atau yang terjadi sesungguhnya adalah narasi yang kontradiktif? Bersatu yang bagaimana yang dimaksud dari slogan tersebut dan apa implikasinya terhadap rakyat yang berdaulat? Selama ini kita dibenturkan secara horizontal antara rakyat dengan rakyat, tak mampu melihat keistimewaan tentang perbedaan. Yang terlihat hanyalah toleransi semu penuh kepalsuan, kawan-kawan Kristen dipersulit izinnya untuk membangun gereja oleh kaum Muslim, konflik antar rakyat hanya karena perbedaan pilihan politik, belum lagi konflik antar masyarakat adat diakibatkan eksploitasi lingkungan secara masif, dan lain sebagainya.
Jadi yang dimaksud bersatu itu apa? Bagaimana bisa kita bersatu jika konflik horizontal saja masih terus terjadi, pemerintah seperti lepas tangan dan tak mau berbenah diri mengenai apa yang terjadi di masyarakat. Dan kemudian perihal kedaulatan, terus letak berdaulatnya di mana? Kita ini masih disebut negara Dunia Ketiga yang bergantung pada negara-negara maju, kita belum benar-benar bisa mandiri secara ekonomi dan logistik. Lihat saja negosiasi tarif dagang antara Indonesia dengan Amerika Serikat, Prabowo Subianto selaku presiden Indonesia selalu menarasikan “kita ini bangsa yang besar”. Begitu Trump mengumumkan tarif dagangnya ke berbagai negara, Indonesia seperti kehilangan tajinya. Pemerintah masih melakukan “nego” kepada Amerika Serikat bahkan sampai detik ini ketika tulisan ini dibuat, tetapi tarif Trump untuk Indonesia masih 19 persen. Dan saya yakin ini tidak akan berubah, negosiasi akan berujung sia-sia.
Konyolnya lagi pemerintah akan melibatkan data pribadi rakyat Indonesia dalam rangka menuju kesepakatan tarif dagang antar kedua negara tersebut. Lalu kita masih percaya dengan slogan “berdaulat”? Hanyalah omong kosong belaka saudara-saudara, semurah itu “bangsa yang besar” ini di hadapan negara adidaya bahkan justru tak punya harga sama sekali apalagi harga diri. Apa yang disebut martabat bangsa ataupun bangsa yang berdaulat hanya jadi kiasan semata, narasi hampa yang datang dari imajinasi yang irasional. Berikutnya slogan kemerdekaan yang dianggap cukup optimistis meskipun juga irasional, yaitu Rakyat Sejahtera dan Indonesia Maju. Para pembaca yang mempunyai akal sehat pasti sudah paham bahwa dua slogan terakhir di atas hanyalah penipuan semata tanpa saya harus menjelaskan detail-detailnya. Saya membayangkan bagaimana jika slogan tersebut dibaca oleh warga negara Malaysia, salah satu negara tetangga yang beberapa bulan lalu mendeklarasikan sebagai negara maju.
Indonesia pasti ditertawakan oleh masyarakat Malaysia, Indonesia masih berkutat pada narasi. Hanya menggaungkan teori-teori kosong bahwa Indonesia akan maju tanpa praktik yang konkret di lapangan, sedangkan Malaysia benar-benar melakukan kerja nyata. Angka kemiskinan menurun, kalkulasi pengangguran yang berkurang, serta pendapatan ekonomi yang sebelumnya berada pada kisaran menengah menjadi pendapatan ekonomi yang lebih kompetitif diikuti meningkatnya pendapatan per kapita dan penguatan nilai tukar mata uang Ringgit terhadap Dolar AS menunjukkan fakta bahwa Malaysia sudah beranjak naik menjadi negara maju. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Negara yang dulunya ketika dipimpin oleh presiden Sukarno ketika beliau mengatakan “Ganyang Malaysia!” justru sekarang berbanding terbalik dengan Malaysia saat ini.
Delusi Demokrasi
Indonesia di mata publik internasional benar-benar menjadi sebuah negara yang memalukan sekaligus memilukan, mereka tahu bahwa pemerintah bisa menipu rakyatnya sendiri dengan slogan dan narasi palsu, tetapi mereka tidak bisa menipu pandangan publik internasional tentang apa yang terjadi di Indonesia. Demokrasi di sini seperti tidak berjalan, hanya saja secara ideologis seperti terlihat negara yang demokratis, secara substantif praktik berpolitik dan berhukum di Indonesia sudah memasuki gejala otoritarianisme atau memang jangan-jangan kita sudah masuk ke jurang kediktatoran baik secara politik ataupun sistem bernegara. Kekhawatiran berlebihan pemerintah dalam merespons kritik sosial masyarakat seperti demonstrasi dan aksi damai lainnya menunjukkan bahwa pemerintah saat ini tak punya legitimasi yang kuat dalam memimpin sebuah negara.
Sedang ramai saat ini pengibaran bendera One Piece oleh sebagian masyarakat sipil yang bersimbolkan tengkorak dan tulang dari manifestasi kelompok bajak laut Monkey D. Luffy. Para pengamat melihat fenomena ini sebagai bentuk kritik sosial masyarakat terhadap kinerja dan kebijakan pemerintah. Tentunya berbagai isu nasional akhir-akhir inilah yang menuntut masyarakat untuk protes terhadap kinerja pemerintah. Tetapi respons pemerintah dalam menanggapi kritik tersebut justru memperlihatkan ketakutan yang berlebihan, pemerintah beranggapan bahwa pengibaran tersebut bermaksud menjatuhkan pemerintahan hingga mengerahkan aparat untuk menghapus mural bersimbol logo bajak laut yang dilukis di jalanan tengah kampung. Walaupun sebagian kepala daerah di beberapa tempat membiarkan fenomena pengibaran tersebut menyusul respons Presiden Prabowo yang tak mempermasalahkan pengibaran bendera anime tersebut.
Agaknya melelahkan juga jika pemerintah harus merespons hal-hal sepele seperti itu, terlalu banyak hal penting yang harus dikerjakan ketimbang mengurusi sebuah bendera anime. Negara-negara lain sudah mengembangkan teknologi nuklir, negara kita masih sibuk ngurusin bendera anime. Jika berbagai tindakan pemerintah dalam merespons kritik terus-menerus seperti ini, yakinlah bahwa Indonesia tak akan bisa menjadi negara maju apalagi mencapai keemasan di 2045 seperti yang selalu dinarasikan oleh rezim Jokowi. Negara tidak boleh mengabaikan partisipasi publik dalam mengawal jalannya pemerintahan bahkan dalam bentuk kritik sosial, negara pula juga harus mendengarkan saran dan masukan dari para ahli/pakar serta para akademisi. Pemerintah tidak bisa serta merta menjalankan kemudi bernegara berdasarkan selera personal ataupun ambisi politik pragmatis semata.
Yang terlihat saat ini presiden Prabowo tampak seperti seorang yang denial, saya tidak begitu paham bagaimana rangkaian laporan informasi yang masuk sampai ke telinga presiden. Informasi macam apa yang disampaikan para staf presiden ke Prabowo Subianto hingga statement yang dilontarkan di hadapan publik berbeda atau kontradiktif terhadap realitas yang ada. Jika hal semacam ini terus dilakukan di hadapan publik, lama-lama masyarakat akan muak dan pelan-pelan mulai menggerus kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Bukan tak mungkin “Peristiwa 98” akan terulang kembali, krisis ekonomi saat itu adalah penyebab utama masyarakat sipil dari kalangan mahasiswa dan buruh turun ke jalan untuk menyeret Suharto mundur dari tampuk kekuasaan presiden. Prabowo Subianto harus belajar dari pengalaman mertuanya dan juga harus berhati-hati dengan amarah masyarakat yang bisa saja memuncak di kemudian hari.
Kemerdekaan suatu negara adalah apa yang tercermin dari kehidupan yang layak bagi masyarakat, bukan hanya menjadi suatu narasi kosong setiap tahun untuk sebuah slogan formal kemerdekaan. Kita sudah berkomitmen untuk meninggalkan dan membuang jauh-jauh pengaruh serta praktik kolonialisme dan feodalisme, Indonesia sudah menjadi sebuah entitas baru yang bernama “Republik”, bukan lagi negara jajahan ataupun monarki. Republik yang demokratis yang menjunjung tinggi kesetaraan (egaliter) setiap warga negara tanpa memandang status sosial. Kemerdekaan merupakan tujuan mutlak setiap individu berbangsa dan bernegara, menjadi pantas jika keberadaan rakyat adalah segalanya di atas kepentingan apa pun. Vox Populi, Vox Dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB