• Opini
  • Reformasi TNI di Persimpangan Jalan

Reformasi TNI di Persimpangan Jalan

Reformasi TNI adalah proses berkelanjutan yang menuntut evaluasi dan komitmen politik dari seluruh elemen bangsa.

Fathan Muslimin Alhaq

Penulis konten lepas asal Jakarta

Menggunakan instrumen militer untuk membina warga sipil adalah langkah mundur demokrasi. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

16 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Reformasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah bab penting dalam sejarah demokrasi Indonesia yang dimulai sejak tumbangnya rezim Orde Baru pada 1998. Ia bukan sekadar penyesuaian kelembagaan, melainkan pergeseran paradigma besar dari kekuasaan bersenjata menuju pemerintahan berbasis supremasi sipil. Namun, dua dekade setelah euforia reformasi, banyak tanda memperlihatkan bahwa proses itu belum selesai –bahkan, di beberapa titik, tampak berjalan mundur. Di tengah semangat profesionalisme yang dikampanyekan, muncul bayangan lama tentang militer yang kembali aktif di ruang sipil, baik melalui kebijakan formal maupun praktik politik terselubung. Reformasi yang dahulu diharapkan menjadi tonggak, kini terancam menjadi seremoni.

Pada masa Orde Baru, militer menjalankan doktrin Dwifungsi ABRI –doktrin yang memberi legitimasi kepada militer untuk berperan tidak hanya di bidang pertahanan, tetapi juga sosial-politik. Dalam praktiknya, ABRI menempati kursi-kursi strategis di pemerintahan, parlemen, hingga birokrasi daerah. Militer menjadi pilar utama stabilitas, tapi juga instrumen kontrol politik. Dalam situasi demikian, ruang sipil menyempit, demokrasi macet, dan kekuasaan terkonsentrasi di tangan segelintir elite yang bersandar pada kekuatan senjata. Maka, ketika reformasi 1998 meletus, salah satu tuntutan terbesarnya adalah memisahkan militer dari urusan politik, mengakhiri Dwifungsi ABRI, dan menegakkan supremasi sipil yang sesungguhnya.

Langkah awal reformasi TNI berlangsung cepat dan tegas. Polri resmi dipisahkan dari TNI pada tahun 1999, menandai akhir dari struktur ABRI yang menyatukan kekuatan darat, laut, udara, dan kepolisian. Kemudian lahir Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang menegaskan bahwa TNI adalah alat negara di bidang pertahanan, tidak berpolitik praktis, dan hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun. Ketentuan ini menjadi dasar bagi profesionalisme militer Indonesia yang modern. TNI diarahkan untuk fokus pada tugas pokoknya yaitu menjaga kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi bangsa dari ancaman luar. Secara normatif, ini adalah lompatan besar dari warisan otoritarian.

Baca Juga: Esensi Pendidikan Gratis yang Inklusif
Gugatan LMID Atas UU Sisdiknas, Menuntut Pendidikan Gratis Semua Jenjang
Menakar Makan Bergizi Gratis sebagai Solusi Konkret Masalah Gizi Anak Indonesia

Multifungsi TNI

Namun, perjalanan dua dekade terakhir menunjukkan bahwa reformasi di tingkat struktur tidak selalu berarti perubahan di tingkat budaya dan praktik kekuasaan. Masih banyak celah dalam kebijakan yang memungkinkan militer kembali memainkan peran sosial-politik, hanya dengan wajah berbeda. Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo, hubungan sipil–militer mengalami pergeseran yang menarik namun juga mengkhawatirkan. Stabilitas nasional menjadi mantra utama, dan dalam kerangka itulah peran militer kembali menguat di ranah sipil. Berdasarkan data yang dirilis Imparsial dan KontraS, terdapat lebih dari 130 nota kesepahaman (MoU) antara TNI dan lembaga sipil sejak 2014. Bidang kerja sama tersebut meliputi ketahanan pangan, pembangunan infrastruktur, hingga penanggulangan narkoba dan mitigasi bencana –semuanya di luar fungsi pertahanan.

Keterlibatan militer dalam proyek-proyek sipil ini, meski sering dibungkus alasan efisiensi dan kedisiplinan, sesungguhnya melanggar prinsip dasar profesionalisme militer. TNI seharusnya tidak mengambil alih tugas lembaga sipil kecuali dalam keadaan darurat. Ironisnya, keterlibatan ini justru dilegalkan melalui perjanjian resmi antarlembaga negara, tanpa mekanisme pengawasan publik yang memadai. Akibatnya, muncul kembali pola lama: militer menjadi aktor dominan di luar fungsi utamanya. Dalam beberapa kasus, perwira aktif bahkan menduduki jabatan sipil tanpa melalui prosedur pensiun, sebuah pelanggaran halus terhadap semangat reformasi 1998.

Fenomena ini semakin kompleks di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Disahkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 menjadi titik balik yang memunculkan kembali istilah “multifungsi TNI” –istilah yang dulu justru dihapuskan pada masa reformasi. Regulasi baru tersebut memperluas peluang bagi perwira aktif untuk mengisi jabatan sipil strategis dan memperlonggar batasan dalam operasi militer selain perang (OMSP). Dengan dalih memperkuat stabilitas nasional, militer kini memiliki legitimasi hukum untuk berpartisipasi dalam berbagai urusan domestik nonpertahanan. Kebijakan ini menciptakan ruang abu-abu yang berbahaya: antara modernisasi dan remiliterisasi.

Data Kementerian Pertahanan menunjukkan bahwa jumlah personel TNI saat ini mencapai sekitar 400 ribu prajurit aktif, dengan anggaran pertahanan yang terus meningkat setiap tahun. Pada 2024 saja, anggaran tersebut mencapai lebih dari 150 triliun rupiah, menjadikan Indonesia salah satu negara dengan belanja militer terbesar di Asia Tenggara. Di satu sisi, peningkatan anggaran ini bisa dilihat sebagai upaya memperkuat kemandirian alutsista dan kesiapan pertahanan nasional. Namun disisi lain, tanpa mekanisme kontrol sipil yang kuat, sumber daya sebesar itu berpotensi menciptakan ketimpangan kekuasaan antara militer dan lembaga sipil. Dalam konteks demokrasi, keseimbangan ini sangat krusial –karena kekuatan bersenjata yang tidak diawasi dapat dengan mudah menekan ruang publik.

Persoalan lain yang tak kalah penting adalah soal peradilan militer. Hingga kini, revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer belum juga disahkan. Akibatnya, prajurit TNI yang melakukan tindak pidana di luar konteks militer masih diadili di pengadilan militer, bukan di pengadilan umum. Hal ini menimbulkan masalah transparansi dan akuntabilitas hukum. Tanpa reformasi sistem peradilan militer, prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law) tidak akan pernah terwujud secara penuh. Kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang belum terselesaikan pun semakin mempertegas pentingnya kontrol yudisial terhadap militer.

Remiliterisasi

Dalam konteks politik kontemporer, peran TNI yang makin aktif dalam isu-isu nonpertahanan sering dipersepsikan sebagai upaya adaptasi terhadap zaman, bukan dominasi. Namun, pembenaran semacam ini berbahaya. Demokrasi yang sehat membutuhkan militer yang kuat tapi terkendali, bukan militer yang serba bisa. Ketika militer mulai dilibatkan dalam pembangunan ekonomi, pendidikan, bahkan ketahanan sosial, batas antara sipil dan militer perlahan kabur. Inilah bentuk remiliterisasi yang tidak lagi tampak dalam bentuk kudeta atau kekerasan, tetapi dalam wujud penetrasi kelembagaan yang halus dan legal. Demokrasi tidak mati karena peluru, tetapi karena kompromi yang terlalu jauh.

Reformasi TNI, karena itu, bukan warisan yang bisa dirayakan sekali lalu dilupakan. Ia adalah proses berkelanjutan yang menuntut evaluasi dan komitmen politik dari seluruh elemen bangsa. Ada tiga langkah mendesak yang perlu dilakukan negara. Pertama, meninjau ulang seluruh nota kesepahaman antara TNI dan lembaga sipil untuk memastikan kesesuaiannya dengan mandat pertahanan negara. Kedua, memperjelas batasan OMSP agar tidak menjadi dasar bagi ekspansi peran militer dalam urusan sipil. Ketiga, segera menyelesaikan revisi UU Peradilan Militer demi memperkuat akuntabilitas hukum. Langkah-langkah ini tidak hanya penting bagi demokrasi, tetapi juga bagi kehormatan TNI itu sendiri sebagai institusi profesional yang modern.

Pada akhirnya, reformasi TNI adalah refleksi dari kedewasaan bangsa dalam menata relasi kekuasaan. Demokrasi tidak berarti melemahkan militer, tetapi menempatkannya pada posisi yang benar di mana demokrasi sebagai pelindung, bukan pengatur. Reformasi ini harus dijaga, bukan karena ketakutan pada militer, melainkan karena cinta pada republik yang diperjuangkan dengan darah dan pengorbanan para prajuritnya. Jika supremasi sipil kembali digantikan oleh dominasi berseragam, maka perjuangan reformasi 1998 akan kehilangan maknanya. Sejarah telah mengajarkan bahwa kekuasaan tanpa kontrol selalu berujung pada represi. Maka, menjaga reformasi TNI bukan sekadar tugas politik, tetapi tanggung jawab moral bangsa terhadap masa depan demokrasinya sendiri.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//