• Berita
  • Di Balik Asap Insinerator, Memahami Mengapa Mesti Memilih Jalan Panjang Memilah Sampah di Kota Bandung

Di Balik Asap Insinerator, Memahami Mengapa Mesti Memilih Jalan Panjang Memilah Sampah di Kota Bandung

Memilah sampah dari hulu memang membutuhkan kesabaran ekstra, tapi menjadi jalan selamat dari bahaya besar polusi asap insinerator.

Petugas Sidak Panik menjemput sampah organik hasil pilahan warga di Liogenteng, Kelurahan Nyengseret, Kecamatan Astanaanyar, Bandung, 2 Oktober 2024. (Foto : Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Retna Gemilang11 Oktober 2025


BandungBergerak - Kota Bandung masih darurat sampah! Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti sudah melampaui batasnya untuk menerima kiriman sampah dari Bandung Raya. Bahkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menginstruksikan penutupan seluruh TPA sistem open dumping (tanpa pemilahan) dalam 12 bulan. Semua hanya tinggal menunggu waktu saja untuk akhirnya TPA Sarimukti ditutup permanen dan tidak lagi mampu menampung sampah Kota Bandung. 

Di sisi lain, Pemkot Bandung bersama pemerintah provinsi Jawa Barat memilih teknologi insinerator atau pembakaran sebagai solusi cepat mengatasi sampah. Langkah ini sudah lama ditentang dan dikritik oleh para aktivis lingkungan karena dampaknya yang sangat berbahaya.

Awal mula gagasan penggunaan insinerator di Kota Bandung muncul setelah kejadian TPA Sarimukti terbakar pada Agustus 2023 lalu. Pemprov Jabar tengah menganggarkan senilai 117 miliar rupiah untuk 84 insinerator skala menengah yang diklaim berbasis teknologi. Kota Bandung direncanakan menjadi wilayah terbanyak, yakni 43 unit, Kota Cimahi 6 unit, Kabupaten Bandung 23 unit, dan Kabupaten Bandung Barat 10 unit.

Wakil Wali Kota Bandung Erwin dalam keterangan resmi mengungkapkan, setidaknya 7-9 insinerator di Bandung sudah beroperasi.

Berdasarkan data Pemkot Bandung, volume sampah warga mencapai 1.496,3 ton per hari. Dari jumlah tersebut, sekitar 1.000 ton masih dibuang ke TPA Sarimukti. Sedangkan 496,3 ton sisanya diolah melalui berbagai metode, seperti insinerator, Kawasan Bebas Sampah (KBS), bank sampah, Reduce to Fertilizer (RTF), budidaya maggot, dan kompos mandiri. Seluruh insinerator diklaim beroperasi sesuai Permen LHK No. 70/2016 tentang baku mutu emisi dan PP No. 22/2021 tentang kualitas udara ambien.

Lahan kosong yang dijadikan tempat pembuangan brangkal bercampur sampah di Kawasan Bandung Utara (KBU), Kelurahan Ciumbuleuit, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung terbakar, Selasa pagi, 22 Oktober 2024. (Dokumen Abidin)
Lahan kosong yang dijadikan tempat pembuangan brangkal bercampur sampah di Kawasan Bandung Utara (KBU), Kelurahan Ciumbuleuit, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung terbakar, Selasa pagi, 22 Oktober 2024. (Dokumen Abidin)

Menimbulkan Masalah Baru

Tim Advokasi Persampahan Walhi Jawa Barat, Jefry Rohman menganggap bahwa insinerator adalah solusi palsu yang tujuannya bukan untuk mengurangi sampah, melainkan menimbulkan masalah lingkungan lain, seperti peningkatan emisi karbon yang menjadi biang pemanasan global.

Jefry mengatakan, kebijakan ini menelantarkan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan instruksi gubernur No. 02/PBLS.04/DLH mengenai pengurangan kuota sampah di TPA Sarimukti dengan melarang membuang sampah organik ke TPA. Padahal insinerator dan pemilahan sampah organik tidak bisa berjalan bersamaan. Jefry menilai, solusi insinerator menunjukkan pemerintah daerah enggan menyelesaikan akar masalah, yaitu pemilahan sampah organik dan nonorganik.

Bandung sendiri sebenarnya sudah punya program kurangi pisahkan manfaatkan (Kang Pisman), yaitu gerakan kultural memilah sampah dari sumbernya, yakni dari area komersial dan masyarakat. Setelah lama mati suri sejak era Wali Kota Oded M Danial, narasi Kang Pisman kembali sayup-sayup terdengar di era Wali Kota Muhammad Farhan. Menurutnya, setiap RW di Bandung sedang berupaya menjadi RW bebas sampah dengan mengolah sampah organik mereka sendiri (Siaran Pers Minggu, 18 Mei 2025).

Namun, gerakan Kang Pisman dikhawatirkan berbenturan dengan proyek pengadaan insinerator yang menekankan pembakaran sampah, di saat masyarakat membutuhkan edukasi pemilahan sampah yang memerlukan waktu dan proses panjang. Warga akan tergoda memilih solusi instan membakar sampah daripada repot memilah.

"Klaim bahwa insinerator adalah solusi "cepat dan modern" sebagai narasi yang menyesatkan dan berpotensi menunda transisi ke pengelolaan sampah berkelanjutan," ujar Jefry saat dihubungi BandungBergerak, Kamis, 9 Oktober 2025.

Melihat permasalahan sampah di Bandung, Jefry menakar bahwa ini merupakan akumulasi dari gagapnya pemerintah dalam penanganan dan pengelolaan sampah. Setidaknya ada tiga indikasi di mana pemerintah masih memandang sampah masalah sepele dan bukan prioritas utama dalam sistem penganggaran dan pembangunan daerah.

Pertama, minimnya penyerapan anggaran di sektor persampahan. Kalaupun adanya kenaikan anggaran, Jefry mengatakan, hanya difokuskan untuk penanganan sampah di hilir, seperti program pengadaan insinerator, RDF, atau PLTSa.

"Sedangkan, persoalan utama masalah ini ada di hulu (sumber)," ungkap Jefry.

Kedua, belum adanya peta konsep penanganan dan pengelolaan sampah di hulu, kawasan permukiman, komersial, dan lainnya secara komprehensif. Peta konsep ini perlu dibubuhkan ke dalam kebijakan, baik berupa Pergub atau Perbup.

Ketiga, penegakan hukum yang lemah atau tidak terbiasa dengan mekanisme hadiah dan hukuman. Hal ini dinilai dari kurangnya keberpihakan kepemimpinan dan keberanian politik.

"Meskipun Kota Bandung memiliki sumber daya dan kemampuan APBD yang besar, yang dibutuhkan adalah keberanian pimpinan untuk benar-benar menuntaskan permasalahan sampah," tambahnya.

Sampah menggunung di jalanan Kota Bandung dampak dari darurat sampah akibat lumpuhnya TPA Sarimukti, 28 Agustus 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Sampah menggunung di jalanan Kota Bandung dampak dari darurat sampah akibat lumpuhnya TPA Sarimukti, 28 Agustus 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Bahaya Membakar Sampah 

Insinerator tidak hanya menimbulkan risiko kesehatan bagi manusia, tetapi juga berdampak luas terhadap lingkungan dan sistem sosial-ekonomi masyarakat.

Dalam laporan BandungBergerak 24 April 2021, para peneliti lingkungan menegaskan bahwa pembakaran sampah menghasilkan abu dasar dan abu terbang (fly ash) yang tergolong limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun).

Abu dan debu pembakaran sampah mengandung logam berat, seperti merkuri, timbal, dan kadmium yang berpotensi mencemari tanah dan air tanah di sekitar area operasi. Tanpa sistem filtrasi gas buang yang memadai, seperti yang banyak terjadi di Bandung, partikel-partikel halus ini dapat terbawa angin dan mudah terhirup oleh warga.

Residu abu insinerator yang tidak dikelola dengan benar dapat merusak ekosistem mikroba tanah, menghambat pertumbuhan tanaman, dan mencemari rantai makanan. Selain itu, emisi CO2, dioksin, dan furan yang dihasilkan, berkontribusi signifikan terhadap pemanasan global, memperparah kondisi iklim ekstrem yang kini mulai dirasakan di Jawa Barat (BandungBergerak, 5 Januari 2022).

"Ada kekhawatiran serius bahwa tungku atau insinerator yang diusulkan, tidak akan memenuhi standar baku mutu emisi yang ketat, mengancam pencemaran udara, dan kesehatan masyarakat karena berpotensi menyebabkan gangguan hormon dan kanker bagi masyarakat," tambah Jefry.

Dari sisi sosial dan ekonomi, kehadiran insinerator juga mengikis peran masyarakat dalam pengelolaan sampah. Ribuan pemulung dan pekerja informal yang selama ini berperan dalam sistem daur ulang kehilangan sumber pendapatan, karena semua sampah langsung dibakar tanpa dipilah.

Padahal, menurut kajian Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) dan Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA), sistem pengelolaan berbasis pemilahan menciptakan enam kali lebih banyak lapangan kerja dibandingkan insinerator.

Selain itu, biaya operasional insinerator terbukti sangat tinggi dan tidak efisien. Berdasarkan data DLH Kota Bandung (2022), satu unit insinerator skala menengah membutuhkan solar sekitar 20-25 liter per jam untuk menjaga suhu pembakaran di atas 800 derajat celcius. Ketergantungan energi ini diprediksi membuat biaya tahunan melonjak hingga ratusan juta rupiah per unit, belum termasuk perawatan dan pengangkutan abu B3.

"Anggaran sebesar itu seharusnya bisa dialokasikan untuk memperkuat infrastruktur pemilahan di tingkat RW atau TPS3R," lanjut Jefry.

Sementara itu, dari aspek sosial, warga sekitar lokasi pembakaran sering menjadi korban kebijakan top-down. Mereka tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, sosialisasi, maupun analisis dampak lingkungan (AMDAL). Akibatnya, muncul ketimpangan ekologis, di mana beban polusi dialami oleh komunitas berpenghasilan rendah yang tinggal dekat fasilitas pembakaran.

"Ini bukan hanya masalah udara kotor," kata Jefry, "tetapi juga ketidakadilan lingkungan. Yang menanggung dampak justru warga kecil, bukan pembuat kebijakannya."

Ilustrasi sampah plastik. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)
Ilustrasi sampah plastik. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

Perspektif Kebijakan Pengelolaan Sampah

Secara regulatif, proyek insinerator di Bandung bertentangan dengan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang mengamanatkan pengurangan dari sumber dan melarang pembakaran tanpa sadar teknis yang ketat.

Jefry menyebut, kebijakan ini juga berpotensi melanggar Permen LHK No. P.70/2016 tentang Baku Mutu Emisi Pengolahan Sampah Secara Termal. Selain itu juga dari Surat Arahan KLHK Nomor S.234/A/E/PLB.0.1/B/03/2025 yang secara eksplisit melarang pemerintah daerah menggunakan teknologi termal tanpa uji emisi.

"Ini bukti pengabaian Pemda atas kebijakan yang dikeluarkan KLH," ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup (KLH)/ Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Hanif Faisol Nurofiq telah melarang penggunaan insinerator tidak ramah lingkungan. Ia menjelaskan, pembakaran sampah dengan cara dibakar memiliki banyak kriteria yang harus memenuhi baku mutu emisi. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan atau Kegiatan Pengolahan Sampah Secara Termal, beberapa jenis emisi atau polusi yang harus sesuai baku mutu yaitu total partikulat, sulfur Dioksida, oksida nitrogen, hidrogen klorida, merkuri, karbon monoksida, hidrogen fluorida, dioksin, dan furan.

“Bila melampaui baku mutu, ada ancaman pidana,” kata Hanif, dalam acara Pembukaan Peringatan Hari Lingkungan Hidup Expo dan Forum di JICC, Minggu, 22 Juni 2025. 

Hanif meminta jajaran Dinas Lingkungan Hidup mengawasi penggunaan insinerator di wilayah masing-masing. Menurut Hanif, sampah lebih baik dikelola di level rumah tangga daripada dibakar.

Baca Juga: Cerita Memilah Sampah di Kampung KB Aisyiyah, Mengurangi Dampak Perubahan Iklim dari Desa
Savior Rangers dari Masjid Salman ITB, Berdakwah tentang Sampah dengan Tindakan

Solusi Ramah Lingkungan untuk Bandung

Pada dasarnya, Kang Pisman sudah menjadi solusi persampahan di Kota Bandung. Jefry mengatakan, diperlukan upaya mengubah paradigma penanganan sampah dari sistem lama, yaitu kumpul, angkut, dan buang kepada masyarakat.

"Karena sebaik apapun konsep penanganan dan pengelolaan sampah, tidak akan berjalan," ungkap Jefry.

Walhi Jabar merekomendasikan pemisahan dan pengolahan sampah organik di sumber sebagai langkah awal untuk Bandung keluar dari jeratan darurat sampah. Jefry menyebut, adanya potensi besar dan inisiatif masyarakat serta pelaku usaha untuk mengelola sampah organik secara mandiri.

"Melalui pengomposan dan biokonversi maggot (BSF). Hal ini dapat secara drastis mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA dan memberikan manfaat ekonomi," jelasnya.

Dilanjut dengan adanya dukungan pemerintah yang kuat, mulai dari himbauan, pembinaan, pendampingan, dan penyediaan off taker. Menurutnya, fasilitas TPS3R yang sudah tersedia banyak yang mangkrak, sehingga perlu adanya evaluasi dan optimalisasi.

Bukan hanya dukungan, penguatan regulasi dan penegakkan hukum juga penting untuk dilakukan. Jefry menakar, perlu adanya peningkatan level kebijakan Instruksi Gubernur Jawa Barat terkait pelarangan sampah organik menjadi Pergub.

"(Pembahasan mulai dari) penegakan hukum terhadap pelanggar, seperti pengelola pasar atau produsen yang tidak bertanggung jawab, juga harus diperkuat," ujar Jefry.

Perlu adanya desakan revisi Permen LHK P.75/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen untuk meningkatkan persentase tanggung jawab produsen dalam menarik kembali dan mengelola sampah kemasan produknya. Terakhir, Jefry mendorong revisi UU No, 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah demi memperkuat standar, kewenangan, dan kerja sama antar daerah dalam pengelolaan sampah berbasis sumber.

Selain pemerintah, masyarakat juga turut andil dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung. Hal ini bisa dimulai dari melaksanakan Kang Pisman secara mandiri.

"Ini berarti memisahkan sampah organik untuk diolah kembali dan memisahkan sampah anorganik yang dapat didaur ulang. Hal ini merupakan langkah sederhana yang dapat dilakukan besok dan secara kolektif, dapat memastikan 70% sampah tidak diangkut ke TPA," saran Jefry.

Berpartisipasi dalam kolaborasi dan pengawasan pengelolaan sampah, mengurangi residu dan plastik, serta mendukung penegakan hukum juga bisa dilakukan oleh warga Bandung. 

"Masyarakat perlu meningkatkan kesadaran akan keterlibatan mereka dalam penegakan hukum melalui kampanye dan pelaporan yang konsisten," katanya.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//