Hantu-hantu Malam Tahun Baru dan Kebutuhan Warga Kota Bandung akan Ruang Publik yang Inklusif
Ruang-ruang publik tak cukup berada di pusat kota saja. Karena Kota Bandung bukan hanya Alun-alun atau Asia Afrika.
Penulis Iman Herdiana1 Januari 2025
BandungBergerak.id - Malam tahun baru di Kota Bandung diisi dengan pelbagai kegiatan warganya. Mereka berinisiatif menghibur diri di momen yang tak mungkin kembali, yaitu perpisahan dengan tahun 2024 dan menyongsong tahun baru 2025.
Di jalan-jalan Kota Bandung sejak beberapa hari menjelang ujung tahun 2024 pernik tahun baru sudah tampak dijajakan para pedagang, mulai dari jagung yang siap di bakar, arang, kembang api, dan sebagainya.
Salah satu titik keramaian tentu terjadi di pusat kota, mulai dari kawasan Alun-Alun Bandung dan Asia Afrika, hingga acara "nonton bareng" kembang api di flyover Pasupati.
Itu terjadi dalam satu malam, tepatnya di malam pergantian tanggal 31 Desember 2024 ke 1 Januari 2025. Di kawasan Alun-alun Bandung, warga tumpah dalam euforia, dimeriahkan foto bersama dengan hantu-hantu yang banyak berkeliaran menawarkan jasa foto bareng dengan bayaran sukarela.
Hasil foto bareng hantu-hantu yang biasa menongkrong di kawasan Jalan Asia Afrika itu menunjukkan wajah-wajah ceria warga. Untuk sesaat, mereka bisa melupakan persoalan sehari-hari yang biasa mereka hadapi, seperti kenaikan harga bahan-bahan pokok, biaya sekolah, kebutuhan hidup lainnya, serta naiknya PPN 12 persen.
Dari foto-foto ini dapat dilihat bahwa keberadaan ruang-ruang publik yang nyaman menjadi kebutuhan warga. Mereka berhak mengakses ruang-ruang bersama tanpa khawatir terserempet kendaraan, copet atau kriminalitas, mudah dijangkau dengan kendaraan umum atau jalan kaki.
Catatan lainnya, ruang-ruang publik tersebut tak cukup berada di pusat kota saja. Karena Kota Bandung bukan hanya Alun-alun atau Asia Afrika, ada Bandung timur, Bandung barat, Bandung selatan, Bandung utara yang semuanya dihuni sekitar 2,5 juta jiwa.
Empat penjuru kota membutuhkan ruang-ruang publik yang ramah bagi semua kalangan, inklusif bagi kelompok-kelompok rentan seperti kawan-kawan difabel. Ruang publik yang ada saat ini cenderung kurang inklusif, hanya bisa dijangkau oleh yang punya akses, contohnya bagi mereka yang memiliki kendaraan pribadi saja.
Khairunnisa Il Alamien dan Byna Kameswara menjelaskan, ruang publik menjadi salah satu sorotan utama pada Goal 11 dalam Sustainable Development Goals (SDGs), yang salah satu targetnya adalah untuk menyediakan akses universal pada ruang publik dan ruang hijau yang aman, inklusif, dan mudah diakses khususnya bagi perempuan dan anak-anak, orang tua, dan orang dengan disabilitas.
Peneliti dari Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota tersebut menjelaskan, ruang publik terdiri dari beberapa kategori, di antaranya jalan sebagai ruang publik, ruang terbuka publik, serta fasilitas publik urban. Di ruang ruang publik ini mesti menyediakan ruang bagi seluruh lapisan masyarakat untuk berekspresi dan berinteraksi secara terbuka di ranah publik, sehingga dapat membangun gerakan pemberdayaan bagi seluruh kelompok sosial.
“Keterbukaan ruang publik bagi seluruh golongan masyarakat menjadikan ruang publik secara alami bersifat inklusif dan plural. Inklusivitas ruang publik sangat bergantung pada aksesibilitasnya,” terang Khairunnisa Il Alamien dan Byna Kameswara, diakses dari jurnal berjudul “Inklusivitas Ruang Publik Berdasarkan Persepsi Pengunjung (Studi Kasus: Lapangan Gasibu, Taman Lansia, dan Jalur Pedestrian Jl.Ir.H.Djuanda)” [Institut Teknologi Nasional], Rabu, 1 Januari 2025.
Terdapat empat kategori aksesibilitas yang perlu dimiliki ruang publik yang inklusif, yaitu physical access, social access, access to activities and discussion, dan access to information.
Baca Juga: SUBALTERN #34: Ruang Publik atau Ruang Borjuis?
Ruang Hijau atau Ruang Bisnis, Siapa yang Diuntungkan dari Tata Ruang Kota Bandung?
Ruang Publik di Bandung Cenderung Kaku dan Berjarak
Kedua peneliti juga menekankan latar belakang pentingnya ruang-ruang publik khususnya di perkotaan. Kawasan perkotaan dikenal sebagai pusat perkembangan ekonomi dan teknologi di berbagai negara, namun di sisi lain juga menjadi tempat berkembangnya kemiskinan, ketidaksetaraan, permasalahan lingkungan, dan penyebaran penyakit menular. Kawasan perkotaan modern juga memiliki beragam permasalahan sosio-kultural seperti minimnya kesamaan prinsip filosofis dan kebudayaan yang mengatur pembentukan perkotaan, permasalahan fungsional, erosi dan hilangnya kepuasan spiritual dari ruang perkotaan.
“Kota Bandung sebagai kawasan perkotaan yang juga merupakan ibukota dari Provinsi Jawa Barat membutuhkan ruang publik untuk menghadapi berbagai permasalahan sosial yang mungkin muncul di antara masyarakat,” terangnya.
Antrean di Pasupati
Kendaraan umum atau transportasi publik merupakan hal mendasar yang menunjang ruang-ruang publik. Sayang, di Bandung moda transportasi publik amat terbatas terutama pada malam hari. Dampaknya, warga berbondong-bondong liburan menggunakan kendaraan pribadi terutama motor.
Lautan kendaraan roda dua pun memenuhi flyover Pasupati atau Jalan Layang Mochtar Kusumaatmadja. Di jalan yang menghubungkan Bandung dengan Jakarta melalui pintu tol Pasteur tersebut, kemacetan malam tahun baru tak terhindarkan.
Di satu sisi, kemacetan tersebut terjadi karena jumlah kendaraan peribadi terus bertambah. Di sisi lain, pemerintah tak berdaya membangun sarana transportasi publik yang murah dan nyaman, yang membuat warga memilihnya sekaligus menanggalkan kendaraan pribadi. Akhirnya, ruang-ruang publik di Bandung masih jauh dari inklusif.
*Kawan-kawan yang baik, silakan membaca tulisan-tulisan lain tentang Ruang Publik Kota Bandung