• Opini
  • Esensi Pendidikan Gratis yang Inklusif

Esensi Pendidikan Gratis yang Inklusif

Negara membatasi hak pendidikan gratis berdasarkan umur. Menutup pintu bagi ribuan warga yang ingin melanjutkan sekolah di usia dewasa atau remaja putus sekolah.

Fathan Muslimin Alhaq

Penulis konten lepas asal Jakarta

Ilustrasi pendidikan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

9 Juli 2025


BandungBergerak.id – Di negeri yang menjunjung tinggi Pancasila dan konstitusi, masih banyak anak bangsa yang tak bisa sekolah hanya karena tak mampu bayar. Ironis, padahal Pasal 31 UUD 1945 sudah tegas: setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan negara wajib membiayainya. Namun, pertanyaannya bukan hanya “apakah gratis?”, melainkan “untuk siapa saja gratis itu berlaku?”

Pendidikan gratis yang tidak inklusif sama saja dengan gedung sekolah yang dibuka tapi dengan pintu sempit. Inklusivitas bukan sekadar jargon, ia adalah kunci pembebasan struktural dari diskriminasi yang menahun –baik terhadap anak dari keluarga miskin, penyandang disabilitas, perempuan di daerah tertinggal, maupun kelompok minoritas lainnya. Tanpa inklusivitas, “gratis” hanya jadi fasilitas untuk yang sudah mampu mengaksesnya.

Baca Juga: Hukum yang Tak lagi Sakral
Hari Kartini: Lebih dari Sekadar Kebaya, Saatnya Perempuan Bersuara
Bahaya Pasifnya Masyarakat Kelas Menengah Terhadap Demokrasi

Ketimpangan Hukum

Salah satu batu sandungan terbesar dalam perjuangan menuju pendidikan inklusif adalah Pasal 11 ayat (2) UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, yang menyatakan bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.”

Pembatasan usia ini dikritik oleh berbagai pihak, termasuk Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID), yang secara resmi menggugat pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Sekjen LMID, Syamsul Arif, menyatakan “Pendidikan tinggi bukan sekadar jalan mencari kerja. Ia adalah proses untuk menaikkan kesadaran, memperluas wawasan, dan menempa nalar kritis. Membatasi usia berarti membatasi hak untuk tumbuh sebagai manusia merdeka.”

Dengan membatasi hak atas pendidikan gratis hanya berdasarkan umur, negara secara tidak langsung menutup pintu bagi ribuan warga yang ingin melanjutkan belajar di usia dewasa atau remaja telat sekolah. Ini jelas bertentangan dengan prinsip inklusif dan keadilan sosial.

Pendidikan inklusif didefinisikan dalam Permendiknas No. 70 Tahun 2009 sebagai sistem yang mengakomodasi kebutuhan semua peserta didik dalam satu lingkungan belajar yang sama. Namun, dalam praktiknya, inklusi sejati tak cukup hanya dengan ruang kelas dan ramp untuk kursi roda. Ia membutuhkan sistem pembelajaran yang adaptif, guru yang terlatih, serta budaya sekolah yang menumbuhkan empati, bukan sekadar toleransi.

Penelitian dari Maya Indrasti dan Faridah Jalil dalam Padjadjaran Journal of Indonesian Law (2022) menunjukkan bahwa kebijakan pendidikan inklusif di Indonesia masih banyak menghadapi tantangan pada tingkat implementasi. Hambatan utamanya adalah keterbatasan SDM, rendahnya anggaran, serta belum terintegrasinya kebijakan lintas sektor.

Gratis Tidak Sama dengan Setara

Sering kali, kata “gratis” menjadi dalih bahwa semua sudah diberi kesempatan. Padahal jika sistemnya masih menyisakan diskriminasi –misalnya tidak adanya bahasa isyarat di ruang kelas, ujian yang tak bisa diakses tunanetra, atau guru yang tidak memahami anak autistik– maka pendidikan gratis hanya menjadi basa-basi demokrasi.

Prinsip inklusif mengubah cara kita melihat pendidikan: bukan lagi sistem seleksi yang memfilter siapa yang pantas, tetapi ruang hidup bersama yang membentuk siapa saja untuk tumbuh dan berkembang. SDG 4 (Sustainable Development Goal) pun menekankan bahwa pendidikan harus "inklusif, adil, dan berkualitas."

Menuju sistem pendidikan gratis yang inklusif, kita butuh:

  1. Revisi UU dan Regulasi Turunan: Pasal-pasal yang membatasi hak belajar berdasarkan usia atau status sosial perlu dikaji ulang. Pendidikan adalah hak seumur hidup, bukan hanya bagi yang masih remaja.
  2. Penguatan Anggaran dan Fasilitas Inklusif: Unit Layanan Disabilitas, pelatihan guru, serta akomodasi yang layak harus menjadi prioritas alokasi APBN dan APBD.
  3. Pemanfaatan Teknologi Aksesibel: Digitalisasi bisa menjangkau peserta didik dari komunitas terpencil dan dengan kebutuhan khusus.
  4. Pengawasan Independen: Komisi Nasional Disabilitas harus diberi mandat mengaudit pelaksanaan pendidikan inklusif secara berkala.

Menghapus biaya adalah langkah awal. Tapi pendidikan yang layak harus bisa diakses siapa pun tanpa syarat usia, kondisi tubuh, atau latar sosial. Kita tidak bisa bicara “keadilan sosial” jika sistem pendidikan masih membatasi siapa yang layak dilayani.

Pendidikan inklusif bukan sekadar fasilitas –ia adalah wajah paling nyata dari keadilan negara. Dan keadilan tak boleh mengenal usia.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//