• Opini
  • Kasus Penyegelan Bandung Zoo: Warga Bandung Melawan Oligarki Tanah

Kasus Penyegelan Bandung Zoo: Warga Bandung Melawan Oligarki Tanah

Kasus Bandung Zoo hanyalah satu potret kecil dari peta besar kekuasaan yang kini mencengkeram ruang-ruang publik di kota ini.

Abah Omtris

Musisi Bandung

Polisi berjaga di gerbang saat Bandung Zoo atau Kebun Binatang Bandung tutup karena dampak dari konflik dualisme manajemen di Bandung, 3 Juli 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

13 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Di tengah derasnya pembangunan dan komersialisasi ruang hidup, Aliansi Warga Bandung harus lahir sebagai bentuk kesadaran kolektif untuk melawan kekuatan besar yang mengancam hak-hak warga kota –oligarki tanah, mafia properti, dan birokrasi yang tunduk pada modal. Mereka menolak cara pandang bahwa kota hanyalah ruang investasi dan proyek, bukan tempat tumbuhnya kehidupan sosial, budaya, dan ekologis.

Kasus penyegelan Bandung Zoo oleh pemerintah kota menjadi salah satu contoh dari sekian banyak konflik ruang yang menyingkap watak kekuasaan hari ini. Di baliknya, ada praktik penyalahgunaan wewenang, intrik kepentingan, dan dugaan keterlibatan mafia tanah yang mengancam keberlangsungan ekosistem serta hak publik atas ruang edukatif dan rekreatif. Bandung Zoo hanyalah satu fragmen dari masalah lebih luas –dari penggusuran warga di pinggiran kota, perampasan lahan hijau, hingga privatisasi ruang publik atas nama “kota kreatif”.

Pemerintah Kota Bandung kini terancam disomasi karena penyegelan Kebun Binatang Bandung (Bandung Zoo) yang dianggap menyalahi prosedur dan melampaui kewenangan. Tindakan ini bukan hanya memicu konflik kepengurusan yayasan, tetapi juga berdampak luas: ratusan hewan penghuni terancam kelangsungan hidupnya, pekerja kehilangan kepastian, dan masyarakat kehilangan hak atas ruang edukatif, konservatif, serta rekreatif.

Kasus ini memperlihatkan bagaimana pelanggaran hak asasi manusia tidak selalu hadir dalam bentuk kekerasan yang kasatmata. Ia juga bisa menjelma lewat kebijakan administratif yang seolah legal, namun secara substansial mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Ketika pemerintah bertindak tanpa dasar hukum yang kuat dan tanpa memperhatikan akibat sosialnya, maka hak masyarakat atas ruang hidup yang bermartabat ikut dilanggar.

Bandung yang selama ini dielu-elukan sebagai “kota kreatif” justru sedang memperlihatkan sisi gelapnya: kota yang lebih mengedepankan citra ketimbang nurani, lebih sibuk membangun destinasi wisata ketimbang menjaga ruang publik yang telah ada. Padahal kebun binatang bukan sekadar tempat hiburan—ia adalah ruang edukasi lingkungan, laboratorium alam bagi anak-anak, serta pengingat hubungan ekologis manusia dengan makhluk hidup lainnya.

Baca Juga: Berebut Aset Strategis Kebun Binatang Bandung di Pengadilan
Satwa Liar Kebun Binatang Bandung dalam Pusaran Sengketa Lahan
Keselamatan Satwa Dipertaruhkan dalam Konflik Dualisme Manajemen Kebun Binatang Bandung

HAM dalam Kota: Dari Jargon ke Pengabaian

Dalam setiap pidato dan rencana pembangunan, pemerintah kota kerap menyebut kata “partisipatif”, “berbasis warga”, atau “berperspektif HAM”. Namun pada praktiknya, partisipasi publik sering hanya dimaknai sebatas konsultasi formal, bukan keterlibatan substantif warga dalam pengambilan keputusan.

Kasus Bandung Zoo menjadi simbol dari HAM yang kosong makna. Pemerintah seharusnya menjadi penjaga hak-hak dasar warga—termasuk hak atas lingkungan yang sehat, hak atas rasa aman, serta hak atas rekreasi yang mendidik. Namun yang terjadi, pemerintah justru menggunakan instrumen hukum untuk menegaskan kekuasaan, bukan melindungi hak.

Di sisi lain, tindakan penyegelan yang disertai ketidakjelasan nasib hewan penghuni kebun binatang menunjukkan betapa rendahnya perhatian terhadap aspek moral dan ekologis dari kebijakan publik. Bandung, yang seharusnya menjadi ruang pembelajaran kemanusiaan, justru mempertontonkan praktik pengabaian terhadap makhluk hidup yang tak bisa membela dirinya sendiri.

Ketika kekuasaan hanya melihat tanah sebagai aset, bukan amanah; dan kebijakan hanya dilihat dari sisi efisiensi ekonomi, bukan nilai kemanusiaan; maka prinsip-prinsip HAM telah digadaikan.

Tanpa penghormatan terhadap hak atas tanah, hak berekspresi, dan perlindungan dari kekerasan aparat maupun ormas, HAM hanya menjadi slogan tanpa ruh.

Kota yang sehat tidak hanya diukur dari indeks ekonomi atau kemajuan teknologi, melainkan dari sejauh mana ruang-ruang publiknya memberi ruang tumbuh bagi warga untuk belajar, berekreasi, dan berinteraksi secara manusiawi.

Bandung Zoo sejatinya adalah salah satu ruang publik yang menyimpan nilai edukatif dan konservatif tinggi. Kehadirannya memungkinkan anak-anak belajar tentang keanekaragaman hayati, membuka kesadaran ekologis, serta menjadi ruang rekreasi yang terjangkau bagi keluarga pekerja. Ketika ruang seperti ini dirampas atas nama prosedur, maka yang hilang bukan hanya lahan, tetapi juga hak masyarakat atas pengetahuan dan kebahagiaan.

Penyegelan ini menegaskan bahwa pemerintah kota belum memahami ruang publik sebagai hak asasi warga kota. Ia bukan milik pejabat atau investor, tetapi hak kolektif yang harus dijaga bersama. Hilangnya ruang-ruang publik semacam ini adalah bentuk perampasan halus—ekspresi lain dari kekerasan struktural yang membungkam warga secara perlahan.

Melawan Musuh Bersama: Oligarki dan Mafia Tanah

Kasus Bandung Zoo hanyalah satu potret kecil dari peta besar kekuasaan yang kini mencengkeram ruang-ruang publik di kota ini. Di balik penyegelan, penggusuran, dan privatisasi ruang hidup warga, selalu bersembunyi satu wajah yang sama: oligarki tanah—mereka yang menguasai lahan, modal, dan birokrasi.

Oligarki bukan sekadar segelintir orang kaya. Ia adalah struktur kekuasaan yang melibatkan pejabat, pengusaha, aparat, bahkan ormas. Mereka membentuk jaring kolusi yang menukar izin dengan keuntungan, hukum dengan loyalitas, dan ruang publik dengan kepentingan pribadi. Mereka adalah musuh bersama masyarakat kota yang mendambakan keadilan sosial dan hak hidup layak.

Ketika tanah kota menjadi komoditas, ketika ruang hijau berubah menjadi properti, dan ketika hukum tunduk pada modal, maka seluruh sendi kehidupan kota perlahan dirampas dari tangan rakyat. Bandung yang dulu dikenal karena solidaritas sosialnya kini perlahan berubah menjadi kota transaksi, tempat kepentingan ekonomi mengalahkan nurani publik.

Di hadapan kekuatan sebesar itu, warga tak bisa hanya berharap pada pemerintah. Karena sering kali, pemerintah sendiri telah menjadi bagian dari jaringan oligarki itu. Maka yang tersisa hanyalah kekuatan rakyat, solidaritas sosial, dan gerakan kolektif.

Hanya melalui gerakan sosial –dari komunitas warga, mahasiswa, seniman, akademisi, hingga pekerja– Bandung bisa membangun daya tahan terhadap kerakusan kapital dan kebobrokan birokrasi. Gerakan ini bukan sekadar protes, tetapi pendidikan politik: menumbuhkan kesadaran bahwa hak atas ruang hidup, hak atas kota, dan hak atas lingkungan bukanlah pemberian, melainkan hasil perjuangan.

Perlawanan terhadap oligarki tanah bukanlah perjuangan segelintir idealis. Ia adalah pertarungan menentukan masa depan kota. Jika dibiarkan, kota akan kehilangan jiwanya –menjadi lahan bisnis tanpa nurani, di mana rakyat hanya penonton dan satwa hanya korban.

Masyarakat Bandung harus kembali belajar menegakkan solidaritas, menolak kooptasi “kota kreatif” yang hanya menguntungkan investor. Karena kreativitas sejati lahir dari kebebasan, bukan dari proyek-proyek yang disponsori kapital.

Dari Bandung, Harapan Itu Bisa Bernyala

Bandung punya sejarah panjang perlawanan –dari perjuangan kemerdekaan, gerakan mahasiswa, hingga geliat komunitas alternatif yang terus hidup di sela represi. Jejak itu belum padam. Ia menunggu untuk dihidupkan kembali.

Kesadaran baru harus tumbuh: bahwa menjaga Bandung bukan sekadar soal estetika kota, melainkan soal keberanian politik warga untuk menolak ketidakadilan. Perlawanan terhadap oligarki tanah adalah bentuk tertinggi cinta terhadap kota ini –karena dari situlah hak-hak asasi, ruang publik, dan kehidupan bersama bisa kembali bernafas.

Bandung yang manusiawi hanya mungkin lahir dari tangan rakyatnya sendiri. Dari solidaritas, dari keberanian, dari kesadaran bahwa kota ini bukan milik pejabat atau investor, melainkan milik kita semua.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//