Menakar Makan Bergizi Gratis sebagai Solusi Konkret Masalah Gizi Anak Indonesia
Program Makan Bergizi Gratis berpotensi gagal, jika dibiarkan berjalan dengan pola "trial and error" serta mengabaikan pengawasan, transparansi, dan kualitas.

Fathan Muslimin Alhaq
Penulis konten lepas asal Jakarta
3 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah sejak awal 2025 hadir dengan ambisi besar untuk tujuan mengentaskan masalah gizi buruk, menurunkan angka stunting, sekaligus memperkuat ketahanan pangan nasional. Dalam konsepnya, MBG menyasar anak sekolah mulai dari PAUD hingga SMA, balita, ibu hamil, dan ibu menyusui dengan pemberian makanan gratis yang sesuai standar Angka Kecukupan Gizi (AKG). Dengan target lebih dari 82 juta penerima manfaat di seluruh Indonesia, program ini seolah menjadi jawaban konkret bagi masalah gizi anak bangsa yang tak kunjung tuntas dari masa ke masa. Namun, perjalanan MBG tidak selalu mulus. Di balik semangat besar itu, ada tantangan serius yang harus segera diatasi agar program ini benar-benar efektif dan bukan sekadar jargon politik.
Sejak diluncurkan pada Januari 2025, MBG sudah membangun ribuan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di berbagai daerah. Per Juni 2025, tercatat lebih dari 1.800 unit aktif beroperasi, dan jumlah ini meningkat menjadi hampir 6.000 pada Agustus 2025. Angka tersebut memang impresif, tetapi masih jauh dari target 30.000 unit yang dijanjikan. Ketimpangan ini membuat banyak daerah, terutama wilayah 3T, belum bisa merasakan manfaat penuh dari program. Misalnya, Kabupaten Kebumen sempat menunda pelaksanaan karena belum ada dapur SPPG yang siap, sebuah fakta yang menegaskan bahwa kesiapan infrastruktur adalah kunci utama keberhasilan MBG.
Dari sisi anggaran, pemerintah awalnya mengalokasikan Rp 71 triliun untuk 2025. Namun, seiring perkembangan, dana ini terbukti tidak cukup sehingga harus ditambah lebih dari Rp 100 triliun lagi. Bahkan, dalam rancangan APBN 2026, disiapkan dana sekitar Rp 335 triliun untuk memperluas cakupan program. Angka fantastis ini menunjukkan komitmen negara, tetapi juga menimbulkan pertanyaan: apakah pengelolaan dan pengawasan sudah sepadan dengan dana sebesar itu? Jika pengelolaan longgar, bukan tidak mungkin dana yang seharusnya untuk meningkatkan kualitas gizi justru terbuang sia-sia.
Salah satu masalah yang paling menonjol adalah kasus keracunan makanan yang dialami ribuan anak di berbagai daerah. Berdasarkan laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), hingga September 2025 sudah ada lebih dari 6.400 anak yang menjadi korban keracunan akibat konsumsi menu MBG. Di Bandung Barat, lebih dari seribu siswa menderita gejala mual dan muntah usai mengonsumsi makanan dari program ini. Kasus serupa terjadi di Banyumas, Banggai Kepulauan, Sumedang, hingga Garut. Bahkan, di Kalimantan Barat sempat muncul kontroversi penyajian ikan hiu sebagai menu, yang dinilai tidak tepat untuk konsumsi anak karena risiko kandungan logam berat. Insiden-insiden ini menggerus kepercayaan publik dan menunjukkan bahwa standar higienitas serta keamanan pangan belum dijalankan dengan maksimal.
Baca Juga: Mengatasi Stunting di Bandung Belum Cukup Mengandalkan Program Makanan Bergizi Gratis
Banalitas Kejahatan dalam Kasus Keracunan Massal Makan Bergizi Gratis
Salah Kaprah Pemerintah Soal Kasus Keracunan pada Makan Bergizi Gratis
Pengawasan yang Lemah
Lemahnya pengawasan dan regulasi menjadi sorotan utama. Guru Besar Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada, Prof. Sri Raharjo, menilai pemerintah terlalu terburu-buru memperluas cakupan tanpa memastikan sistem keamanan pangan sudah mapan. Kontaminasi silang di dapur, penyimpanan yang tidak sesuai, serta distribusi yang terlambat membuat makanan rentan basi dan menjadi sumber penyakit. Hal ini ironis, sebab tujuan awal MBG adalah mencetak generasi sehat, bukan justru menghadirkan masalah kesehatan baru. Oleh karena itu, pengawasan perlu melibatkan lintas lembaga mulai dari BPOM, Kementerian Kesehatan, hingga organisasi masyarakat sipil agar rantai produksi makanan bisa benar-benar aman.
Meski begitu, tak bisa dipungkiri bahwa MBG punya potensi ekonomi yang signifikan. Dengan melibatkan UMKM lokal sebagai penyedia bahan baku, program ini bisa meningkatkan pendapatan petani dan pelaku usaha kecil. Studi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mencatat adanya multiplier effect berupa peningkatan PDB, penyerapan tenaga kerja, hingga peningkatan upah lokal. Jika dikelola dengan baik, MBG bisa menjadi ekosistem ekonomi gizi yang berkelanjutan, bukan hanya proyek jangka pendek.
Dalam perspektif akademik, berbagai penelitian menegaskan pentingnya intervensi gizi terstruktur. Sebuah studi di The Lancet Global Health (Bhutta et al., 2020) menunjukkan bahwa pemberian makanan tambahan dengan standar gizi seimbang secara signifikan dapat menurunkan prevalensi stunting pada anak usia dini. Penelitian lain dalam Maternal & Child Nutrition Journal (Dewey & Adu-Afarwuah, 2019) menegaskan bahwa distribusi makanan bergizi yang terkontrol dapat memperbaiki status gizi anak dalam jangka panjang. Referensi ini memperkuat argumen bahwa program seperti MBG bisa menjadi solusi nyata jika dijalankan dengan konsisten, aman, dan merata.
Menakar MBG sebagai solusi konkret masalah gizi anak Indonesia berarti mengakui dua sisi: potensi besar yang bisa mengubah masa depan sekaligus risiko kegagalan jika pengawasan, transparansi, dan kualitas diabaikan. Generasi sehat tidak lahir dari program instan, melainkan dari ekosistem yang mendukung –mulai dari bahan pangan lokal berkualitas, distribusi yang higienis, dapur yang layak, hingga edukasi gizi kepada masyarakat. Jika pemerintah mampu menutup celah permasalahan yang ada, MBG bisa menjadi tonggak sejarah baru dalam perjalanan Indonesia menuju bangsa yang lebih sehat dan berdaya saing. Namun, jika dibiarkan berjalan dengan pola trial and error, program ini hanya akan menjadi catatan lain dalam daftar panjang kebijakan besar yang gagal menyentuh akar persoalan.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB