• Kolom
  • PAYUNG HITAM #59: Lembang, Dataran Tinggi yang Tenggelam

PAYUNG HITAM #59: Lembang, Dataran Tinggi yang Tenggelam

Lembang tidak membutuhkan lebih banyak hotel, kafe, atau wahana foto. Yang dibutuhkan adalah keberanian kolektif untuk berkata cukup pada eksploitasi.

Chan

Pegiat Aksi Kamisan Bandung dan Buruh Pariwisata

Situasi pascalongsor di Desa Cikahuripan, Lembang, Senin, 26 Mei 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

5 Juni 2025


BandungBergerak.id – Lembang tak lagi hanya dikenal karena udara sejuk dan lanskap pegunungannya. Kawasan dataran tinggi di Bandung Barat ini kini juga identik dengan banjir dan longsor yang terjadi hampir setiap kali hujan deras mengguyur. Ironis, karena secara geografis, Lembang seharusnya bebas dari genangan. Tapi dalam lima tahun terakhir, hampir setiap hujan lebat disusul kabar genangan di jalan raya hingga rumah warga.

Sebagai warga asli Lembang, saya tumbuh di tengah ketenangan udara dingin dan hijaunya hutan pinus. Setiap kali joging, dada terasa lapang oleh udara yang bersih dan menyegarkan. Namun kini, setiap hujan turun, rasa cemas datang lebih dulu. Bukan hanya karena kemungkinan terjebak banjir, tapi karena

Saya menyaksikan sendiri perubahan wajah Lembang yang dulu saya kenal.

Pertanyaannya sederhana: bagaimana mungkin kawasan dataran tinggi yang dulu dikenal sebagai daerah resapan, kini justru menjadi langganan banjir?

Jawabannya perlahan muncul seiring perubahan bentang alam yang saya lihat sendiri. Hutan-hutan yang dulu lebat kini beralih fungsi. Sebagian menjadi kebun sayuran, sebagian lagi menjadi objek wisata. Di masa kecil, ayah saya kerap menunjuk barisan hutan sambil berkata, “Hutan inilah yang membuat kita aman dari longsor.” Kini, banyak dari hutan itu hanya tinggal kenangan.

Baca Juga: PAYUNG HITAM #56: Lawan Pembungkaman Karya Seni oleh Negara
PAYUNG HITAM #57: Anak Bukan Tentara Kecil, Kritik atas Program Barak Militer ala Dedi Mulyadi
PAYUNG HITAM #58: Sampai Kapan Penangkapan Sewenang-wenang Berlanjut?

Daya Dukung Lingkungan

Saya sadar, banyak warga menggantungkan hidup pada sektor pertanian dan pariwisata. Tapi yang mencemaskan adalah bagaimana dua sektor itu berkembang tanpa perencanaan yang matang. Di banyak titik, lahan hutan dibabat demi kebun atau fasilitas wisata, tanpa memikirkan daya dukung lingkungan. Padahal, di daerah ini, pepohonan bukan hanya elemen estetika, tapi bagian vital dari sistem perlindungan terhadap bencana.

Pemerintah dan lembaga seperti Perhutani memang punya aturan. Namun di lapangan, bencana tetap terjadi. Ini bukan semata persoalan teknis, tapi kegagalan sistemik. Drainase yang buruk memperparah situasi.

Dalam wawancara dengan ayobandung.com, Camat Lembang, Bambang Eko, menyatakan bahwa pembangunan Alun-alun Lembang telah menutup beberapa saluran drainase induk. Akibatnya, ketika hujan turun, air kehilangan jalur alami dan meluap ke jalan serta pemukiman. Dua situ yang dulunya menjadi tampungan air, yaitu Situ PPI dan Situ Umar, kini telah beralih fungsi menjadi kawasan hunian dan wisata. Ini bukan hanya perubahan fungsi, tapi perusakan sistem ekologis yang disengaja.

Menurut Forum Penyelamat Lingkungan Hidup (FPLH) Jawa Barat dalam laporan detik.com lima tahun lalu, lahan hulu di kawasan Lembang kini gundul. Tanaman sayuran yang ditanam di sana tidak memiliki kemampuan menyerap air sebaik pohon-pohon hutan. Ini jelas bertentangan dengan fungsi kawasan lindung. Sementara itu, sektor wisata terus berkembang pesat, memanfaatkan lahan hutan atas nama “pemanfaatan,” bukan “alih fungsi.” Tapi mari jujur jika pohon ditebang, kontur tanah diubah, dan ekosistem rusak, apa bedanya?

Pemerintah kerap berdalih bahwa semua masih dalam pengawasan. Namun banjir yang terus berulang membantah klaim tersebut. Ini bukan sekadar bencana alam, tapi akibat dari perencanaan yang lemah dan pengawasan yang longgar.

Pembangunan yang Menjadi Racun

Pariwisata dan pembangunan memang penting bagi pendapatan daerah, Tapi pembangunan tanpa batas, tanpa panduan ekologis, hanya akan menjadi racun. Apalagi jika dijalankan dengan pendekatan permisif, tanpa keberanian menegakkan aturan. Kita sedang menyaksikan sebuah kawasan yang dulunya dikenal sebagai paru-paru Bandung, perlahan kehilangan napasnya.

Kini, setiap wisatawan yang datang ke Lembang tak hanya disambut lanskap pegunungan, tapi juga harus siap menghadapi risiko banjir dan longsor saat hujan deras. Ini bukan hanya soal kenyamanan berwisata, tapi juga soal keselamatan warga.

Lembang tidak membutuhkan lebih banyak hotel, kafe, atau wahana foto. Yang dibutuhkan adalah keberanian kolektif untuk berkata cukup pada eksploitasi. Bukan pemimpin yang hanya muncul saat kamera menyala, melainkan kebijakan yang berpihak pada kelestarian.

Saya menulis ini bukan semata karena saya tinggal di Lembang. Tapi karena saya tak ingin suatu hari nanti, anak-anak kita hanya mengenal Lembang sebagai “tempat wisata yang dulu indah, tapi kini langganan banjir.”

Sudah cukup kita mengorbankan alam demi keuntungan jangka pendek. Sekarang saatnya bertanya bersama: ke mana sebenarnya kita hendak membawa dataran tinggi Bandung ini?

 

*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak dan Aksi Kamisan Bandung

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//