• Kolom
  • PAYUNG HITAM #63: Kekacauan yang Kita Warisi

PAYUNG HITAM #63: Kekacauan yang Kita Warisi

Kita seakan hidup dalam lingkaran yang sama: luka lama tak pernah disembuhkan, sementara luka baru terus diciptakan.

Chan

Buruh Pariwisata

Poster Affan Kurniawan di sekitar DPRD Provinsi Jawa Barat di Bandung, 30 Agustus 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

5 September 2025


BandungBergerak.id – Di penghujung Agustus 2025 meninggalkan jejak yang sulit dilupakan. jalanan di Bandung, Jakarta, dan beberapa kota lain dipenuhi amarah massa. Fasilitas umum dirusak, kantor polisi dan DPR dibakar, rumah beberapa anggota DPR di jarah dan bentrokan dengan aparat tak terelakkan. Di tengah hiruk-pikuk itu, 10 orang dikabarkan meninggal dunia selama aksi di beberapa kota.

Sebagai masyarakat yang mengikuti berita ini, saya bertanya dalam hati: mengapa kita begitu cepat menuding rakyat yang dituduh kelompok anarko sebagai biang kekacauan, tetapi begitu lambat menyoroti kekerasan yang dilakukan negara? Mengapa kita lebih terguncang melihat kaca pecah dibanding nyawa yang melayang?.

Dalam setiap kerusuhan pada aksi, aparat dan pejabat kerap kali mempunyai jawaban yang siap pakai bahwa aksi itu disusupi oleh kelompok anarko ataupun kelompok yang ditunggangi asing. Sebuah narasi lama yang terus diulang, seolah untuk menghapus kenyataan bahwa kekerasan negara selalu mendahului.

Saya tahu, reaksi publik tak pernah tunggal. Ada yang marah, ada yang bersimpati, dan ada pula yang gelisah karena merasa kerusuhan itu tak perlu. Sering kali terdengar kalimat seperti, "Kenapa harus merusak fasilitas umum?" Dan di titik itulah saya merasa ada sesuatu yang timpang dalam cara kita menilai kekerasan. Kita menolak kerusuhan rakyat, tetapi begitu sering membiarkan kekerasan negara dalam bentuk kebijakan yang merugikan.

Dalam hal itu pula saya teringat pada salah satu tulisan dalam buku Scritti Postumi pada bagian yang berjudul "Seni Bebas dari Jiwa yang Bebas" yang di tulis oleh Bruno Filippi, "Kalian terus mengeluhkan perang, padahal sesungguhnya kalian sendiri yang menciptakannya dan ia tetap berlangsung karena kalian membiarkannya." Menurut saya, tulisan itu juga menggambarkan bagaimana kondisi kita saat ini.

Perang yang dimaksud Filippi menurut persepsi saya bisa dimaknai sebagai segala bentuk penindasan struktural: ekonomi yang timpang, regulasi yang menjerat, hingga represi aparat. Ketika rakyat melawan dalam bentuk yang keras, itu bukanlah awal dari kekacauan, melainkan cerminan dari kekacauan yang sudah lebih dulu diproduksi negara.

Saya tidak menutup mata. Kerusuhan membawa kerugian: ketakutan warga, kerusakan fasilitas, hingga lumpuhnya aktivitas sehari-hari. Tetapi kita juga harus jujur bahwa aksi damai sering kali diabaikan. Lihat saja Aksi Kamisan yang lebih dari ratusan kali digelar, tetap sunyi dari perhatian negara dan bagaimana seruan aksi santun ala presiden partai buruh Said Iqbal yang mungkin akan berakhir dengan janji kosong. Ironisnya, baru ketika kaca pecah dan gedung terbakar, barulah negara menoleh.

Saya juga teringat pada sebuah pesan sederhana dari salah satu kawan: "Tiga hari pertama itu mengesankan. Tapi semua yang baik pasti akan berakhir. Terlalu singkat memang. Terima kasih atas apinya." Ada pengakuan di sana bahwa perlawanan tidak selalu bisa berlangsung terus-menerus. Ada jeda, ada rasa lelah, ada ancaman yang semakin sulit dibedakan, bahkan dari mereka yang mengaku berada di pihak rakyat.

Baca Juga: PAYUNG HITAM #60: Bojongsoang, Kapitalisasi Properti, dan Mang Aen
PAYUNG HITAM #61: Menuntut Kejahatan Negara, Bergabung Dalam Barisan Menolak Lupa!
PAYUNG HITAM #62: Ketika Hukum Digunakan untuk Menundukkan, Bukan Melindungi

Sejarah Kelam

Dalam pendapat pribadi saya, yang jauh lebih berbahaya daripada kerusuhan rakyat adalah ketenangan palsu yang kita pelihara bersama. Ketenangan yang membuat kita terbiasa melihat harga naik, pekerjaan sulit, ruang hidup dirampas, tanpa pernah merasa terganggu. Ketenangan yang menormalisasi aparat menindas rakyat, bahkan sampai menghilangkan nyawa, tanpa ada pertanggungjawaban yang serius.

Dan sekarang, kita memasuki bulan September, bulan yang dalam sejarah Indonesia selalu membawa bayang-bayang kelam. September 1965-1966 yang menjadi titik awal pembantaian massal terhadap ratusan ribu orang yang dituduh komunis, sebuah tragedi kemanusiaan yang tak pernah mendapat keadilan. Tanggal 12 September 1984 di Tanjung Priok, insiden yang diawali oleh ketegangan sosial akibat kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan kelompok tertentu serta tindakan represif aparat terhadap kritik yang disampaikan masyarakat. Dalam peristiwa itu, terjadi aksi penembakan yang menewaskan puluhan orang dan menyebabkan banyak lainnya luka-luka. Dan hingga hari ini keluarga korban masih menuntut keadilan.

Tahun 1998, Trisakti dan Semanggi, mahasiswa ditembak di jalanan, darah mereka menjadi penanda bahwa perubahan politik kita dibayar mahal. Semua peristiwa ini terekam dalam ingatan publik sebagai bagian dari "September hitam" yang berlapis-lapis.

Bulan ini seharusnya menjadi pengingat bahwa pelanggaran HAM bukan sekadar masa lalu. Apa yang terjadi di akhir Agustus menunjukkan bahwa pola represi masih terus berulang: aparat yang bertindak brutal, rakyat yang menjadi korban, dan narasi resmi yang berusaha membalikkan fakta. Kita seakan hidup dalam lingkaran yang sama: luka lama tak pernah disembuhkan, sementara luka baru terus diciptakan.

Kekacauan rakyat, sejauh apa pun bentuknya, hanyalah letupan dari api yang lebih besar, ada rasa frustrasi karena suara mereka tak didengar. Maka, ketika sebagian masyarakat yang sibuk mengutuk perusakan fasilitas publik, saya ingin bertanya balik kepada mereka, bukankah lebih penting kita mengutuk sistem yang merampas kehidupan rakyat setiap hari?

Nyawa manusia selalu lebih berharga daripada beton, kaca, atau baja. Jika hari-hari terakhir Agustus memberi pelajaran, maka pelajaran itu jelas bahwa kekacauan yang kita saksikan di jalanan bukanlah ciptaan rakyat semata, melainkan warisan dari negara yang gagal menjaga keadilan. Dan memasuki September hitam, kita kembali diingatkan lagi bahwa tanpa keberanian untuk mengungkap, menuntut, dan melawan, sejarah kelam ini hanya akan terus berulang dengan wajah yang berbeda.

PANJANG UMUR PERLAWANAN

 

*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak dan Aksi Kamisan Bandung

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//