Gugatan LMID Atas UU Sisdiknas, Menuntut Pendidikan Gratis Semua Jenjang
LMID menuntut perubahan paradigma pendidikan dari yang elitis menjadi kolektif dan berkeadilan.

Fathan Muslimin Alhaq
Penulis konten lepas asal Jakarta
14 Juli 2025
BandungBergerak.id – Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID) secara resmi melayangkan gugatan uji materi terhadap Pasal 11 Ayat (2) dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan ini bukan sekadar aksi simbolik, tetapi merupakan refleksi dari keresahan kolektif mahasiswa atas sistem pendidikan yang semakin menjauh dari asas keadilan sosial.
"Pendidikan tinggi bukanlah sekadar jalan mencari kerja. Ia adalah proses untuk menaikkan kesadaran, memperluas wawasan, dan menempa nalar kritis," ujar Syamsul Arif, Sekretaris Jenderal LMID. Ucapan ini menggambarkan keresahan mendasar terhadap arah kebijakan pendidikan nasional yang kian pragmatis dan transaksional.
Pasal 11 Ayat (2) RUU Sisdiknas menyatakan bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah tanpa memungut biaya.” Frasa ini secara gamblang mengecualikan jenjang pendidikan tinggi dari jaminan pembiayaan negara. LMID menilai ini sebagai bentuk legalisasi ketimpangan akses pendidikan dan bentuk diskriminasi struktural terhadap kelompok ekonomi bawah.
Baca Juga: Bahaya Memangkas Anggaran Pendidikan bagi Masa Depan Bangsa Meskipun Demi Efisiensi
Pendidikan, Pekerjaan, dan BPJS Sulit Dijangkau Para Transpuan Bandung
Arah Pendidikan Indonesia di antara Kebijakan, Kurikulum, dan Guru
Disparitas Akses
Data BPS (2024) mencatat hanya 8 dari 100 penduduk usia 19-24 tahun di kelompok termiskin yang berhasil mengakses pendidikan tinggi, dibandingkan dengan 43 dari 100 di kelompok terkaya. Ini bukan sekadar statistik; ini adalah potret ketimpangan yang telah berlangsung bertahun-tahun.
LMID menyebut kondisi ini sebagai “disparitas akses akut”. Menurut Syamsul, situasi ini hanya akan menghasilkan generasi dengan keterampilan terbatas, rentan dieksploitasi, dan sulit beradaptasi dengan perubahan zaman. Apalagi, dalam ekosistem kerja digital saat ini, perguruan tinggi bukan sekadar ruang akademis, tetapi menjadi arena utama pembentukan kapasitas kritis dan sosial generasi muda.
Sementara itu, menurut UNESCO, pembiayaan pendidikan tinggi idealnya disubsidi oleh negara hingga 80% dari total biaya, demi mendorong partisipasi inklusif. Sayangnya, Indonesia justru menggeser beban pembiayaan ke mahasiswa dan keluarganya.
Mengapa Pendidikan Gratis di Semua Jenjang Urgen?
LMID menuntut perubahan paradigma pendidikan dari yang elitis menjadi kolektif dan berkeadilan. Pendidikan tinggi tak bisa lagi dilihat sebagai “komoditas premium” yang hanya bisa diakses mereka yang memiliki privilese ekonomi. Dalam tuntutannya, LMID menyuarakan sistem pendidikan tinggi yang adil, inklusif, berkualitas, dan bervisi kelas pekerja.
Kebijakan pendidikan gratis di semua jenjang bukan hanya mungkin, tapi sangat relevan. Banyak negara –seperti Jerman dan Norwegia– sudah mengimplementasikan skema pendidikan tinggi gratis berbasis pembiayaan negara. Ini bukan utopia, tapi bukti bahwa politik anggaran mencerminkan arah ideologi kebijakan.
Jika pendidikan dasar dan menengah di Indonesia bisa digratiskan berdasarkan amanat Pasal 31 Ayat (2) UUD 1945 “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”, maka seharusnya prinsip keadilan yang sama berlaku untuk pendidikan tinggi. Apalagi, UUD 1945 Pasal 31 Ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.”
RUU Sisdiknas dan Potensi Legalitas Ketidakadilan
Salah satu kritik tajam LMID terhadap RUU Sisdiknas adalah ketidakkonsistenan negara dalam menjalankan fungsi konstitusionalnya. Jika konstitusi menjamin hak atas pendidikan bagi semua warga negara, mengapa justru RUU-nya memberi batasan jaminan hanya sampai pendidikan menengah?
Alih-alih menjadi alat distribusi keadilan, draf UU ini justru membuka ruang bagi komersialisasi pendidikan tinggi. Dengan pembiaran seperti ini, negara secara tidak langsung menolak hak pendidikan bagi mayoritas kelas pekerja dan kelompok rentan.
LMID melalui gugatan ini ingin mendorong pengesahan sistem yang berpihak pada mayoritas rakyat. Syamsul menegaskan, “Tanpa sistem pendidikan tinggi yang adil dan berpihak pada rakyat pekerja, kita akan gagal melahirkan generasi yang kritis dan mampu menghadapi tantangan zaman.”
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB