PAYUNG HITAM #62: Ketika Hukum Digunakan untuk Menundukkan, Bukan Melindungi
Kriminaisasi warga Sukahaji adalah bagian dari pola yang sama dan makin lazim ketika kekerasan dan intimidasi gagal membungkam perlawanan warga melawan penggusuran.

Chan
Pegiat Aksi Kamisan Bandung dan Buruh Pariwisata
7 Agustus 2025
BandungBergerak.id – Rabu, 30 Juli 2025. Di tengah terik kota Bandung, warga Sukahaji mendatangi Satreskrim Polrestabes untuk mengawal pemeriksaan terhadap anggota Forum Sukahaji Melawan. Mereka hadir bukan sebagai pelaku kejahatan, melainkan sebagai warga yang memperjuangkan ruang hidup mereka. Namun, hari itu menjadi titik balik yang getir: “Setelah pemeriksaan, keenam anggota forum yang memenuhi panggilan untuk pemeriksaan di Satreskrim ditahan! "
Kabar ini saya terima sepulang kerja. Ada rasa gelisah yang menggantung di kepala karena tak bisa turut bersolidaritas langsung dan karena tak percaya bahwa negara ternyata secepat itu menahan orang hanya karena mereka memilih bertahan.
Informasi penahanan itu muncul dari akun @sukahajimelawan. Sebuah suara dari pinggiran yang kini menggema sebagai alarm nasional bahwa mempertahankan kampung dan ruang hidup bisa dianggap kejahatan.
Enam warga Sukahaji itu bukan pelaku kekerasan. Mereka bukan provokator, bukan pemicu konflik. Mereka adalah warga biasa yang menolak penggusuran. Namun saat kekuatan mereka hanya berupa keberanian, negara membalas dengan penahanan.
Negara, yang seharusnya hadir sebagai pelindung, kini tampil sebagai penindas. Perlawanan disebut kejahatan. Bertahan dicap sebagai ancaman.
Baca Juga: PAYUNG HITAM #59: Lembang, Dataran Tinggi yang Tenggelam
PAYUNG HITAM #60: Bojongsoang, Kapitalisasi Properti, dan Mang Aen
PAYUNG HITAM #61: Menuntut Kejahatan Negara, Bergabung Dalam Barisan Menolak Lupa!
Hukum yang Tumpul Ke Atas
Penahanan enam warga Sukahaji bukan kejadian baru. Ia adalah bagian dari pola yang sama dan makin lazim ketika kekerasan dan intimidasi fisik gagal membungkam perlawanan warga, pasal-pasal pidana dijadikan alat penaklukan.
Dan Sukahaji bukan satu-satunya. Di Maba Sangaji, Halmahera Timur pada bulan Mei lalu, 11 warga ditangkap karena menolak aktivitas pertambangan di atas tanah adat mereka. Di Rempang, Batam, ratusan warga menghadapi intimidasi dan puluhan lainnya ditahan karena menolak penggusuran untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City. Di Wadas, Purworejo, puluhan warga ditangkap saat menolak tambang andesit. Di Air Bangis, Sumatera Barat, warga nelayan yang menolak usulan proyek strategis nasional (PSN) juga sempat dijemput paksa.
Semua kasus ini memiliki benang merah yang sama: warga yang mempertahankan tanah dan ruang hidup dikriminalisasi, sementara pelanggaran HAM yang mereka alami luput dari hukum.
Apa yang terjadi di Sukahaji, Maba Sangaji, dan tempat-tempat lain menunjukkan satu hal: negara hadir lebih cepat untuk menahan warga ketimbang melindungi mereka. Aparat lebih sigap mengamankan alat berat daripada mengusut kekerasan terhadap perempuan dan anak. Di mana hukum ketika lahan dibakar? Di mana keadilan ketika ruang hidup diteror?
Keadilan menjadi bias ketika hukum digunakan untuk menundukkan, bukan melindungi. Peristiwa ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap keberanian. Dan memang itulah yang terjadi, negara menyebut "perlawanan sebagai kejahatan, dan keberanian sebagai ancaman".
Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), 295 konflik agraria terjadi sepanjang 2024, naik 22 persen dari tahun sebelumnya. Konflik ini melibatkan lebih dari 67 ribu keluarga, dengan luasan konflik mencapai 1,1 juta hektare. Sektor pemicu utamanya: perkebunan, tambang, kehutanan, dan proyek strategis nasional.
Indonesia kini mencatat konflik agraria terbanyak di Asia. Di balik statistik itu, ada nama-nama seperti Sukahaji, Maba Sangaji, Wadas, Rempang, Air Bangis, Kinipan, Pulau Sangihe dan masih banyak lagi –semuanya menjadi bukti bahwa tanah rakyat bukan hanya direbut, tapi perlawanan mereka dibungkam lewat penjara.
Negara untuk Siapa?
Di tiap pidato, kita mendengar negara akan hadir untuk rakyat. Tapi rakyat yang mana? Hukum yang seharusnya menjadi alat keadilan kini berubah menjadi instrumen represi. Yang dijaga bukan warga, melainkan investasi. Yang dilindungi bukan hak hidup, tapi kepentingan modal.
Sukahaji dan ruang hidup lain adalah saksi: negara tampaknya telah memilih berdiri di sisi kekuasaan, bukan rakyat. Ini bukan sekadar masalah teknis hukum, ini soal arah keberpihakan. Jika tanah, air, dan udara tidak lagi dipandang sebagai hak dasar, maka siapa yang sebenarnya berhak hidup di negeri ini?
Kriminalisasi warga adalah strategi jangka panjang: menciptakan ketakutan kolektif. Pesan yang dikirim sederhana: siapa pun yang melawan, akan diseret. Rasa aman dirampas, keberanian dihukum. "Upaya sistematis untuk mematahkan keyakinan akan hak hidup yang layak."
Namun sebagaimana juga kalimat yang ditulis dalam sebuah postingan Sukahaji: "Kami akan bangun kembali godam dari reruntuhan dan berangkatkan harapan”.
Begitu pula di Maba Sangaji: "Kami ditangkap, tapi tanah tidak akan kami lepas”.
Dari barat ke timur Indonesia, suara ini bergema: rakyat biasa menolak tunduk pada ketakutan yang direkayasa.
Konflik agraria tidak bisa terus diselesaikan dengan pendekatan keamanan dan kriminalisasi. Negara perlu berhenti membangun proyek pembangunan di atas luka sosial. Solusinya bukan tangkapan massal, tapi mediasi inklusif, pengakuan hak atas tanah, dan keadilan sosial.
Sebab jika tidak, Sukahaji, Maba Sangaji, dan ratusan nama lain akan terus bertambah. Dan sejarah akan mencatat bahwa ketika rakyat meminta keadilan, negara justru membalas dengan borgol.
*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak dan Aksi Kamisan Bandung