• Opini
  • Tragedi di Balik Ambruknya Bangunan Pesantren: Refleksi atas Komersialisasi Iman

Tragedi di Balik Ambruknya Bangunan Pesantren: Refleksi atas Komersialisasi Iman

Kita merindukan pesantren yang kembali pada khitahnya: sebagai rumah peradaban yang memanusiakan, melindungi, dan mencerahkan.

Didin Tulus

Penulis penggiat buku, editor buku independen CV Tulus Pustaka. Tinggal di Cimahi.

Warga dan santri pawai obor sebelum bermain sepakbola api usai salat Isa berjamaah saat peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1445 H di Cibiru Hilir, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, 18 Juli 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

9 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Kejadian pondok pesantren ambruk dan merenggut nyawa santri adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang memilukan. Insiden semacam ini bukan lagi sekadar musibah biasa, melainkan kegagalan sistemik yang menuntut kita untuk melakukan introspeksi mendalam. Daripada serta-merta mempertanyakan, "Tuhan di mana?" –sebuah pertanyaan yang lahir dari kepedihan yang sah– mungkin kita perlu mengalihkan tatapan kepada manusia dan sistem yang seharusnya menjadi perwujudan nilai-nilai Ketuhanan di dunia nyata. Bukan Tuhan yang absen, melainkan akuntabilitas dan integritas manusiawilah yang "mati" dalam tragedi semacam ini.

Pernyataan bahwa "Tuhan telah mati" di dalam pondok itu adalah metafora yang menusuk untuk menggambarkan betapa nilai-nilai luhur agama telah tergantikan oleh pragmatisme dan keserakahan duniawi. Ketika sebuah lembaga yang seharusnya menjadi benteng moral justru jatuh dalam "kematian" nilai-nilai tersebut, yang tersisa hanyalah cangkang kosong yang rapuh. Pondok pesantren, yang idealnya adalah taman suci untuk menumbuhkan akhlak dan ilmu, dalam beberapa kasus telah berubah menjadi mesin bisnis yang memprihatinkan.

Fenomena komersialisasi agama menjadi masalah akar yang perlu dikritik tajam. Banyak pesantren tumbuh bak jamur di musim hujan, berlomba menarik santri dengan janji-janji, namun abai terhadap standar keamanan dan kesejahteraan dasar. Biaya pendidikan yang dikemas dalam berbagai istilah sering kali tidak transparan, sementara fasilitas yang seharusnya menjadi hak santri terabaikan. Bangunan yang seharusnya menjadi tempat berlindung justru menjadi ancaman laten. Dalam konteks ini, agama disalahartikan sebagai komoditas, dan kepercayaan orang tua dieksploitasi untuk keuntungan materi.

Baca Juga: Dekadensi Pesantren dalam Menyiasati Tradisi
Pemberdayaan Pesantren untuk Membangun Karakter Kewirausahaan Santri
Membangun Dasar Peradaban dengan Pendidikan Pesantren Ramah Anak

Beban Moral

Di titik inilah tanggung jawab pengasuh pondok tidak dapat ditawar lagi. Sebuah pondok pesantren bukan sekadar usaha hospitality, melainkan sebuah amanah yang memikul beban moral sangat berat. Kelalaian dalam memastikan keamanan fisik santri adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah itu. Argumen "ini sudah takdir" atau "ujian dari Tuhan" sering kali menjadi tameng untuk menutupi kelalaian manusiawi yang paling mendasar. Tuhan telah memberikan akal dan tanggung jawab kepada manusia untuk mengelola dan melindungi, dan ketika hal ini diabaikan, maka krisis kepercayaan yang muncul adalah konsekuensi yang wajar.

Oleh karena itu, momentum tragis ini harus menjadi cambuk untuk melakukan pembenahan menyeluruh. Pemerintah, melalui Kementerian Agama dan instansi terkait, harus memiliki standar dan pengawasan yang ketat, tidak hanya pada kurikulum tetapi juga pada aspek infrastruktur, kesehatan, dan keselamatan. Asosiasi pesantren perlu menerapkan sistem pemantauan internal yang independen dan tegas. Masyarakat luas, khususnya orang tua, harus kritis dan proaktif menanyakan akuntabilitas pengelola.

Kita tidak membutuhkan pesantren yang megah secara fisik, namun miskin tanggung jawab. Kita merindukan pesantren yang kembali pada khitahnya: sebagai rumah peradaban yang memanusiakan, melindungi, dan mencerahkan. Marilah kita bangun kembali "kehidupan" nilai-nilai Ketuhanan di dalamnya, dengan memastikan bahwa setiap dinding yang berdiri, setiap atap yang berteduh, dibangun di atas fondasi amanah, integritas, dan tanggung jawab yang kokoh. Hanya dengan demikian, pesantren dapat kembali menjadi cahaya yang menuntun, bukan kuburan yang mengecewakan.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//