• Kolom
  • PAYUNG HITAM #64: September Hitam, Luka yang Tak Pernah Dikubur

PAYUNG HITAM #64: September Hitam, Luka yang Tak Pernah Dikubur

September Hitam bukan hanya peringatan. Ia adalah pernyataan bahwa negara ini gagal merawat keadilan.

Chan

Buruh Pariwisata

Aksi Kamisan Bandung ke-427 di depan Gedung Sate, Kamis, 4 September 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

11 September 2025


BandungBergerak.id – Ada sesuatu yang selalu menyesakkan dada setiap kali September datang. Ia bukan bulan yang lahir dari langit cerah, melainkan bulan yang menyeret arwah-arwah tak tenang dari masa lalu. Setiap helai kalender yang kita sobek bukan hanya angka yang gugur, tapi juga nama-nama yang tak pernah mendapat keadilan: 1965, Tanjung Priok 1984, Semanggi 1998-1999, Munir 2004, 2005 Salim Kancil, lalu 2020 Pendeta Yeremia, Rempang, sampai ribuan rakyat dan pelajar yang dipukul dan diseret di jalanan hanya karena berteriak menolak tirani. September di negeri ini bukan sekadar musim hujan, ia adalah musim darah.

Saya menulis ini bukan sebagai sejarawan, bukan pula sebagai hakim. Saya menulis sebagai manusia yang menolak lupa, sebagai saksi yang dipaksa menyaksikan bagaimana negara merayakan ingatan dengan peluru.

Ingatan adalah senjata, dan merawatnya adalah ancaman bagi penguasa, karena itu penguasa selalu ingin kita lupa. Mereka ingin kita percaya bahwa tragedi adalah kesalahpahaman, bahwa sejarah adalah arsip mati, bahwa nyawa yang hilang hanyalah statistik.

Tetapi tubuh-tubuh itu bukan angka. Mereka anak-anak, pelajar atau mahasiswa, pekerja, petani, nelayan, atau orang-orang biasa yang memutuskan untuk tidak tunduk. Mereka bukan hanya korban, mereka adalah gema yang menolak dibungkam. Dan setiap kali kita menyebut nama mereka, penguasa gelisah, karena ingatan adalah bentuk perlawanan paling berbahaya.

Lihatlah yang terjadi baru-baru ini: penangkapan Delpedro Marhaen. Seorang aktivis yang dibungkam dengan cara paling klasik: dijemput malam-malam, digelandang tanpa prosedur, lalu buku-bukunya disita. Buku yang merupakan sebuah benda yang seharusnya menghidupi pikiran, kini diperlakukan sebagai barang bukti kejahatan dan apa yang terjadi terhadap beberapa orang yang dianggap sebagai provokator ataupun masa aksi yang ditangkap. Apa yang lebih absurd dari negara yang takut pada halaman-halaman kertas dan seseorang yang berpakaian hitam atau memakai simbol tertentu? Itu bukan hanya penegakan hukum, itu adalah sensor dengan seragam. Itu bukan sekadar kriminalisasi, itu adalah pesan: jangan berpikir, jangan menulis, jangan melawan.

Dan lihatlah jalanan Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Makassar, dan beberapa kota lain di akhir Agustus lalu. Ribuan orang diseret, ratusan luka-luka, sepuluh jiwa melayang. Gas air mata ditembakkan ke kampus, aparat menutup jalan dengan barikade, rakyat dan mahasiswa dipukul hingga berlumur darah sementara aparat yang terluka diberi kenaikan pangkat, sangat ironi memang. Semua ini diberi nama "penjagaan keamanan". Tapi keamanan siapa? Apakah keamanan investor tambang emas di Papua? Apakah keamanan para pejabat dan politisi yang gemar menjual negeri? Atau keamanan para jenderal yang warisannya bukan kedamaian, melainkan ketakutan?

Sementara itu, di sisi lain kota, festival musik kelas menengah yang bernama Pestapora berlangsung dengan lampu-lampu gemerlap. Sponsor besar menyalakan sorot lampu, mengibarkan slogan kebebasan dan menjual tiket demi profit. Tetapi di luar pagar, kebebasan yang sejati dipenjara. Ironi itu terasa begitu menyakitkan: lagu-lagu tentang kebebasan dinyanyikan oleh para musisi di panggung yang dibiayai oleh perusahaan yang menjarah tanah dan darah. Seakan kebebasan bisa dipentaskan, sementara kenyataannya dihancurkan.

Baca Juga: PAYUNG HITAM #61: Menuntut Kejahatan Negara, Bergabung Dalam Barisan Menolak Lupa!
PAYUNG HITAM #62: Ketika Hukum Digunakan untuk Menundukkan, Bukan Melindungi
PAYUNG HITAM #63: Kekacauan yang Kita Warisi

Menolak Lupa

September Hitam bukan hanya peringatan. Ia adalah pernyataan bahwa negara ini gagal merawat keadilan. Ia adalah alarm yang berdentang agar kita tidak tertidur dalam kenyamanan. Karena melupakan adalah pengkhianatan. Diam adalah cara halus berpihak pada penindas.

Menurut pendapat saya, yang paling berbahaya bukanlah peluru, melainkan kebohongan yang dibungkus rapi. Itulah yang kita hadapi hari ini: represi yang dibungkus hukum, kekerasan yang dibungkus keamanan, festival dan konser musik yang dibungkus kebebasan. Negara ingin kita percaya pada ilusinya, agar kita lupa bahwa di bawah panggung megah itu ada tanah yang dirampas, ada darah yang mengalir.

Maka menulis ini adalah bentuk kecil perlawanan. Menolak lupa adalah satu-satunya penghormatan pada mereka yang hilang dan menjadi korban kekerasan negara. Karena ingatan bukan nostalgia melainkan api yang membakar ketakutan. Dan ketika kita merawat ingatan itu bersama, penguasa tidak akan pernah tidur nyenyak.

September ini, saya tidak ingin menjadi penonton. Saya menolak jadi statistik. Saya memilih menulis, menyuarakan, mengingat, karena hanya dengan itu, suatu hari nanti, September berhenti menjadi hitam.

 

*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak dan Aksi Kamisan Bandung

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//