Cerita Bupati Bandung Martanagara yang Dikisahkan oleh Dirinya Sendiri
Bupati Bandung R. A. A. Martanagara menerbitkan kisah hidupnya yang ia tulis sendiri. Kisah tersebut diterjemahkan oleh peneliti Belanda, G. Drewes.

Malik Ar Rahiem
Geolog, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung
22 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Warga Bandung tentu mengetahui Jalan R. A. A. Martanegara yang terletak di bilangan Turangga, Kota Bandung. Tapi, mungkin banyak yang belum mengetahui siapa sih “Martanegara” (Martanagara). Saya sendiri sebenarnya tidak banyak tahu tentang beliau, sampai akhirnya saya membaca sebuah makalah yang sangat menarik, yang mengisahkan tentang kisah hidupnya. Makalah tersebut ditulis oleh seorang peneliti Belanda, G. Drewes, dan berjudul The Life-Story of an old-time Priangan Regent as told by himself, yang terbit di Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 141 (1985), no: 4, Leiden, 399-422.
Pada tahun 1923, di usianya yang ke-78, R. A. A. Martanagara menerbitkan kisah hidupnya yang ia tulis dalam sebuah buku tipis setebal 51 halaman. Buku ini ditulis dalam bahasa Sunda, dalam bentuk prosa. Setiap halaman terdiri atas 34 baris. Empat halaman pertama buku kecil ini dikhususkan untuk silsilah keluarga Martanagara; halaman 5-16 membahas masa kecilnya; halaman 17-42 mengenai kariernya sebagai pelayan masyarakat, mulai dari awal yang sederhana sebagai guru pembantu hingga puncaknya menjabat sebagai Bupati Bandung, wilayah terpenting di Priangan; halaman 43-44 tentang masa pensiunnya dan kepindahannya ke Sumedang, daerah asalnya. Di sini biografi itu sendiri berakhir, namun di penutupannya disisipkan tambahan berupa laporan terperinci tentang pembunuhan Asisten Residen Nagel yang terjadi sebelum masa hidup penulis. Cerita yang sangat sensasional ini mudah saja diolah oleh penulis cerita fiksi menjadi cerita seru!
Ketika membaca teks Drewes ini, saya begitu terharu, karena Martanagara mengisahkan dengan begitu menarik perjalanan hidupnya, sehingga saya merasa perlu untuk menerjemahkan teks ini ke dalam bahasa Indonesia, agar bisa dibaca oleh khalayak yang lebih banyak. Yang saya terjemahkan adalah teks dari Drewes, yang mentranskripsi teks dari Martanagara yang prosaik menjadi teks yang naratif.
Berikut adalah terjemahan bebas kisah tersebut.
Baca Juga: Franz Wilhelm Junghuhn dan Bandung
Cerita dari Sukajadi Bandung
Jejak Raden Saleh di Bandung: Lukisan Perburuan Rusa dari Baleendah
Lahir di Sumedang
Pada senja hari Selasa, 3 Sapar 1261 (8 Februari 1845), setelah Salat Asar, orang tuaku duduk bersama di serambi depan rumah mereka. Ibuku berada dalam tahap penghujung kehamilan, tetapi waktunya belum tampak tiba. Tiba-tiba seorang tamu datang, Kyai Hamsilah, seorang guru tarekat Jawa terkenal asal Pekalongan, yang tinggal di kampung Cipameungpeuk dan memiliki banyak pengikut di Sumedang. Sang Kyai memberitahu mereka sambil menikmati secangkir kopi bahwa ketika dia berada di masjid untuk menghadiri Salat Zuhur, dia mendengar seseorang di belakangnya berkata bahwa anak R. Ayu Tejamirah sedang dilahirkan ke dunia pada saat itu juga. Karenanya dia datang untuk mengunjungi ibu dari bayi yang baru lahir itu.
Ibuku menjawab bahwa waktunya belum tiba, namun tak lama kemudian ia harus meninggalkan ruangan sejenak, dan setelah keluar dari serambi, ia merasakan kontraksi di perutnya dan mendesak suaminya untuk memanggil bidan. Beberapa menit kemudian, saat kontraksi terus berlanjut, ia sekali lagi memanggil suaminya. Suaminya masuk ke kamar didampingi Kyai, yang menyuruhnya segera berbaring dan, sambil menunggu kelahiran bayinya, mulai melantunkan doa. Bayi itu lahir seperempat jam kemudian. Persalinan ini, yang kelima bagi ibuku, adalah yang paling mudah di antara semuanya. Ketika bidan tiba, yang tersisa baginya hanyalah merawat bayi yang baru lahir dan mengurus pasca persalinan.
Mengingat keempat anak sebelumnya yang meninggal di usia sangat dini, ibuku berkata kepada Kyai bahwa harapannya yang paling tulus adalah anak ini dapat hidup, dan semoga ia diizinkan untuk melihatnya tumbuh menjadi dewasa. Baginya tidak menjadi masalah apakah anak itu akan kaya atau cerdas, asalkan ia menjadi anak yang baik. Saat Kyai pergi untuk menunaikan Salat Magrib, ia berkata kepada ibuku, "Anak ini akan hidup lebih lama darimu dan melampauimu." Meski begitu, hingga usia tiga tahun aku sakit-sakitan dan seperti tidak punya harapan hidup yang panjang.
Suatu hari paman ibuku, Aria Surianagara, yang saat itu menjabat patih Sumedang, dan istrinya datang berkunjung. Bibi buyutku adalah putri bupati Garut dan berasal dari kakek buyut yang sama dengan suaminya (saderek sabray mindo). Tersentuh oleh kondisi kesehatanku yang buruk, mereka menawarkan untuk membeliku dengan harga satu real dan tujuh jenis makanan berbeda, dengan harapan hal ini akan memperbaiki kesehatanku. Orang tuaku menyetujui tawaran ini; sehingga tak lama kemudian mereka datang lagi, membeliku, dan membawaku ke rumah mereka, di mana aku dipercayakan kepada pengasuhan babu Enih dan suaminya, Bapa Sanih, yang keduanya berasal dari Singaparna.
Selama tiga tahun berikutnya aku selalu dalam kondisi kesehatan prima dan tumbuh dengan cepat, membahagiakan semua kerabatku, terutama pamanku sang Bupati, yang dijuluki Pangeran Sugih (“Si Kaya”) karena anaknya banyak. Ketika aku berusia lima tahun, aku dijodohkan dengan putri kecilnya Armunah, yang dua tahun lebih muda dariku. Saat aku berusia dua belas tahun, aku disunat bersama dua putra pamanku sang Bupati, Enden Durahman dan Enden Durahim. Perayaan besar diselenggarakan di kabupaten pada kesempatan itu, dan aku diberi nama Raden Kusumahningrat.
Sementara itu, sebuah perkembangan serius telah terjadi. Ketika aku berusia sekitar tujuh tahun, ayahku, yang saat itu menjabat sebagai wedana Cibeureum, mulai berselisih dengan Pangeran Sugih. Hal ini mengakibatkan konflik yang mendalam di antara mereka. Kebetulan, pada masa itu kaum bangsawan Priangan diperlakukan sama seperti bangsawan di Kepangeranan. setiap kali timbul perselisihan serius antaranggota keluarga, pemerintah segera mengambil tindakan untuk mencegah perkembangan yang bersifat permusuhan. Pemerintah belajar dari peristiwa-peristiwa masa lalu seperti perang Trunojoyo dan Diponegoro, yang bisa meletus karena akar permasalahannya tidak ditangani dengan cukup serius. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan aturan untuk mengembalikan ketenangan dan kedamaian dengan mengambil langkah-langkah administratif yang tepat waktu. Berdasarkan penyelidikan oleh Residen, ayahku ditugaskan untuk menetap di Probolinggo. Ia diwajibkan pindah ke sana, dan Bupati Probolinggo, R. Adipati Surianingalaga, sangat membantunya saat ia menetap di tempat tersebut. Ayahku meninggal tiga atau empat tahun kemudian dan dimakamkan di Probolinggo. Perpisahan dengan ayahku tidak terlalu membuatku sedih. Aku telah lama tinggal jauh dari rumah orang tuaku dan aku menganggap paman Surianagara serta bibi Lenggangmantri sebagai orang tuaku, karena aku telah dibawa ke rumah mereka tanpa kusadari sejak usia tiga tahun.
Tinggal Bersama Raden Saleh
Sekitar setengah tahun setelah pesta khitanan yang disebutkan di atas, Raden Saleh, sang “Pelukis Raja”, datang menginap di rumah Pangeran Sugih. Ia tinggal selama lima belas hari dan diperlakukan dengan upacara layaknya seorang bupati. Sang Pangeran menawarkan putranya sendiri, Durahim, dan diriku kepada tamunya. Kami dibawa ke Batavia dan tinggal di sana bersama Raden Saleh di rumahnya di kampung Gunungsari, di utara kota, di tepi Sungai Ciliwung. Istrinya adalah seorang wanita Eropa, bernama Nyonya Winkel Hagen, yang merupakan janda pemilik perkebunan Gemolak, dekat Semarang. Ia terkenal sangat kaya, dan ketika ia serta suaminya tinggal di Batavia, sang nyonya sangat sibuk. Ia mempekerjakan puluhan wanita dan pria di bengkel batiknya dan memiliki sebuah tempat pembuatan parfum di mana bunga kembang gambir dan melati diolah. Ia juga menjalankan toko emas, yang mempekerjakan lebih dari tiga puluh pengrajin Jawa untuk menghasilkan cincin, liontin, tusuk konde, dan berbagai perhiasan lainnya. Semua pelayannya, termasuk tukang rawat kuda, adalah orang Jawa. Jadi, aku harus berbicara bahasa Jawa sepanjang hari. Aku hanya bisa berbicara bahasa Sunda dengan Durahim.
Suatu hari Raden Saleh memberitahukan kami bahwa kami akan dikirim ke Semarang untuk bersekolah di sekolah Jawa, sebab, katanya, "Nanti kelak kalian bisa bekerja untuk pemerintah di wilayah Sunda maupun Jawa. Ibu (istri Raden Saleh) akan mengantarkan kalian ke Semarang." Saat itu pelayaran kapal uap belum ada, semua lalu lintas dilayani oleh kapal layar. Maka kami berlayar dari pelabuhan Batavia ke Semarang dengan Kapal al-Noor (“Cahaya”) bersama Nyonya Raden Saleh. Pelayaran itu memakan waktu enam hari, seperti biasa. Di Semarang, kami mendapat tempat tinggal di rumah pedagang Palembang bernama Ence Dimah, di Kampung Pekojan. Sepuluh hari kemudian, kami dikirim ke sekolah Jawa yang terletak di sisi utara Alun-alun. Nyonya Raden Saleh berkata, "Aku belum memberitahu siapa pun bahwa kalian adalah anak-anak berdarah bangsawan dari Priangan. Di sini kalian akan dianggap sebagai kerabat Raden Saleh."
Nyonya Raden Saleh tinggal di Semarang selama dua bulan. Dia memiliki banyak kerabat di sana; selain itu, dia harus mengurus urusan almarhum suaminya, terutama perkebunan Gemolak, yang diwariskan kepadanya. Kemudian dia kembali ke Batavia, dan kami berdua, anak laki-laki yang kesepian tertinggal. Kami tidak bertemu dengan orang Sunda, namun meski begitu, kami tidak bersedih. Ence Dimah merawat kami dengan baik. Setiap hari kami diberi satu wang (= 8 duit) dan lima duit untuk membeli makanan, lalu kami makan bersama para pelayan Ence Dimah. Pukul enam pagi, para wanita tua penjual nasi dan sayur tiba. Jika kami mencoba mengambil sendiri, mereka akan segera turun tangan. Karena kami mengesalkan mereka dengan perilaku kami setiap hari, mereka berusaha membujuk kami dengan kata-kata seperti: Mara mbok elinga gus rupamu bagus! Manawa ing besuk patut kowe bisa dadi mandor prahu atawa carik, nanging kudu gelem netapa! Aja kaya kowe saiki, esuk-esuk wis nyekek, esuk-esuk wis nyekek! (“Tolong, nak! Di mana sopan santunmu? Mungkin nanti kamu bisa menjadi mandor di perahu atau juru tulis, tapi kalau begitu kamu harus siap bertapa dan jangan mulai menyantap makanan begitu Subuh”).
Sudah lebih dari setahun kami tidak bertemu dengan orang Sunda, ketika berjalan di sisi utara Alun-alun, kami berpapasan dengan seorang pria dari Cianjur, R. Kartakusumah, yang kelak menjadi wedana Cikalong (Cianjur). Ia bercerita bahwa ia pernah mendampingi Kontrolir Ciputri ke Semarang untuk menjadi saksi. Tak bisa kuungkapkan betapa senangnya kami, terlebih karena sebelumnya kami sudah kenal dengannya. Untungnya kami sudah belajar bahasa Jawa saat menginap di rumah Raden Saleh di Batavia.
Di sekolah Semarang, kami diajari membaca, menulis, dan berhitung seperti di Batavia, tetapi juga menggambar dan ilmu ukur tanah. Pada tahun 1858, saat kami berada di Semarang, “sen” diperkenalkan sebagai alat pembayaran resmi, dan duit yang selama ini digunakan sebagai mata uang harus diserahkan untuk ditukar dengan mata uang baru. Kebijakan ini menimbulkan kegemparan di pasar, karena hanya sedikit orang yang mampu mengonversi duit ke sen. Di setiap persimpangan pasar ditempatkan seorang petugas yang dijaga dua serdadu, bertugas sebagai penukar uang. Ada puluhan tempat di mana penukaran semacam itu dapat dilakukan.
Setelah sekitar dua tahun mengikuti sekolah dengan sukses dan cukup mahir berbahasa Jawa, Ence Dimah menerima surat dari Raden Saleh yang isinya meminta kedua murid sekolah itu dikirim kembali ke Batavia di bawah pengawasan orang terpercaya yang dikenal baik olehnya. Tahun itu kapal uap pertama kali muncul di Nusantara. Kami dititipkan pada mualim kapal uap Oenarang, yang merupakan sahabat Ence Dimah, dan setelah berlayar dua hari dua malam, kami tiba dengan selamat di pelabuhan Batavia.
Sementara itu Raden Saleh telah pindah dari Gunungsari ke Cikini. Kami tinggal bersamanya selama dua bulan, kemudian kami dijemput oleh calon ayah mertua dari salah satu anak pamanku sang Pangeran, yang membawa dua kuda untuk perjalanan pulang. Melalui Bogor dan Megamendung, kami mencapai Bandung setelah empat hari berkuda dan disambut dengan hangat oleh bupati Bandung saat itu yang dikenal sebagai Dalem Bintang. Kami disambut dengan ramah, mungkin karena kami adalah anak-anak priayi pertama yang dikirim bersekolah sejauh itu. Pada rute dari Bandung ke Sumedang, kami ditemani kereta kuda milik bupati. Dalam perjalanan, kami menginap semalam di rumah Wedana Tanjung Sari R. Wiranagara, yang menikahi putri tertua Paman Pangeran. Ia kelak menjadi bupati Garut.
Kembali ke Sumedang dan Bekerja Pemerintahan
Belum tengah hari ketika kami tiba di Sumedang. Kami langsung menuju balai penerimaan kabupaten untuk menghadap Paman Pangeran. Rencananya untuk masa depan kami adalah Durahim akan bersekolah di pesantren, sementara aku harus tinggal di Sumedang untuk membantu patih. Setelah itu aku menghadap Paman Aria dan istrinya, Bibi Yogya, yang dinikahinya setelah Bibi Lenggangmantri meninggal, kemudian mereka membawaku ke rumah mereka.
Aku tidak yakin dengan tanggal kepulanganku ke Sumedang, tapi pastinya sekitar sebulan setelah akhir tahun 1860. Banyak tamu yang menjengukku setelah aku kembali. Lima hari setelah kedatanganku, aku mulai mengabdi pada Paman Pangeran sebagai magang, sehingga aku bekerja di rumahnya dan di kantornya, tapi aku diizinkan pulang pada sore hari.
Pada Februari 1862, Paman Pangeran memerintahkan agar aku masuk dinas pemerintahan. Aku ditugaskan sebagai asisten guru di sekolah Sumedang dengan gaji bulanan 10 gulden. Mata pelajaran yang harus kuajarkan adalah: 1. bahasa Melayu; 2. berhitung pecahan campuran –saat itu orang Sumedang hanya mengenal setengah dan seperempat; dan 3. ilmu ukur tanah.
Saat itu, orang-orang belum mengenal pengukuran dalam meter. Ukuran panjang yang digunakan adalah tumbak (3,7674 m), yang terdiri dari 12 kaki (roede Rijnland Belanda). Penduduk desa juga belum mengenal ukuran persegi bau (7096 m2). Jika bertanya pada pemilik tanah, "Berapa bau sawah yang kau miliki?" jawabannya adalah, "empat atau lima petak, hasilnya satu sampai dua caeng," jika orang itu tidak kaya, atau, “sepuluh sampai dua puluh caeng, dan sepuluh atau dua puluh petak" jika dia kaya.
Setelah bekerja sebagai guru selama sekitar setengah tahun, aku dipanggil menghadap bupati. Di sana aku bertemu asisten residen, yang memerintahkanku untuk memberi nasihat kepada semua wedana di kabupaten Sumedang yang terlibat dalam pembangunan irigasi mengenai aliran air dan tingkat permukaan air. Gajiku dinaikkan menjadi 16 gulden, dengan syarat aku harus melanjutkan tugas sebagai guru ketika tidak sedang bertugas di tempat lain.
Pada tahun 1864 aku dipanggil kembali, kali ini untuk diberi tahu tentang penunjukanku sebagai camat di wilayah kecamatan Cikadu. Maka aku pindah ke sana. Saat itu aku masih belum menikah, namun setelah 9 bulan tinggal di Cikadu, Paman Pangeran merasa saatnya tiba untuk pernikahanku dengan putrinya, Armunah, sesuai kesepakatan bertahun-tahun sebelumnya. Pernikahan itu dirayakan dengan upacara lengkap pada Maret 1865, dengan mempelai wanita mengenakan hiasan kepala pengantin (siger) dan mempelai pria memakai mahkota di kepala. Saat itu usiaku 20 tahun. Aku berada di Cikadu selama sedikit lebih dari setahun. Sekitar enam bulan setelah pernikahan kami, wedana distrik mengunjungi kami untuk memberitahukan penunjukanku sebagai kaliwon Sumedang. Pada masa itu, pegawai pemerintah di bawah pangkat wedana tidak diberikan salinan surat penunjukan mereka.
Seorang kaliwon dapat dikatakan sebagai sekretaris patih, ia bekerja di bawah patih sebagai persiapan untuk pengangkatannya sebagai wedana. Ini adalah prosedur yang biasa. Patih dibantu oleh dua sekretaris, keduanya bergelar mantri besar. Seseorang dalam kapasitas itu tidak menerima gaji, sama seperti dalam fungsi pemerintahan lainnya. Alih-alih upah, seseorang menerima bagian dari cuke, yaitu 20 caeng = 200 pikul beras per tahun, selain 4 bau sawah di Cihonje.
Tugas utama seorang patih terdiri dari tiga hal: ia mendaftarkan semua sawah yang ada di kabupaten; ia bertanggung jawab atas semua jalan dan jembatan, kecil maupun besar; dan ia mengawasi semua bangunan resmi, seperti kabupaten (kediaman Bupati), rumah asisten residen dan kontrolir, penjara, serta gudang garam dan kopi. Semua pekerjaan dilakukan dengan bantuan tenaga kerja paksa dan biayanya dibebankan pada desa-desa. Pemerintah tidak menyediakan uang untuk ini, karena penduduk tidak membayar pajak melainkan hanya cuke sebesar sepersepuluh dari hasil sawah dan ladang. Pajak dalam bentuk ini dikumpulkan di bawah pengawasan kepala desa, yang melapor kepada wedana.
Diangkat Menjadi Wedana Distrik Sumedang
Pada Juni 1869 aku diangkat sebagai wedana distrik Sumedang. Pada tahun yang sama, anak pertamaku, seorang laki-laki, lahir. Kami menamainya Pahrussuhada, ia meninggal di usia dini dua tahun. Pada tahun 1871 istriku, Nyai Raden Ratnainten (Armunah), meninggal karena serangan kolera ganas, setelah hanya sakit selama lima jam.
Tahun 1871 adalah tahun reorganisasi di Priangan. Untuk memulai ini, Tuan Van Rees, anggota Dewan Hindia, dikirim ke Sumedang sebagai komisaris pemerintah. Ia menetap di sini selama enam bulan dan ditempatkan di kabupaten. Sekretarisnya adalah Tuan Levyssohn Norman, Asisten-Residen Mr. Cornelis, dan sebelumnya kontrolir Sumedang. Mereka melakukan tur inspeksi ke barat (Bandung, Cianjur) dan ke selatan (Garut, Tasikmalaya) sebulan sekali. Atas perintah residen, aku selalu siap membantu komisaris dan menyerahkan tugasku kepada camat.
Reorganisasi mulai berlaku pada tanggal 1 Juni. Iuran hasil panen dihapuskan dan digantikan dengan pajak dalam bentuk uang. Sejak itu, semua pegawai negeri, dari tingkat tinggi hingga rendah, dibayar upah tunai. Gaji bulanan seorang juru tulis adalah fl. 15,-; mantri fl. 25,-; camat fl. 100,-; wadana fl. 200,-; dan penarik pajak fl. 200,-, ditambah persentase tertentu. Gaji tertinggi diterima oleh bupati, yang dibayar fl. 20.000,- setahun, ditambah tunjangan khusus. Tunjangan khusus ini bervariasi sesuai luas sawah di kabupaten. Bupati Sukapura dan Garut menerima fl. 10.000,-, bupati Sumedang dan Cianjur fl. 24.000,-, dan bupati Bandung fl. 100.000,- setahun. Yang terakhir ini hanya langkah sementara. Penerus mereka hanya akan diberikan gaji.
Sekitar setahun setelah kematian istriku, aku menikahi R. Ajeng Sangkaningrat, putri lain dari pamanku sang Pangeran dari istrinya, R. Ayu Rajapamerat, putri bupati Bandung yang dikenal sebagai Dalem Karanganyar. Pernikahan ini dirayakan dengan kemegahan dan upacara yang layak di hadapan banyak penonton, termasuk banyak tamu Eropa, mungkin karena mempelai perempuan adalah putri bupati pertama yang bersekolah di sekolah Eropa. Sekolah Sumedang yang dipimpin oleh Tuan Warnaar adalah yang pertama dibuka di Priangan, semua 12 muridnya adalah anak-anak bupati. Tidak ada yang dari Cianjur, di mana orang masih berpegang pada adat lama dan enggan diajar oleh guru yang bukan muslim.
Pada akhir tahun 1873 lahirlah seorang putra, Aom Ema, yang kelak disebut R. Somanagara, dan pada akhir tahun 1875 seorang putri, Agan Lili, yang kelak disebut R. Ajeng Tejapamerat. Pada tahun 1878 lahir putra lainnya, Aom Alibasah, yang kelak disebut R. Suriadiharja. Ketika anak laki-laki ini berusia satu setengah tahun, pamanku sang Bupati datang ke Tegalkalong, tempat kami tinggal, dan membawanya serta ke Sumedang, karena beliau ingin merawat cucunya sendiri dengan sepenuh hati. Paman meninggal dunia pada September 1882.
Pada tahun 1873, pemerintah mengambil langkah-langkah untuk memajukan budidaya kopi. Salah satunya dengan mengizinkan penanaman pohon kopi di tanah milik sendiri. Sekitar empat tahun kemudian, Residen Van der Moor dan Tuan Fleisch, Inspektur Budidaya Kopi, datang ke Desa Sukatali dalam rangka inspeksi tepat ketika buah kopi mulai memerah. Saat keberangkatan, residen menjabat tanganku dan memujiku atas kerja bagus yang kulakukan. Sebulan setelah kunjungan ini, sejumlah wedana dan camat datang menemuiku atas perintah pemerintah untuk mempelajari cara bercocok tanam kopi di desa-desa. Tiga bulan kemudian aku dianugerahi bintang perak. Penghargaan ini menjadi buah bibir umum, karena pertama kalinya kehormatan ini diberikan pada seorang wedana. Aku membaginya dengan wedana Panembong (Garut), yang kelak menjadi patih Sukabumi.
Menghadapi Wabah Sampar Sapi dan Malaria
Pada tahun 1879, Jawa Barat dilanda wabah sampar sapi dan malaria epidemis yang parah. Wabah ternak bermula dari Ujung Kulon dan menyebar ke timur melintasi hampir seluruh Jawa Barat. Gejalanya adalah pembengkakan leher dan kehilangan nafsu makan total, diikuti kematian dalam tiga hari. Banyak dokter hewan dikirim dari Eropa, tetapi mereka tak berdaya melawan penyakit menular ini yang tampaknya tidak ada obatnya. Ketika wabah telah menjalar hingga Priangan Barat, di dekat Kandangwesi, langkah-langkah besar diambil. Diputuskan untuk membangun tembok pemisah dari selatan ke utara untuk membagi Jawa menjadi dua. Dua pagar sejajar akan mengisolasi Jawa Barat dari pulau lainnya seperti kordon saniter, dengan tidak diperbolehkannya ternak dari Jawa Barat masuk ke ruang antaranya. Satu pagar membentang dari muara Cikandang, di distrik Kandangwesi, di pesisir selatan, ke arah timur laut via Rajamandala, Sirap dan Wanayasa hingga muara Cimanuk, barat Dermayu, sejauh 180 paal (= 270 km). Yang lainnya membentang 3 paal di sebelah timurnya, ujung utaranya mengitari Dermayu. Pagar-pagar ini terbuat dari tiang bambu sepanjang 5 m. Di tempat jalur kereta atau jalan kecil melintasi pagar, dibangun gerbang. Gerbang-gerbang ini masing-masing dijaga dua serdadu. Jalur kecil langsung ditutup. Siapa pun yang ingin melewati gerbang harus didisinfeksi terlebih dahulu Larutan karbol yang digunakan untuk keperluan itu disebut kobokan, “air cucian piring”. Dua batalion serdadu ditugaskan untuk memberikan bantuan, di bawah komando seorang kolonel, dua letnan kolonel, dan puluhan kapten serta letnan, dan demikian pula lima orang sipil ditugaskan mengendalikan penyakit (controleur veepest). Bagi militer, harus didirikan penginapan sementara yang menampung 50 orang masing-masing. Semua operasi ini, yang dilakukan dengan susah payah, membutuhkan pengeluaran tidak kurang dari fl. 500.000,-.
Di setiap distrik, seorang camat ditugaskan untuk mengawasi pelaksanaan langkah-langkah yang direncanakan –total lebih dari lima puluh orang, dibantu oleh yang disebut kumitir veepest (komite wabah ternak). Mereka direkrut dari kalangan magang dan juru tulis desa, semuanya menerima imbalan kecil. Mereka harus memastikan bahwa setiap hewan yang terjangkit penyakit segera dimusnahkan, dipotong-potong, dan dikubur dalam-dalam. Dilarang keras memakan dagingnya. Pemiliknya diberi ganti rugi sebesar 25 gulden.
Pada tahun 1880, Sumedang kembali dilanda musibah berat, yaitu wabah malaria yang merajalela di Distrik Cimalaka dan Conggeang, dan lebih khusus lagi di Kecamatan Tanjungkerta. Akibat tingginya angka kematian dan migrasi yang mengkhawatirkan, populasi berkurang hingga 70 persen. Di Sumedang, bantuan medis disediakan oleh sepuluh dokter yang setiap pagi membagikan pil kina di kantor camat dan memastikan obat tersebut diminum. Pada tahun 1881, wabah itu pun mereda.
Terpilih Menjadi Bupati Bandung
Pada tahun yang sama, aku dipromosikan menjadi patih Sumedang. Seperti telah disebutkan sebelumnya, pamanku sang Bupati meninggal dunia pada tahun 1882. Karena tidak satu pun dari anak-anaknya berada di kota saat ia wafat, aku harus mengurus segalanya. Kabar duka itu segera tersebar ke seluruh kota. Asisten residen datang menyampaikan belasungkawa dan menempatkan prajurit-prajuritnya di sekitar kabupaten, sebab sejak pagi buta banyak orang dari Tomo dan Darmaraja telah berdatangan ke kota karena beduk ditabuh sepanjang malam. Ribuan dari mereka mengiringi keranda menuju pemakaman Gunung Puyuh.
Aku ditugaskan sementara untuk memimpin kabupaten. Empat bulan kemudian, Patih Mangunreja R. Rangga Suriaatmaja ditunjuk sebagai pengganti pamanku dan pada Mei 1883 aku dipindahkan ke Mangunreja. Aku sebenarnya sudah pindah ke pos baruku pada April sebelumnya. Putri kecil kami, Agan Resmi, yang lahir pada Juni 1882, sedang sakit parah. Kami khawatir ia tidak akan bertahan menghadapi kesulitan perjalanan, namun semuanya berjalan lancar. Di Mangunreja, kami disambut dengan upacara resmi, dihadiri oleh semua pegawai negeri dari delapan distrik beserta para istri mereka. Keesokan harinya, Panghulu Mangunreja R. H. Hasan Ma’arup, didampingi istrinya, datang menjenguk kami. Mereka berkata, "Kami datang untuk memohon izin membawa bayi Anda yang sakit ke rumah kami, memenuhi semua kebutuhannya, dan mengganti namanya menjadi Agan Atiyah." Kami menyetujui usulan ini. Panghulu ini masih memiliki hubungan keluarga dengan bupati-bupati Sukapura. Ia adalah seorang yang sangat berilmu dan disukai banyak orang.
Pada tahun 1883 dan 1884 dua anak laki-laki lainnya lahir: Muhamad Ishak, yang kelak disebut Aom Ace Martahadisura, dan Aom Onong, yang kemudian disebut R. Martahadiprawira. Ketika aku telah menjabat sekitar setahun, pemerintah menganugerahkan gelar Demang kepadaku. Hal ini menimbulkan banyak keheranan, karena aku baru saja menjabat di Mangunreja. Namun sebenarnya gelar ini diberikan sebagai pengakuan atas jasaku saat wabah penyakit ternak melanda. Selanjutnya, pada tahun 1891, gelar Aria dianugerahkan kepadaku, di hadapan semua pegawai negeri dan kepala desa Mangunreja.
Pada Maret 1893 Asisten Residen Van Ravenswaai menyuruhku melamar posisi bupati Bandung yang lowong akibat wafatnya R. Adipati Kusumahdilaga. Tapi dia menekankan agar aku merahasiakannya. Pada 29 Juni 1893, Asisten Residen Platen datang menemuiku di rumah untuk memberi selamat atas promosiku sebagai bupati Bandung yang telah diinformasikan residen padanya melalui kawat. Aku diminta menghadap Residen Tuan Harders esok hari. Aku tiba di Bandung sore hari tanggal 30 Juni. Tuan Harders menyambutku dengan hangat dan memberi selamat. Kami berbincang lama. Pelantikanku ditetapkan pada 15 Juli dan akan dilaksanakan di kabupaten.
Aku berangkat ke Bandung dengan dikawal wedana dan camat Mangunreja pada 10 Juli. Kemudian aku dilantik dalam jabatan baruku di hadapan dua patih, dua belas wedana, semua camat, juru tulis dan kepala desa sekabupaten, serta banyak tamu Eropa, pada Selasa 15 Juli.
Menghadapi Upaya Pembunuhan
Tak lama setelah aku memulai tugas sebagai bupati, terjadi peristiwa serius, yaitu terungkapnya rencana kejahatan yang akibatnya bisa sangat buruk jika berhasil. Pada tanggal 16 dan 17 Juli kami kedatangan banyak tamu, sanak saudaraku yang datang memberi selamat. Tiba-tiba, pukul sembilan malam tanggal 17 Juli, seorang pelayan dari residen datang membawa pesan bahwa aku diharapkan datang ke residen tanpa penundaan. Aku cukup terkejut karena sudah larut malam. Singkatnya, aku pergi ke residen. Sang Residen sendiri menyambutku di tangga dan berkata, "Mari kita masuk." Kami memasuki ruang penerimaan, di mana dua orang sudah hadir, seorang Eropa kelas bawah bernama Van Woesiek, dan seseorang bernama Iksan yang tidak kukenal. Residen bertanya apakah aku mengenal orang-orang ini, jawabanku bahwa aku mengenal Tuan Van Woesiek tapi tidak dengan orang lainnya.
Menghadap Tuan Van Woesiek, sang Residen kemudian berkata, "Ayo, Tuan Van Woesiek, biar kami mendengar ceritamu, tetapi tolong sampaikan dalam bahasa Sunda, agar Iksan juga bisa memahamimu." Kemudian Tuan Van Woesiek memberitahuku bahwa ada rencana untuk mencoba membunuh sang Residen dengan menggunakan dinamit. Pada Sabtu sore berikutnya, sejumlah dinamit akan disembunyikan di kereta kuda sang Residen, sehingga ketika kereta itu digerakkan, dinamit akan meledak dan kereta hancur, serta semua orang di dalamnya akan tewas.
Aku diperintahkan untuk mengadakan penggeledahan di rumah semua orang yang dicurigai sesuai informasi yang diberikan oleh Iksan. Pada pagi hari berikutnya, enam rumah digeledah. Dinamit ditemukan di bawah rumah R. Nata Anbia, kerabat dari bupati yang telah meninggal, tetapi penyelidikan polisi lebih lanjut mengungkapkan bahwa dia tidak bersalah atas keberadaan dinamit itu.
Penyelidikan mengenai masalah ini berlanjut selama empat bulan. Semua kerja sama diberikan oleh bupati Cianjur, Garut, dan Sumedang, yang menempatkan mata-mata polisi mereka di bawah kendaliku. Bupati Sumedang bahkan datang ke Bandung setiap Sabtu malam. Penyidikan yang berlarut-larut mengungkapkan bahwa para konspirator bermaksud membunuh tidak hanya sang Residen, tetapi juga asisten residen, kontrolir, dan diriku. Sepuluh orang, di antaranya empat priayi, terlibat dalam rencana itu, namun, perkara ini tidak dibawa ke pengadilan. Alasan yang mereka berikan untuk konspirasi mereka adalah ketidakpuasan mereka yang mendalam atas pengangkatan seorang bupati yang bukan berasal dari keturunan bupati Bandung. Jadi, masalah ini diselesaikan dengan tindakan politik berupa pembuangan mereka dari Jawa selama dua puluh tahun. Tiga dari orang yang dibuang tersebut dikabarkan kembali ke Bandung setelah masa hukumannya berakhir, yang lainnya meninggal di tempat tinggal yang ditentukan sebelum masa pengasingannya berakhir. Setelah pengusiran para pelaku, orang-orang merasa sangat lega bahwa kejahatan yang mengerikan itu telah dicegah.
Memulai Bekerja untuk Bandung
Setelah aku memasuki jabatan, aku bertanya kepada sang Residen, tamu Eropa mana di upacara sumpahku yang harus pertama kali kukunjungi balik untuk berkenalan. Dia menasihatiku untuk menanyakan kepada wedana dan camat kota tentang jumlah keluarga Eropa yang tinggal di kota. Ternyata ada 143 keluarga. Pensiunan tentara dan angkatan laut serta mantan pegawai kantor banyak di antara penduduk Eropa pada waktu itu. Sekitar lima puluh keluarga adalah kelas bawah dan tinggal di rumah bambu tanpa atap genteng. Aku berkenalan dengan semua mereka sebaik mungkin. Setelah dapat diakses dengan kereta api dan menjadi tempat Departemen Perang serta bengkel perbaikan kereta api, Bandung tergolong sebagai kota besar. Dua bisnis besar berada di sana: Toko De Vries dan Toko Liem.
Hal pertama yang memerlukan perhatianku adalah pembuatan genteng atap. Hanya seperempat rumah yang memiliki atap genteng, sementara atap jerami masih mendominasi. Selain itu, aku mendorong penanaman singkong, karena tepung tapioka sangat laris di pasar dunia. Saat itu hanya ada satu pabrik tapioka yang terletak di Dago. Pabrik itu milik orang Tionghoa dan dilaporkan memasok 200 pikul tapioka per tahun ke Batavia. Aku juga berupaya memajukan pembangunan irigasi untuk memperluas lahan sawah yang sering kali menguntungkan kabupaten-kabupaten tetangga. Ini terjadi sebelum perencanaan proyek irigasi besar Cihea, yang diwujudkan dengan biaya satu juta gulden.
Aku juga memberi perhatian pada pembangunan jembatan. Dalam perjalanan inspeksiku keliling kabupaten, aku harus menyeberangi Citarum, sungai terbesar di wilayah ini, di berbagai titik. Namun tidak ada jembatan sama sekali dan orang harus diseberangkan dengan perahu penyeberangan. Hal ini sangat merepotkan, karena itu aku meminta izin untuk membangun beberapa jembatan bambu sederhana yang bisa dikerjakan oleh penduduk desa sendiri. Maka dalam waktu singkat, Citarum telah memiliki jembatan di lima tempat: di jalan dari Cicalengka ke Majalaya; dari Ujungbrung ke Ciparay; dari Dayeuhkolot ke Banjaran; dari Cimahi ke Kopo; dan yang tak kalah penting, dari Rajamandala ke Cihea yang dilalui semua lalu lintas dari dan menuju Batavia serta Bogor. Setiap kali sebuah jembatan selesai, para pegawai sipil Eropa memeriksanya dalam tur inspeksi mereka. Semua wedana terkait mendapat pengakuan tertulis, begitu pun diriku, yang dianggap telah mempelajari teknik di Belanda. Dua tahun kemudian, kelima jembatan bambu ini diganti dengan jembatan besi, untuk kenyamanan semua orang.
Selama masa jabatanku, wilayah dan kota Bandung mengalami kemajuan pesat. Beberapa bangunan didirikan, kamp militer dibangun di Cimahi dan Cikudapateuh, serta industri pesawat terbang didirikan di Sindanglaya. Atas permintaan Asisten Residen Van Zuijlen, pada tahun 1912 aku melakukan penyelidikan tentang volume tapioka yang dikirim via kereta api dari semua stasiun dan perhentian di jalur kereta menuju Batavia. Tercatat dari laporan kepala stasiun di Nagreg, Cicalengka, Rancaekek, Gedebage, Bandung, Cimahi, dan Cipatat bahwa 310.000 pikul tapioka dikirim setiap tahun untuk diekspor ke Eropa, dibandingkan dengan hanya 200 pikul sebelumnya. Karena harga tapioka mencapai 16 gulden per pikul, total pendapatannya mencapai 4.960.000 gulden. Maka tidak mengherankan jika wilayah Bandung, baik kota maupun pedalamannya, berkembang pesat dan tingkat kemakmurannya meningkat setiap tahun. Luas sawah yang dibudidayakan juga terus bertambah. Pada tahun 1896 luasnya mencapai 800.000 bau, sedangkan pada tahun 1912 menjadi 1.100.000 bau [Angka ini perlu ditinjau ulang, karena luas Cekungan Bandung saja hanya 350.000 hektar, sementara 800.000-1.100.000 bau setara 560.000- 770.000 hektar. -penerjemah].
Mendapat Gelar dan Hak Istimewa
Pada tahun 1897 R. Ayu Sangkanningrat kembali melahirkan seorang putra, Aom Singgih. Namun beliau wafat satu bulan setelah kelahiran dan dimakamkan di pemakaman Karanganyar. Sekitar setahun setelah kepergiannya, aku menikahi Nyai Raden Rajaningrat, putri dari Pangeran Sugih dan Nyai Raden Muliakusumah asal Sumedang, yang berusia empat tahun ketika ayahnya meninggal dan dibesarkan oleh Pangeran Suriaatmaja (Pangeran Sindangtaman). Ayah dan ibunya sama-sama merupakan keturunan Bupati Dalem Istri dari abad ke-18. Beliau memberiku tiga anak: seorang putra, Aom Mahar, lahir pada Februari 1899; seorang putri, Agan Juaeni, lahir pada Juni 1907, dan seorang putra lagi, Aom Kanas, lahir pada September 1912.
Pada Agustus 1900 aku dianugerahi bintang emas, dan pada tahun 1903 gelar Aria dikukuhkan untukku untuk kedua kalinya. Gelar ini sebenarnya telah diberikan padaku pada tahun 1891, saat aku menjabat sebagai patih Mangunreja, tetapi pencantuman gelar tersebut tidak tercantum dalam surat keputusan pengangkatanku di Bandung. Lebih lanjut, pada tahun 1906 gelar Adipati dianugerahkan kepadaku, dan akhirnya, pada tahun 1909, aku diberi hak istimewa untuk menggunakan payung emas.
Pada tahun 1901 Raja Siam beserta putra mahkotanya menetap di Bandung selama dua bulan demi pemulihan kesehatan sang pangeran. Mereka beserta rombongan yang terdiri dari seorang jenderal, laksamana, dan beberapa pejabat, menginap di hotel Homan. Sementara, sisa anggota rombongan kerajaan tetap berada di Batavia. Gubernur Jenderal menempatkan seorang ajudan untuk melayani Yang Mulia, serta seorang penerjemah bahasa Melayu dan Belanda yaitu Tuan Valette karena para bangsawan Siam hanya berbicara bahasa Siam dan Inggris. Selama tinggal di Bandung, mereka berpakaian bergaya Eropa. Sepulangnya ke Siam, sang Raja menganugerahi aku tanda kehormatan Officer of the Order of the Crown of Siam, yang atas izin dekrit Yang Mulia Ratu Belanda, aku diizinkan mengenakan lencananya.
Memutuskan Pensiun
Pada tahun 1918, ketika aku telah bertugas di Bandung selama 25 tahun empat bulan, dan masa bakalku yang dimulai sejak 1862 telah mencapai 56 tahun, aku memutuskan untuk pensiun. Usiaku 74 tahun dan kurasakan tenagaku mulai berkurang. Melalui keputusan nomor 1 tanggal 14 Oktober 1918, aku diberikan pensiun bulanan sebesar fl. 400.—, ditambah tunjangan tambahan sebesar fl. 160.—. Aku mengatur urusanku dan menjual perabotan serta barang-barang rumah tanggaku yang lain, karena aku ingin kembali ke Sumedang tempat asalku. Karena tidak memiliki rumah di sana, aku menetap sementara di bagian selatan kabupaten. Bupati Sumedang, Pangeran Suriaatmaja, yang juga baru saja pensiun, telah pindah lebih dulu ke Sukaraja sebelum menetap di Sindangtaman. Patih, R. Rangga Suriaaditanaya, menjabat sebagai Pelaksana Tugas Bupati.
Sebulan setelah kedatanganku di Sumedang, R. Kusumahdilaga, wedana Palumbon (Cirebon), diangkat sebagai Bupati Sumedang. Ia adalah putra satu-satunya Pangeran Sugih dari R. Ayu Mustikaningrat yang kini tinggal di Ciamis. Beberapa bulan kemudian aku menemukan tempat tinggal lain, yaitu sebuah rumah bata milik R. Demang Suriaamijaya, mantan patih Sumedang. Rumah ini pernah ditempati oleh seorang Belanda, tetapi saat itu dalam keadaan kosong. Pemiliknya tidak bersedia menyewakannya kepadaku, namun dengan senang hati mengizinkanku memakainya. Aku tinggal di sana selama sepuluh bulan, hingga rumah yang kubangun selesai. Rumah ini, terletak di Burujul, di bagian barat kota, dibangun di atas sebidang tanah yang sebelumnya merupakan sawah. Sawah ini, yang terletak di tepi jalan, dulunya adalah milik naib Cibeureum. Awalnya ia menolak untuk menjualnya, tetapi ketika aku bersikeras, ia akhirnya menyerah dan menjual kepadaku dua bao dengan harga fl. 2500.— per bao, harga tertinggi yang pernah dibayar untuk sawah di Sumedang. Semua bahan bangunan harus dipesan dari Bandung; karena itu biaya pembangunannya melebihi biaya di Bandung sebesar 30 persen.
*
Di sinilah riwayat hidup ini berakhir, namun penulisnya, yang tenggelam dalam kenangan lebih lanjut, tidak berhenti menulis atau mungkin bercerita. Pertama-tama, ia menasihati anak-cucunya untuk memperhatikan baik-baik Babad ini guna meningkatkan pengetahuan mereka tentang Sumedang di masa lampau dan untuk memohon berkah Tuhan. Yang kedua, penulis menceritakan tentang kejadian yang terjadi sebelum era penulis, yaitu tragedi pembunuhan Asisten Residen Nagel yang terjadi sekitar tahun 1845.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB