Dua Petinggi Yayasan Margasatwa Tamansari Divonis 7 Tahun Penjara Terkait Kasus Korupsi di Lahan Sengketa Kebun Binatang Bandung
Sengketa lahan Kebun Binatang Bandung panjang dan berliku. Keselamatan satwa tetap yang utama.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah17 Oktober 2025
BandungBergerak - Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Kota Bandung menjatuhkan vonis tujuh tahun penjara terhadap Raden Bisma Brata Kusuma, Ketua Yayasan Margasatwa Tamansari (YMT), serta pengelola Kebun Binatang Bandung dan Ketua Pembina YMT, Sri Devi, Kamis, 16 Oktober 2025. Mereka dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi sengketa lahan Bandung Zoo atau Kebun Binatang Bandung.
Majelis Hakim menyatakan kedua terdakwa bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, karena memperkaya diri sendiri dan yayasan melalui pemanfaatan tanah milik Pemerintah Kota Bandung tanpa izin resmi, sebagaimana dakwaan primair dengan pidana penjara selama 7 tahun dan denda sebesar 400 juta rupiah.
"Mengadili, menyatakan, Raden Bisma Bratakusuma, dan Sri telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," kata Ketua Majelis Hakim Rachmawati, saat membacakan putusan, Kamis, 16 Oktober 2025.
Hakim juga memerintahkan Bisma membayar uang pengganti kerugian negara sebesar 10,13 miliar rupiah dan Sri membayar 14,93 miliar rupiah. Jika tidak dibayar dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, harta mereka akan disita dan dilelang, atau diganti dengan pidana tambahan dua tahun penjara.
Sebelum membacakan vonis, hakim mempertimbangkan hal-hal yang meringankan bagi terdakwa. Kedua terdakwa belum pernah dihukum, berterus terang selama persidangan, dan merupakan tulang punggung keluarga.
Ada pun hal memberatkan, kedua terdakwa dianggap tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan perbuatan terdakwa berdampak buruk terhadap keberlangsungan kebun binatang.
Dalam pertimbangannya Majelis Hakim menilai Yayasan Margasatwa Tamansari tetap menguasai dan mengelola lahan kebun binatang di Jalan Tamansari, Kota Bandung, setelah izin pemakaian tanah berakhir pada 30 November 2007. Lahan tersebut merupakan aset Pemerintah Kota Bandung yang sejak masa kolonial Hindia Belanda diperuntukkan bagi taman hewan kota.
Audit Inspektorat Daerah Kota Bandung menemukan bahwa yayasan yang dipimpin terdakwa tetap menarik keuntungan dari aktivitas kebun binatang, seperti tiket masuk, wahana permainan, sewa kios, dan penjualan makanan hewan, tanpa membayar sewa lahan maupun pajak bumi dan bangunan.
Kerugian keuangan negara akibat tindakan tersebut mencapai 25,51 miliar rupiah dengan rincian, 6 miliar rupiah dari perjanjian sewa fiktif 2017-2020, 16 miliar rupiah dari nilai sewa lahan tidak disetor ke Pemkot Bandung, dan 3,49 miliar dari kewajiban Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tidak terpenuhi.
Setelah membacakan putusan, Majelis Hakim memberikan waktu satu pekan bagi pengacara terdakwa dan JPU untuk mengajukan banding.
Vonis bersalah ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut kedua terdakwa 15 tahun penjara dan denda 500 juta rupiah subsider 6 bulan kurungan. Sebelumnya, jaksa penuntut umum dalam dakwaan primairnya menyebut, Raden Bisma selaku Ketua Umum YMT periode 2007–2013 telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan menguasai dan memanfaatkan aset tanah seluas 14 hektare di Jalan Tamansari yang merupakan milik Pemerintah Kota Bandung. Aset tersebut merupakan tanah hak pakai Pemkot Bandung yang dikelola oleh pihak ketiga melalui kerja sama sewa sejak 1999.
Jaksa juga mengatakan, setelah masa kerja sama Kebun Binatang Bandung dan pihak swasta berakhir pada 2007, Pemkot Bandung tak lagi memperpanjang izin pengelolaan. Akan tetapi, Bisma bersama sejumlah pengurus yayasan tetap menguasai lahan itu, mengelola opersional kebun binatang, dan menerima keuntungan dari penjualan tiket serta penyewaan fasilitas tanpa dasar hukum yang sah.
Jaksa mengatakan, Raden Bisma melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 18 UU yang sama, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Jaksa juga menguraikan bahwa YMT tetap mengelola Kebun Binatang Bandung tanpa membayar sewa kepada pemerintah daerah, meski status kepemilikan lahan telah jelas tercatat sebagai aset Pemkot Bandung. Selama periode penguasaan itu, pihak yayasan juga melakukan aktivitas bisnis seperti penyewaan lahan untuk acara, parkir, hingga kegiatan promosi tanpa izin resmi dari pemerintah daerah.
Jaksa menyebut tindakan tersebut mengakibatkan potensi kerugian negara yang signifikan karena Pemkot Bandung kehilangan potensi penerimaan dari pengelolaan aset publik. Selain itu, penguasaan aset tanpa dasar hukum dinilai melanggar prinsip pengelolaan barang milik daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Baca Juga: Kasus Penyegelan Bandung Zoo: Warga Bandung Melawan Oligarki Tanah
Keselamatan Satwa Dipertaruhkan dalam Konflik Dualisme Manajemen Kebun Binatang Bandung
Jalan Panjang Sengketa Lahan di Kebun Binatang
Sengketa lahan di Kebun Binatang Bandung bukanlah kali pertama. Konflik dualisme manajemen juga mewarnai perjalanan tempat konservasi tertua di Jawa Barat ini.
Dalam laporan BandungBergerak pada 7 Februari 2025, terjadi konflik sengketa lahan antara Pemkot Bandung dan YMT. Kejaksaan Tinggi Jabar turun tangan dan menyegel sejumlah asset milik yayasan, termasuk kantor opersional dan gudang. Walaupun penyegelan dilakukan, aktivitas kebun binatang tetap berjalan seperti biasa.
YMT menilai langkah kejaksaan tidak prosedural karena perkara kepemilikan lahan masih dalam proses hukum dan belum memiliki kekuatan tetap (inkrah). Di sisi lain, Pemkot Bandung berencana menyerahkan pengelolaan kebun binatang kepada Persatuan Kebun Binatang Indonesia (PKBSI) untuk menjamin kelangsungan operasional serta kesejahteraan satwa dan karyawan.
Di tengah pusaran konflik yang menyeret ke meja itu, dualisme manajemen semakin meruncing. Dua kubu saling mengklaim kepemilikan sah dengan dasar akta berbeda, tahun 2017 dan 2024. Konflik itu makin memanas setelah kejaksaan menetapkan dua orang pengurus sebagai tersangka dalam kasus dugaan penguasaan lahan ilegal.
Situasi internal yang tidak kondusif sempat menyebabkan kebun binatang ditutup mendadak pada 3 Juli 2025, sebelum dibuka kembali sehari kemudian. Dalam rentang Maret hingga Juli 2025, dilaporkan tujuh ekor satwa mati, termasuk seekor pelikan. Pihak manajemen menyebut kematian itu disebabkan faktor alami, tetapi pemerhati satwa dan akademisi menilai perlu ada audit dan pengawasan independen untuk memastikan kesejahteraan hewan tetap terjaga.
Peneliti konservasi dan akademisi dari Universitas Padjadjaran Johan Iskandar menegaskan, konflik manusia tidak boleh mengorbankan satwa.
“Kebun binatang adalah lembaga konservasi. Apa pun masalah manajemennya, kesejahteraan satwa harus menjadi prioritas,” kata Johan kepada BandungBergerak beberapa waktu lalu.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB