PAYUNG HITAM #66: Membaca Pekerja Seks dalam Bayang Kapitalisme dan Hipokrisi Moral
Kapitalisme dan patriarki membentuk simbiosis yang keji bagaimana yang satu menciptakan kemiskinan, yang lain menjustifikasi ketidakadilan.

Chan
Buruh Pariwisata
23 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Beberapa waktu lalu, saya sempat diajak seorang kawan menemani tamunya ke salah satu penginapan di Bandung. Setelah sampai di sana, saya melihat beberapa perempuan yang sedang menawarkan jasa tetapi bukan cinta, melainkan harga. Saya berdiri agak jauh, mencoba memisahkan rasa iba dari rasa ingin tahu. Tapi di hadapan mereka, semua teori runtuh. Saya melihat bagaimana kemiskinan memaksa mereka bernegosiasi dengan tubuhnya sendiri.
Mereka tidak lahir untuk menjual diri melainkan sistemlah yang memaksa mereka berdagang dengan satu-satunya hal yang masih mereka miliki yaitu tubuhnya sendiri.
Salah satunya adalah Mawar (nama samaran), 26 tahun, asal Garut, ia pernah bekerja di salah satu perusahaan di daerah Bandung. Namun kehilangan pekerjaan saat pandemi, tanpa pesangon dan tanpa jaminan sosial.
"Aku sebenernya enggak pengen begini. Tapi lapar enggak bisa dikalahin sama moral," katanya pelan sambil menyalakan rokok yang sudah setengah patah. Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari propaganda mana pun yang pernah saya dengar. Dalam tatapannya saya membaca sebuah pengakuan tanpa air mata, bahwa di dunia ini, moral hanya berlaku bagi mereka yang kenyang.
Cerita seperti Mawar bukan kasus tunggal, melainkan cermin dari kegagalan struktural.
Ketika negara tidak mampu menjamin pekerjaan yang layak, kapitalisme menawarkannya bentuk kerja paling brutal yaitu memperdagangkan tubuh manusia.
Baca Juga: PAYUNG HITAM #63: Kekacauan yang Kita Warisi
PAYUNG HITAM #64: September Hitam, Luka yang Tak Pernah Dikubur
PAYUNG HITAM #65: Melawan Represi, Menjaga Api
Industri yang Dihidupi Kemiskinan
Industri seks di Indonesia adalah kenyataan ekonomi yang besar tapi tersembunyi.
Berdasarkan perkiraan "International Labour Organization" (ILO) dan sejumlah riset sosial, nilai transaksi seks komersial di Indonesia mencapai antara 1,2-3,3 Miliar dolar AS per tahun, setara 0,8-2,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Di Jakarta saja, nilainya diperkirakan mencapai 91 juta dolar AS setiap tahun.
Angka ini menunjukkan bahwa industri seks bukan sekadar "penyimpangan moral". tetapi bagian dari sistem ekonomi yang menopang ribuan orang di tengah ketiadaan pekerjaan formal.
Kapitalisme menciptakan kemiskinan, lalu menjual jalan keluar semu melalui industri tubuh.
Negara menutup lokalisasi demi menjaga moral publik, tapi gagal menyediakan alternatif ekonomi yang aman. Akibatnya, pekerja seks justru semakin rentan, berpindah ke ruang digital yang tak terlindungi hukum, atau ke jalanan yang lebih berbahaya.
Moralisme negara memaksa mereka bersembunyi, sementara ekonomi mendorong mereka untuk terus bertahan.
Simone de Beauvoir pernah menulis, "One is not born, but rather becomes, a woman."
Dalam struktur sosial kita, menjadi perempuan sering berarti menjadi pihak yang diatur, diawasi, dan dijinakkan. Baik oleh budaya, agama, maupun ekonomi.
Patriarki bekerja sama dengan kapitalisme untuk menciptakan pasar atas tubuh perempuan.
Dalam industri seks, perempuan dijual bukan karena hasrat, tapi karena kebutuhan. Dan ironisnya, konsumen, mucikari, hingga pejabat yang turut menikmati hasilnya justru luput dari sorotan.
Yang dihukum selalu perempuan.
Bell Hooks menulis, "Patriarchy has no gender."
Artinya, siapa pun baik laki-laki, perempuan, bahkan institusi negara yang bisa menjadi penjaga sistem yang menindas perempuan ketika mereka menormalisasi kekerasan struktural.
Kita melihat ini setiap hari, bahwa moralitas dijadikan senjata untuk menertibkan, bukan melindungi.
Fenomena ini bukan hanya milik Indonesia.
Sheila Jeffreys, dalam bukunya yang berjudul The Industrial Vagina (2009), menunjukkan bagaimana industri seks telah menjadi bagian dari kapitalisme global. Ia menulis bahwa perdagangan tubuh kini terhubung dengan rantai pasokan internasional, baik dari pornografi digital, agensi pengawalan (escort agency), wisata seks, hingga pabrik mainan seks di China yang memproduksi sekitar 70 persen sex toys dunia.
Tubuh, dalam logika kapitalisme, bukan lagi sekadar tubuh, melainkan komoditas. Dapat diproduksi, dipasarkan, bahkan diberi nilai tambah melalui "standar kecantikan" yang ditentukan industri. Bahkan di Indonesia, pekerja seks yang berpendidikan atau berpenampilan sesuai norma industri bisa mendapatkan tarif lebih tinggi. Hierarki kelas yang diciptakan kapitalisme ini memperparah keterasingan dan persaingan di antara mereka sendiri.
Menutup Luka, Bukan Menutup Mata
Kekerasan terhadap pekerja seks sering datang dengan seragam dan ayat.
Razia malam, penggerebekan hotel, hingga pasal-pasal dalam UU Pornografi, itu semua dilakukan atas nama moral. Padahal yang paling sering menjadi korban bukanlah moralitas, melainkan manusia.
Moralitas publik sering kali beroperasi sebagai sistem pengalihan. Ia mengalihkan perhatian dari akar persoalan yaitu kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan ekonomi, salah satunya ke tubuh perempuan sebagai kambing hitam. Sementara itu, para pemilik hotel, agensi daring, dan jaringan bisnis yang mengambil keuntungan dari industri ini tetap aman, bahkan sering menjadi bagian dari struktur sosial yang dihormati.
Moral publik di Indonesia telah menjadi mata uang politik dan ekonomi. Ia digunakan untuk menekan yang lemah dan melegitimasi yang kuat. Dalam masyarakat seperti ini, dosa menjadi alat kontrol, bukan refleksi etika.
Kapitalisme dan patriarki membentuk simbiosis yang keji bagaimana yang satu menciptakan kemiskinan, yang lain menjustifikasi ketidakadilan. Tubuh menjadi ladang bisnis, sementara moral menjadi pajangan.
Menurut pendapat saya perubahan sejati tidak bisa datang dari razia atau moralitas selektif. Yang dibutuhkan adalah sistem yang mengakui keberadaan pekerja seks sebagai manusia dengan hak yang sama atas keamanan, kesehatan, dan martabat. Pendidikan gratis, pekerjaan layak, layanan kesehatan non-diskriminatif, dan perlindungan hukum adalah fondasi pertama dari keadilan sejati.
Kita tidak akan bisa menghapus prostitusi dengan menindas korbannya. Yang harus dihancurkan adalah akar ketimpangan yang melahirkannya.
Malam semakin larut. Wajah Mawar terlihat seperti bayangan yang menolak padam.
Kemudian lahir satu kalimat yang bergema di kepala: "Mereka yang terbakar di dalam, hanyalah mereka yang bisa membakar dunia."
Di mata mawar, saya melihat nyala kecil itu sebagai api yang tidak lahir dari kebencian, tapi dari keberanian untuk hidup di dunia yang menindas mereka.
Mungkin, di situlah letak moral yang sesungguhnya datang, bukan pada mereka yang berteriak dari mimbar, melainkan pada mereka yang terus bertahan di bawahnya.
*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak dan Aksi Kamisan Bandung