• Berita
  • Konferensi Internasional Re-imagining Identity: Mempertanyakan dan Membayangkan Ulang Identitas Diri, dari Relasi hingga Pemikiran Dekolonial

Konferensi Internasional Re-imagining Identity: Mempertanyakan dan Membayangkan Ulang Identitas Diri, dari Relasi hingga Pemikiran Dekolonial

Pembentukan jati diri dipengaruhi budaya atau bahkan pemikiran dari luar diri. Dengan bertanya pada diri sendiri, kita akan menemukan siapa identitas kita.

Penampilan tari kontemporer di Seminar Internasional Re-imagining Identity yang digelar Fakultas Filsafat Unpar di Bumi Silih Asih, Bandung, Jumat, 8 Maret 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Salma Nur Fauziyah9 Maret 2024


BandungBergerak.idUntuk memahami identitas, kita harus melihat melampaui urusan individu ke konteks kebudayaan serta lingkungan lebih luas yang membentuk diri kita. Hidup di dunia yang penuh keberagaman, usaha sungguh-sungguh untuk mencapai pemahaman yang mendalam sangat dibutuhkan.

Demikian beberapa poin diskusi dalam konferensi internasional “Re-imagining Identity: The Particular and Beyond”, 8-9 Maret 2024 di Bumi Silih Asih, Jalan Moch. Ramdhan, Kota Bandung. Konferensi yang menjadi sebuah ruang terbuka untuk membicarakan dan mempertanyakan kembali apa itu identitas diri ini diselenggarakan secara kolaboratif oleh Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Asosiasi Filsafat dan Teologi Indonesia (AFTI), Keuskupan Bandung, serta Keuskupan Bogor. Acara sekaligus menjadi bagian dari rangkaian perayaan Dies Natalis Unpar ke-70.

Dua pembicara kunci hadir secara daring dalam konferensi internasional ini, yakni Pius Mosima dari University of Bamenda, Kamerun, dan Gerard Whelan, SJ dari Pontificial Gregorian University, Roma. Dua pembicara lain yang tampil lebih dulu di sesi pleno adalah Saraswati Putri dari Universitas Indonesia (UI) dan Sr. Gerardette Philips l, RSCJ, Ph.D. dari Unpar Bandung.

Saraswati Putri dari Universitas Indonesia (UI) memaparkan beberapa poin penting terkait pemaknaan kembali apa itu identitas. Pertama, identitas di dalam sebuah relasi (identity in relation). Untuk menjelaskannya, dia mengambil contoh salah satu kebudayaan Bali, yaitu Ngaben. Ngaben bukan hanya sebuah ritual pemakaman yang bersifat keagamaan, tetapi juga sebuah bentuk kepedulian sosial dan lingkungan. Ketika seseorang meninggal di suatu desa, tidak hanya orang terdekat saja (keluarga atau saudara) yang berduka tapi seluruh orang di desa tersebut. Ketika jasad sudah dibakar dan menjadi abu, abu tersebut akan dikembalikan ke laut. Konsep seperti ini menandakan bahwa orang-orang Bali paham akan relasi manusia dan alam. 

“Lewat lensa upacara Ngaben ini, kita dapat melihat bagaimana identitas itu seperti tapestri rumit yang dibuat dari benang-benang interaksi sosial, kesadaran ekologis, dan kepercayaan kita terhadap agama. Hal ini mengingatkan bahwa untuk dapat mengerti identitas, kita harus melihat lebih jauh dari sekadar sosok individu, tetapi juga konteks kebudayaan serta lingkungan lebih luas yang mana membentuk diri kita,” ujar Saraswati. 

Saraswati juga mengonsepsikan pemahaman identitas dan diri sendiri lewat sebuah pendulum karena identitas diri seseorang tidak akan tetap sama, melainkan akan terus mengalami perubahan secara konstan. Hal-hal yang mempengaruhinya di antaranya adalah koneksi kita terhadap Tuhan, alam, dan juga sesama manusia. 

Dijelaskan Saraswati, identitas dan diri kita sendiri berdiri dalam dunia keberagaman sehingga diperlukan pemahaman mendalam terhadap pandangan politik. Contohnya, perilaku manusia terhadap alam yang terlihat ingin melindungi, tetapi pada kenyataannya malah sering mengeksploitasi.

Gerardette, sebelu memulai presentasinya, mengajak para peserta yang hadir untuk turut merenungkan tiga pertanyaan mendasar mengenai identitas: siapa dirimu, siapa yang bersamamu saat menanyakan hal itu, dan kapan kamu akan lakukan hal itu untuk menemukan jawabannya.

Dalam merumuskan apa itu identitas diri, menurut Gerardette, ada ada tiga poin penting yang harus dibahas, yaitu sisi manusia ciptaan Tuhan, sisi seorang edukator, serta sisi kesatuan dengan semua ciptaan-Nya. Manusia saat ini hidup di dunia yang memaksanya untuk hidup dengan tiga sisi yang berbeda. Untuk mewujudkan apa itu identitas, orang perlu mendengarkan diri sendiri, orang lain, serta semesta dan mempercayai kisah Tuhan.

“Membayangkan ulang identitas itu adalah bertemu dengan jati diri yang sebenarnya,” tutur Gerardette.  

Saraswati Putri (kanan) dan Gerardette Philips (tengah) dalam Seminar Internasional Re-imagining Identity yang digelar Fakultas Filsafat Unpar di Bumi Silih Asih, Bandung, Jumat, 8 Maret 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Saraswati Putri (kanan) dan Gerardette Philips (tengah) dalam Seminar Internasional Re-imagining Identity yang digelar Fakultas Filsafat Unpar di Bumi Silih Asih, Bandung, Jumat, 8 Maret 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Jalan Filsafat untuk Membaca Kritis
Mencari Hal Baru dalam Filsafat?
Unpar Perkenalkan Pelajar SMA pada Ilmu Bisnis Digital dan Filsafat

Pemikiran Dekolonial

Pius Mosima dari University of Bamenda, Kamerun berpendapat bahwa identitas diri tidak terlepas dari tempat seorang manusia berasal. Secara khusus, ia memaparkan identitas dari sisi kebudayaan dan eksistensi plural. Dalam konteks manusia Afrika dan Asia, pembicaraan tentang identitas tidak bisa lepas dari eropasentrisme (Eurocentrism) yang telah menjadi kanon dan menjadi ancaman dehumanisasi.

“Eropasentrisme telah lama menjadi sangat meresap dan memperdaya. Invasi ini telah membentuk mayoritas identitas orang-orang Afrika dan Asia,” ujar Mosima dalam Zoom Meeting. 

Mosima kemudian memaparkan sebuah solusi untuk mencegah praktik-praktik dehumanisasi identitas yang berkepanjangan. Sebagai seseorang yang memiliki identitas non-Eropa, kita harus bisa meyakinkan kesadaran diri untuk tidak terlalu tergantung pada hegemoni Barat seperti ideologi, imperialisme, dan kolonialisme. Membentuk pemikiran dekolonial menjadi solusi lain untuk dapat mencegah dehumanisasi identitas kita.  

“Pemikiran dekolonial sangatlah penting karena memiliki fase-fase tertentu,” tuturnya. 

Sementara itu, Gerard Whelan, SJ dari Universitas Gregoriana, Roma, menampilkan makalah berjudul “Toward A World Cultural Community, The Contribution of Robert M. Doran” yang menyodorkan sebelas proposal. Salah satunya, penekanan pada subjektivitas yang bersifat dialektis antara batin dan fisik, seni kehidupan yang berada di tengah-tengah rasionalitas dan estetika, serta dialektika yang juga sejalan dengan kebudayaan dan struktur sosial yang ada.  

Di hari kedua, seminar diisi dengan diskusi kelompok yang melibatkan lebih dari 100 orang peserta yang mayoritas adalah mahasiswa. Kita dapat menyimak ulang seluruh paparan pembicara, berikut diskusinya, di akun Youtube Unpar

Selain pemaparan materi dan diskusi, seminar internasional “Re-imagining Identity” juga diisi dengan beberapa penampilan mahasiswa Unpar, mulai dari Listra, Paduan Suara Mahasiswa (PSM), hingga mahasiswa Integrated Arts (IA).

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Salma Nur Fauziyah, atau artikel-artikel lain tentang Filsafat

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//