PAYUNG HITAM #60: Bojongsoang, Kapitalisasi Properti, dan Mang Aen
Bojongsoang, Bandung Selatan, menjadi contoh konkret kegagalan reforma agraria dan ketimpangan struktural akibat ekspansi kapitalisme properti.

Ressy Rizki Utari
Penantang status quo
13 Juni 2025
BandungBergerak.id – Seperti biasa, Jalan Raya Bojongsoang macet dan padat Kamis, 29 Mei 2025 pagi. Aku pergi dari Baleendah ke Podomoro Park sengaja untuk berkeringat. Dan benar saja, satu putaran mengelilingi kompleks yang relatif baru itu membuat keringat bercucuran.
Setelah dipikir, waktu tempuh aktivitas pagi itu lama juga. Mungkin karena lebih fokus menganalisis dibanding berolahraga. Tapi toh aku tetap dibuat kaget dengan luas kawasan yang dikembangkan oleh Podomoro. Aku menduga, berdasar pengamatan mata telanjang, luasnya lebih dari 100 hektare.
Dan memang benar demikian. Situs web Podomoro menyebut luas lebih dari 100 hektare. Menurut informasi dari Knight Frank, salah satu situs web properti yang mengiklankan Podomoro Park Bojongsoang ini, angkanya bahkan mencapai 130 hektare. Membayangkan tanah seluas ini hanya dimiliki oleh satu pemodal besar seperti membuatku agak pening.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut 63 persen petani di Indonesia memiliki rata-rata hanya 0,5 hektare lahan, aku meyakini bahwa ratusan hektare tanah di Bojongsoang sebelumnya merupakan sumber penghidupan bagi ratusan orang petani. Belum lagi kita hitung berapa banyak buruh taninya. Mereka semua harus angkat kaki dari tanah itu karena kalah oleh pemodal besar.
Dalam kerangka reforma agraria, negara seharusnya memberi setiap keluarga petani minimal dua (2) hektare tanah. Lahan di Bojongsoang yang telah disulap menjadi kawasan perumahan elite mestinya memampukan sekitar 50 orang petani dan keluarganya hidup secara layak. Bukan dijadikan wadah mengeruk pundi-pundi pendapatan.
Baca Juga: PAYUNG HITAM #57: Anak Bukan Tentara Kecil, Kritik atas Program Barak Militer ala Dedi Mulyadi
PAYUNG HITAM #58: Sampai Kapan Penangkapan Sewenang-wenang Berlanjut?
PAYUNG HITAM #59: Lembang, Dataran Tinggi yang Tenggelam
Dari Konversi Ruang ke Ketimpangan Ekonomi
Kapitalisme sebagai sistem ekonomi global telah membawa dampak signifikan terhadap ruang hidup masyarakat. Proses ini ditandai oleh pergeseran desa agraris menuju kawasan urban dan industrial. Dalam konteks ini, desa tidak lagi semata-mata menjadi ruang produksi agraris berbasis subsistensi, tetapi berubah menjadi objek investasi, akumulasi, dan ekspansi kapital. Kapitalisme telah mendorong transformasi desa secara struktural, ekonomi, dan sosial.
Sistem ini mendorong masyarakat desa untuk mengubah orientasi produksi dari subsisten ke komersial. Produksi yang sebelumnya ditujukan untuk konsumsi rumah tangga kini diarahkan untuk pasar. Komodifikasi produk pertanian ini membuat desa menjadi bagian dari sistem pasar global. Contoh nyata adalah transisi lahan pertanian pangan ke komoditas ekspor seperti kelapa sawit dan karet. (Borras: Land Grabbing and Global Capitalist Accumulation, 2012)
Salah satu ciri khas lain dari kapitalisme adalah akumulasi kapital melalui penguasaan sumber daya, termasuk lahan. Dalam konteks desa, ini terjadi lewat pembelian, konsesi, atau penggusuran. Proses ini disebut David Harvey sebagai “accumulation by dispossession” (David Harvey: The New Imperialism, 2003). Begitulah petani kecil atau gurem kerap kehilangan tanah mereka dan menjadi buruh tani atau migran kota. Sementara itu, lahan desa berubah menjadi kawasan industri, properti, atau infrastruktur strategis.
Perubahan fungsi lahan desa menjadi kawasan industri atau permukiman menyebabkan terjadinya urbanisasi. Fenomena ini tampak jelas di wilayah seperti Cikarang dan Karawang yang dulunya sentra pertanian, kini menjelma menjadi kawasan industri terbesar di Asia Tenggara (Tommy: The Urbanitation of Jakarta, 1999). Urbanisasi ini bukan semata pergeseran demografis, melainkan bentuk materialisasi dari ekspansi kapital yang mencari ruang-ruang baru untuk dieksploitasi.
Transformasi desa tidak hanya memengaruhi aspek ekonomi, tetapi juga relasi sosial. Struktur gotong-royong perlahan tergantikan oleh relasi kerja berbasis upah. Proses proletarianisasi berlangsung ketika individu tidak lagi memiliki alat produksi dan hanya menjual tenaga kerja. Karl Marx menyebut ini sebagai pemisahan antara produsen dan alat produksinya (Karl Marx: Capital: Volume I 1990).
Selain itu, masuknya budaya industri dan konsumerisme membuat nilai-nilai lokal dan budaya pertanian tradisional mengalami erosi. Alienasi pun muncul sebagai konsekuensi dari hilangnya keterhubungan manusia dengan hasil kerja dan lingkungannya (Fromm, Erich. Marx's Concept of Man. Frederick Ungar Publishing, 1961).
Konversi ruang desa berdampak serius terhadap kehidupan sosial dan ekologis. Ketimpangan ekonomi meningkat, penduduk lokal terpinggirkan, dan kemiskinan struktural muncul. Di sisi lain, perubahan fungsi lahan menyebabkan deforestasi, pencemaran air dan tanah, serta krisis ekologi lainnya ( Nancy Lee: New Frontiers of Land Control, 2011). Transformasi ini memperlihatkan bagaimana kapitalisme tidak hanya mengorganisasi ulang ekonomi, tapi juga merusak sistem ekologis yang menopang kehidupan desa.
Mang Aen dan Petani-petani Kecil
Tiba-tiba aku teringat Mang Aen, petani dari selatan Bandung yang menjadi teman bicara Soekarno muda pada tahun 1923. Dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adam, dikisahkan si petani memiliki lahan dan alat pertanian sendiri, namun hasilnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Setelah percakapan itu, sang mahasiswa yang kelak menjadi proklamator membuat arah pandang Marhaenisme.
Soekarno bertanya pada petani itu siapa yang punya tanah yang ia garap? Mang Aen menjawab bahwa itu miliknya. Lalu cangkul itu milik siapa? Mang Aen kembali menjawab itu miliknya. Soekarno bertanya lagi, siapa yang memanen dan menanam padi di tanahnya? Mang Aen menjawab yang melakukannya ialah dia. Lalu Soekarno bertanya, apakah hasil tani dia bisa cukup untuk memenuhi kehidupannya? Menurut cerita Soekarno, petani itu menjawab bahwa ia dan kelurganya bisa hidup dengan sangat sederhana dari hasil tanah itu.
Mang Aen adalah cerminan petani kecil Indonesia yang memiliki alat produksi tapi tetap tidak sejahtera. Soekarno menyebut kondisi ini sebagai bentuk penindasan struktural, berbeda dari proletariat dalam Marxisme klasik. Marhaenisme kemudian dikembangkan sebagai ideologi yang menyesuaikan kondisi Indonesia, dengan menekankan pentingnya kedaulatan rakyat atas tanah dan alat produksi.
Sayangnya, jika kini Mang Aen masih ada, ia bukan hanya diterpa problem struktural tapi dicerabut dari seluruh akses produksi seperti yang dijelaskan Marx. Seiring perkembangan zaman dan ekspansi kapital, petani-petani seperti Mang Aen tidak hanya miskin, tetapi tersingkir dari tanahnya sama sekali. Inilah tragedi petani-petani yang sawahnya dibeli pemodal besar.
Sering kali petani harus menjual tanahnya karena kondisi terdesak untuk bertahan hidup. Dalam banyak kasus, harganya murah. Jauh di bawah nilai investasi aktual properti. Harga aset properti di Podomoro, misalnya, saat ini berkisar antara 800 juta rupiah hingga 8 miliar rupiah per unit.
Jika harga tanah saat dibeli dari petani sekitar tahun 2010 sekitar 50 ribu rupiah per meter persegi (kisaran harga tanah secara umum di pinggiran kota), nilai modal awal penguasaan tanah ‘hanya’ sekitar 150 miliar rupiah. Dengan asumsi harga rata-rata per unit adalah 2,5 miliar, dan jumlah total aset mencapai 2 ribu unit, maka total kapitalisasinya sekitar 5 triliun rupiah. Perbedaan antara nilai kapitalisasi 5 triliun rupiah dan modal awal 150 miliar rupiah ini menunjukkan surplus kapital sebesar 4,85 triliun rupiah. Inilah akumulasi nilai yang tidak pernah diterima oleh petani seperti Mang Aen.
Jika Mang Aen kini masih memiliki lahan seluas 2 hektare atau 20.000 meter persegi, dengan harga pasaran tanah 2 juta rupiah per meter persegi, ia akan memiliki aset senilai 40 miliar rupiah. Jumlah ini kiranya cukup untuk menopang hidup yang layak lintas generasi.
Namun yang terjadi justru sebaliknya: petani kehilangan lahan dan masuk dalam pusaran kemiskinan struktural urban. Bojongsoang, Bandung Selatan, menjadi contoh konkret kegagalan reforma agraria dan ketimpangan struktural akibat ekspansi kapitalisme properti. Ia sekaligus menunjukkan bagaimana negara abai terhadap hak-hak dasar rakyat atas tanah.
Bukan kegagalan pertama tentu saja. Kita ingat bagaimana usaha implementasi reforma agraria pada tahun 1960-an yang diintervensi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) berakhir pada genosida jutaan nyawa. Tuan tanah, yang sebagian bersembunyi di balik jubah agama, menolak membagikan lahan-lahan yang seharusnya tidak ia miliki sendiri.
Dan kisah Mang Aen bukan hanya terjadi di masa lalu, tetapi juga masa kini. Ia hidup dalam wajah petani-petani yang kehilangan tanah karena ekspansi kapital besar.
Siang itu aku berkeringat, entah karena saking luasnya kawasan Podomoro Park yang berhasil aku kelilingi, atau karena membayangkan berapa banyak perut yang kelaparan karena kehilangan tanah yang menopang hidup mereka. Pulang-pulang aku membawa kepala yang mendadak terasa berat dan dada sesak.
*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak dan Aksi Kamisan Bandung