PAYUNG HITAM #61: Menuntut Kejahatan Negara, Bergabung Dalam Barisan Menolak Lupa!
Akan selalu ada suatu kehendak untuk menuntut akuntabilitas dan pertanggungjawaban negara selaku "duty bearer" (pemangku kewajiban) atas Hak Asasi Manusia (HAM).

Fayyad
Pegiat Aksi Kamisan Bandung
26 Juni 2025
BandungBergerak.id – Negara sebagai institusi yang sengaja dibentuk dengan kekuatan mumpuni menjadi kolaborator tak terpisahkan bagi langgengnya sistem penindasan bernama kapitalisme. Aktor-aktor negara juga antek-anteknya memungkinkan dan kerap kali melakukan hal-hal paling buruk yang bisa dibayangkan serta mewujudkannya dalam tindakan nyata terhadap siapa pun yang dikehendaki.
Mereka adalah kesatuan yang terlibat dan memimpin program pembunuhan massal; menghancurkan ekologi sedemikian brutal yang hingga kini tak berkesudahan; menjadi pemerkosa paling lihai dalam lintasan sejarah; juga penyiksa yang andal tidak lain untuk membuat kita terbungkam.
Lalu, bagaimana dengan demokrasi dan hak asasi manusia yang menjadi pijakan dasar negara? Jelas kentara negara sendirilah yang menginjak paksa hingga menimbulkan keretakan yang begitu parah bahkan hingga hancur berkeping-keping. Lantas, bagaimana kita menangani upaya advokasi atas jutaan kejahatan massal yang terjadi? Akankah kita dapat menghukum orang-orang yang paling bertanggung jawab atas kejahatan tersebut? Yang mana faktanya para pelaku masih berada di puncak kekuasaan.
Impunitas –yang merujuk pada keadaan di mana pelaku kejahatan atau pelanggaran terhadap hak asasi manusia tidak dapat dihukum atau tidak menerima konsekuensi hukum atas perbuatannya karena berbagai faktor, sederhananya kebal hukum– adalah salah satu sorotan utama dalam konsep keadilan transisi. Para pelaku kejahatan, keluarganya, koleganya, kepentingan bisnis besar yang mengiringinya, masih sangat berakar kuat di rezim militer Prabowo Subianto, sangat sulit untuk mengejar dan melakukan penuntutan terhadap mereka pelaku. Sebut tindakan kekerasan negara yang terjadi sepanjang tahun 1996-1999, mulai dari penghilangan paksa, penembakan masyarakat sipil, rasisme dan pemerkosaan massal terhadap etnis Tionghoa, serta masih banyak lagi dosa yang tak ada mekanisme keadilan apalagi pemulihan dari negara.
Baca Juga: PAYUNG HITAM #58: Sampai Kapan Penangkapan Sewenang-wenang Berlanjut?
PAYUNG HITAM #59: Lembang, Dataran Tinggi yang Tenggelam
PAYUNG HITAM #60: Bojongsoang, Kapitalisasi Properti, dan Mang Aen
Tumpukan Kertas Pelanggeng Kekerasan
Hukum –berikut aparatur serta mekanisme penegakkannya– yang digadang-gadang menjadi fondasi bernegara nyatanya tak lebih dari sekedar tumpukan kertas-kertas yang dibahas dalam rapat mewah hasil dari keringat rakyat dibayarkan melalui pajak. Dalam beberapa hal, dijadikan sebagai alat yang efektif untuk melanggengkan berbagai kekerasan yang dianggap “sah”. “Hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah”, kamu pun pasti sering mendengarnya bukan?
Belasan hingga puluhan tahun, kesempatan yang sangat kecil begitu terasa sulitnya mengakses keadilan yang juga terhalang tembok besar karena dibenturkan dengan prosedural sistem hukum. Sehingga jika kita melihat sistem hukum standarnya saja serumit itu, maka kita bisa membayangkan juga bagaimana lebih kompleksnya lagi penerapan sistem keadilan transisinya. Atau bahkan jika kedepannya ada mekanisme pengadilan baru, atau suatu proses baru, rasanya akan menghadapi juga tantangan dan keterbatasan yang serupa seperti yang terjadi di ruang pengadilan yang lazim.
Pasca gerakan Reformasi 1998, pemerintah Indonesia sebenarnya telah mendirikan suatu mekanisme penuntutan untuk hak atas keadilan melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Namun pada kenyataannya mekanisme penuntutan ini tak berjalan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan awal. Hal ini disebabkan karena ketiadaan dukungan dan kemauan politik yang kuat dari negara untuk bisa menyelesaikan persoalan ini melalui jalur-jalur pengadilan juga tidak terdapat aturan hukum spesifik yang ditujukan untuk mengadili para pelaku baik itu aktor negara maupun non-negara seperti ormas reaksioner. Meskipun terdapat hukum pidana yang dianggap sebagai satu mekanisme yang dapat ditempuh untuk melakukan penuntutan, namun sejatinya tidak benar-benar bisa mengadili para pelaku pelanggar HAM, terlebih hukum pidana memiliki limitasi atas ajuan penuntutan.
Gambaran yang mungkin bisa dipahami bersama semisal kita disiksa oleh aparat kepolisian, kemudian kita ingin pelaku tersebut diadili, maka secara prosedural kita harus ke kantor polisi untuk membuat laporan, tidak menutup kemungkinan bisa jadi kita mengadukan penyiksaan yang dialami ke pelakunya sendiri. Sudah pasti tidak akan diproses, jika pun diproses maka akan terus diperhambat dan tidak jarang mendapatkan intimidasi kembali.
Melampaui Penuntutan Hukum Negara
Akan selalu ada suatu kehendak untuk menuntut akuntabilitas dan pertanggungjawaban negara selaku duty bearer (pemangku kewajiban) atas HAM. Menagih pertanggungjawaban negara atas apa yang mereka perbuat atau mereka abaikan, dan perlahan melawan impunitas. Untuk mengakhiri impunitas memang akan menghadapi jalan terjal menantang, dan pastinya melelahkan. Namun rasanya hal tersebut juga merupakan tantangan global yang terjadi di belahan bumi mana pun.
Sudah seharusnya kita mengambil tindakan politis secara kolektif. Memaknai ulang soal penuntutan yang tidak lagi terdikte oleh aturan hukum formal negara. Tuntutan yang terus dilayangkan pada kekuasaan korup nan tiran. Penuntutan ini sebagai sikap politik harian –bukan politik elite 5 tahunan ala partai. Para petani yang masih terus menghidupi tanah-tanahnya dengan semangat reforma agraria. Para nelayan yang menghadang kapal tongkang pengangkut hasil tambang. Para buruh dan pekerja gig ekonomi yang terlibat dalam kerja-kerja serikat demokratis. Warga kampung kota yang bertahan di bawah deru pembangunan yang sebenarnya menghancurkan. Mereka yang mengorganisir dan mencurahkan tenaganya di ruang kolektif –komunitas kreatif tanpa bantuan negara. Para tenaga medis yang memberikan layanan gratis bagi semua. Guru-guru yang terus membangun ruang belajar alternatif. Suporter yang terus mengampanyekan anti-rasisme. Kolektif seni yang menyerukan penolakan atas penindasan global. Dan kita semua yang menolak tunduk dan bergabung dalam barisan menolak lupa atas segala bentuk kekerasan yang dilakukan negara.
Semua harus dibaca sebagai penuntutan atas hak-hak kita yang terus direnggut paksa. Suatu keharusan untuk membangun gerakan politik alternatif dan terus menciptakan keterhubungan lintas batas menuntut dan merebut keadilan sejati.
*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak dan Aksi Kamisan Bandung