• Opini
  • 215 Tahun Bandung: Kota dengan Dua Wajah

215 Tahun Bandung: Kota dengan Dua Wajah

Di usia ke-215, pilihan terletak di tangan kita bersama: membiarkan Bandung redup oleh kemacetan dan degradasi, atau menjaga cahayanya tetap bersinar.

TH Hari Sucahyo

Pegiat pada Laboratorium Kajian Sosial Lingkungan (LKSL) “NODES”

Logo Kota Bandung Tahun 1906. (Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

3 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Bandung menyapa pagi dengan aroma kopi yang menguar dari gerai-gerai Braga, kabut tipis yang menari di antara pepohonan Dago, serta dentingan akustik yang mengikuti langkah-langkah lembut para pejalan kaki. Di saat yang bersamaan, Pasteur menampilkan realitas urban: deretan kendaraan bergerak pelan, klakson saling bersahut, dan udara terasa berat. Di usianya ke-215, Bandung berdiri di persimpangan antara nostalgia kreatif dan krisis urban. Aroma romantis itu belum pudar, tapi semangat kota mulai terkikis oleh tantangan nyata.

Sejak lama Bandung dikenal sebagai Paris van Java, lambang pesona arsitektur kolonial, butik-mode, dan taman yang menyegarkan. Kampus ternama seperti ITB, Telkom University, dan Unpad terus menjadi pusat lahirnya kreativitas, dari fesyen, kuliner, seni, hingga desain. Ketika UNESCO menyematkan status Creative City pada Bandung tahun 2015, dunia menjadi saksi bahwa tidak hanya warisan budaya yang diakui, tapi juga denyut inovasi yang terus bergulir.

Co-working space tumbuh, festival seni berkembang, mural menghiasi sudut kota, dan komunitas kreatif menjadi denyut jantung Bandung masa kini. Atmosfer romantis itu pun kian terguncang oleh realitas yang tidak bisa diabaikan: kemacetan lalu lintas. TomTom Traffic Index 2024 mencatat Bandung sebagai kota termacet ke-12 di dunia dan terparah di Indonesia, dengan waktu tempuh rata-rata 10 kilometer mencapai 32 menit 37 detik, menyamai waktu Hilangnya produktivitas hingga 108 jam per tahun, nyaris empat setengah hari kerja yang hilang sia-sia.

Jam sibuk pagi antara pukul 07.00–09.00 WIB menyedot arus kendaraan hingga kecepatan rata-rata hanya sekitar 18,8 km/jam, sementara sore hari bahkan kecepatan turun hingga 14,7 km/jam, dan tingkat kemacetan menembus 81 persen. Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, merespons data ini dengan beragam upaya. Ia menyebut program pengaturan jam masuk sekolah sebagai langkah awal untuk mereduksi beban pagi hari, dan menyoroti calon pemanfaatan sistem Area Traffic Control System (ATCS) yang memanfaatkan data real-time untuk mengatur lampu lalu lintas lebih presisi.

Meski demikian tantangan tetap besar, terutama karena banyaknya kendaraan pribadi yang jumlahnya hampir mendekati jumlah penduduk dan minimnya transportasi publik terintegrasi yang memadai. Sementara itu, polusi udara sering kali mencapai level yang mengkhawatirkan, membuat udara yang semula sejuk dan segar perlahan terlahap oleh kesibukan kota. Kini, romantika kabut Dago tergantikan oleh kabut knalpot, dan aroma kopi tertinggal di antara asap kendaraan.

Baca Juga: Mendefinisikan Ulang Kampung Kota di Bandung
Konferensi Internasional Re-imagining Identity: Mempertanyakan dan Membayangkan Ulang Identitas Diri, dari Relasi hingga Pemikiran Dekolonial
Hantu-hantu Malam Tahun Baru dan Kebutuhan Warga Kota Bandung akan Ruang Publik yang Inklusif

Refleksi dan Instrospeksi

Bandung tidak hanya tentang kelemahan. Ekosistem startup-nya menunjukkan dinamika luar biasa. Dalam Global Startup Ecosystem Index 2025, Bandung menempati peringkat ke-2 di Indonesia (setelah Jakarta) dan ke-261 dunia dari 1.473 kota digabungkan. Tumbuhnya komunitas startup tumbuh melalui eFishery, seperti unicorn bidang agritech pertama dari luar Jakarta, yang berhasil meraih valuasi di atas US$1 miliar setelah pendanaan seri D pada 2023. Startup lain seperti Evermos (e-commerce), Waste4Change (sustainability), Finansialku (FinTech), dan Assemblr (Augmented Reality) turut menguatkan identitas Bandung sebagai kota inovatif dan berdampak.

Energi inovasi tersebut dipacu oleh ekosistem pendukung seperti Bandung Techno Park yang berdiri sejak Januari 2010 dalam kolaborasi antara Telkom University, Kementerian Industri, dan pemerintah provinsi, yang menyediakan inkubasi, konsultasi hak kekayaan intelektual, co-working, dan pelatihan bagi pengusaha teknologi. Selain itu, Bandung Startup Pitching Day 2025 mengenalkan inovasi dari sektor AI, IoT, EdTech, teknologi hijau, dan SDG kepada investor, memperkuat jalur pendanaan dan koneksi global bagi startup lokal.

Tak hanya teknologi modern: industri dirgantara juga hadir dalam bentuk drone buatan BETA UAS, startup Bandung yang mengembangkan UAV untuk pemetaan, inspeksi, hingga tanggap darurat, dan mendapat penghargaan Teknologi Pioneer 2023 oleh Kemenperin. Di sisi lain, suara warga turut memperkaya dinamika kota. Sebuah studi di 12 kota Indonesia menunjukkan bahwa keyakinan warga terhadap kemampuannya mengelola sampah (perceived behavioral control) menjadi prediktor terkuat perilaku zero-waste, diikuti norma sosial dan pengetahuan lingkungan.

Hal ini merefleksikan bagaimana partisipasi komunitas seperti Gerakan Bandung Tanpa Plastik dan bank sampah bisa bermakna ketika warga merasa punya kendali dan dukungan sosial untuk bertindak. Dari ruang digital, netizen Bandung mengekspresikan frustrasi sekaligus solidaritas: “Bandung traffic is in every road”, serta “riding from Jatinangor to Dipatiukur by motorcycle is a traumatic experience”. Perspektif tersebut bukan sekadar lelucon: itu adalah gambaran keseharian yang mencuat, menuntut perhatian serius dari perencana kota.

Selain kritik, ada pula suara proaktif. Seorang pengguna Reddit berbagi antusiasme kolaboratif sebagai peluang bisnis dan sosial: “Hungry for winning, is there anyone with the same mindset?... perfect time.” Bandung sedang menjadi magnet bagi pencipta dan ide baru yang tertambat oleh rasa lapang dan iklim kreatif. Meski begitu, ada kerinduan terhadap produk lokal yang berkualitas, seperti halnya seorang netizen menyoroti turunnya kualitas fesyen Bandung: “model norak… kualitas mid to low… harga gak sepadan”.

Kritik ini membuka ruang introspeksi balik, agar kreativitas juga disertai mutu dan reputasi. Ketika kita menatap Bandung 2050, dua narasi jelas terbentang. Jalan pertama adalah stagnasi dalam krisis: macet yang makin merajalela, polusi bertambah, ruang publik menyempit, dan segelintir generasi muda justru memilih pindah karena stress urban. Jalan kedua adalah transformasi: apabila pemerintah, akademisi, swasta, dan komunitas bergandeng dalam Bandung One Ecosystem, masa depan inklusif, hijau, dan smart city bisa diwujudkan.

Startup teknologi dimungkinkan mengembangkan solusi transportasi pintar, pengolah sampah, dan energi terbarukan. Infrastruktur kota dirancang untuk pejalan kaki dan sepeda, bukan hanya kendaraan pribadi. Transportasi publik menjadi kenyataan yang nyaman, cepat, dan terjangkau, bukan impian semata. Bandung menjadi simfoni panjang: dari Paris van Java kemudian kota kreativitas ke kota yang menghadapi ujian urban.

Di usia ke-215, pilihan terletak di tangan kita bersama: membiarkan Bandung redup oleh kemacetan dan degradasi, atau menjaga cahayanya tetap bersinar. Seperti yang pernah berkumandang dalam Konferensi Asia-Afrika 1955 oleh Soekarno: “Dari Bandung, cahaya peradaban Asia-Afrika menyala.” Kini momen kita adalah menjaga agar cahaya itu tidak hanya terus menyala, tetapi berkilau lebih terang dari sebelumnya.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//