• Kolom
  • CATATAN SI BOB #27: Balada Ashley

CATATAN SI BOB #27: Balada Ashley

Di Bandung, di Jakarta, di kota-kota lain, mungkin ada ribuan lulusan seni musik yang masih bertahan menggeluti dunia musik.

Bob Anwar

Musisi dan penulis asal Kota Bandung. Dapat di hubungi di Instagram @bobanwar_ atau [email protected]

Laku, dalam konteks musik hari ini, sering kali dimaknai sebagai viral, disukai massa, atau menghasilkan keuntungan finansial. (Ilustrasi: Arctic Pinangsia Paramban/BandungBergerak)

23 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Ashley duduk di sudut sebuah kafe di Dago. Di hadapannya, sebuah gitar akustik bersandar. Jari-jarinya masih lengket. Entah dari keringat, entah dari senar berkarat. Ia baru selesai menyanyikan lagu-lagu yang dipilihkan orang lain: Someone Like You, Photograph, The Scientist. Lagu-lagu aman. Lagu-lagu yang tak pernah salah untuk menemani orang minum kopi sambil bercakap hal bukan musik.

Di meja kasir, ia menerima amplop cokelat. Lima ratus ribu rupiah. Pemilik kafe tersenyum: "Minggu depan bisa lagi kan?" Ashley mengangguk. Ia selalu mengangguk.

Empat tahun lalu, ketika lulus cum laude dari jurusan Pendidikan Seni Musik, ada harapan yang berkilau. Ia menulis komposisi untuk tugas akhir: chamber music yang menggabungkan gamelan degung dengan cello. Dosennya memuji. Temannya tepuk tangan. Orang tuanya menangis. Di wisuda, ia berfoto dengan toga dan bunga. Senyumnya lebar. Matanya percaya.

Tapi setelah foto-foto itu dibagikan di media sosial, setelah ucapan selamat berhenti, yang tersisa hanya pertanyaan di kamar kos: lalu apa?

Komposisi itu tak pernah dimainkan lagi. File-nya masih tersimpan di laptop, di folder bernama "Karya Final". Bersama ratusan file lain yang tak pernah dibuka.

Baca Juga: CATATAN SI BOB #24: Royalti dan Senar Gitar Rimbaud
CATATAN SI BOB #25: Esok Pagi, Kita Putus Asa
CATATAN SI BOB #26: Apatico Pukul Sebelas Malam

Bertahan di Jalur Musik

Ashley bukan satu-satunya. Di angkatannya, 47 orang lulus. Setahun kemudian, dalam reuni kecil-kecilan di warung kopi, yang masih bertahan di jalur musik tinggal 11 orang. Sisanya mengajar les privat, jadi admin, jadi sales. Ada yang kerja di bank. Ada yang nikah, lalu berhenti. Dan ada yang pulang kampung, entah ke mana.

Ashley mencoba menjadi musisi wedding. Gajinya lumayan: satu juta untuk tiga jam. Tapi setiap kali ia menyanyikan A Thousand Years untuk pasangan yang bahkan tak menatapnya, ada yang perlahan luruh. Ia adalah hiasan. Wallpaper bersuara. Kadang pengantin lupa berterima kasih. Kadang tamu sibuk dengan ponsel. Merekam video untuk Instagram, untuk TikTok. Dan Ashley, di atas panggung yang dihias bunga plastik itu, mulai mengerti: ia bukan seniman di sana. Ia adalah jasa. Seperti katering. Seperti dekorasi.

Maka ia bergabung dengan komunitas indie. Di sana ada idealisme dan semangat. Mereka tampil di acara-acara kecil, di ruang penuh asap rokok dan gagasan. Mereka bicara tentang "integritas artistik". Tentang "melawan arus". Ashley merasa pulang. Ia menulis lagu sendiri. Ia tampil dengan gairah.

Tapi setelah dua tahun, ia mulai melihat retakan-retakan halus. Vokalis bandnya yang lantang bicara anti-komersil ternyata anak konglomerat yang tak pernah khawatir soal uang. Gitaris yang paling sinis terhadap "sistem" punya pacar yang membiayai hidupnya. Dan Ashley, yang pulang naik motor jam sebelas malam, mulai merasa ia bukan sedang melawan arus. Ia hanya tenggelam, dengan gaya.

Pierre Bourdieu pernah bilang bahwa di dunia seni, bukan bakat yang menentukan. Tapi kelas sosial. Jaringan keluarga. Akses ke ruang-ruang tertutup. Ashley mulai melihat hal ini: di setiap acara launching, di setiap pameran, di setiap undangan kolaborasi, wajah-wajah sama muncul. Mereka yang namanya disebut bukan yang berbakat, tapi yang paling kenal orang.

Maka ia membangun relasi. Ia kenalan dengan pemilik label di launching album teman. Ia ikut workshop yang dibayar dengan uang kiriman orang tua. Ia upload karya di Spotify. Angkanya naik perlahan: seratus pendengar, lima ratus, seribu. Tapi angka itu seperti tangga yang tak pernah sampai ke lantai mana pun.

Ia melihat teman kuliahnya, yang dulu nilai teorinya pas-pasan, tiba-tiba viral. Satu video TikTok: menyanyi sambil joget lucu. Dalam seminggu: dua juta views. Endorse datang. Tawaran manggung membludak. Dan Ashley, yang menghabiskan bertahun-tahun mempelajari harmoni dan counterpoint, yang berlatih vokal empat jam sehari, hanya menatap layar ponselnya.

Bekerja Menjadi Guru

Di suatu malam, setelah manggung di sebuah bar, seorang produser menghampirinya. "Kamu berbakat," katanya. "Tapi musikmu terlalu... rumit. Orang Indonesia suka yang simpel. Yang bisa langsung nempel. Coba bikin lagu cinta yang straightforward. Jangan pakai chord aneh-aneh."

Ashley tersenyum. Ia bilang akan dipikirkan.

Ia melamar menjadi guru di sebuah sekolah swasta. Gajinya tetap. Jadwalnya jelas. Ada BPJS. Ada cuti. Ketika ia diterima, ia tidak merasa apa-apa. Seperti ruang yang sudah ditinggalkan.

Ibunya menelepon, suaranya lega: "Syukurlah, akhirnya kamu punya pekerjaan." Ashley menjawab: "Iya, Bu." Ia tidak bilang bahwa malam itu ia menangis. Bukan karena ia gagal. Tapi karena ia tidak tahu apa arti gagal itu.

Di kelas, ia mengajar anak-anak kelas tujuh tentang not balok. Mereka ribut. Mereka bosan. Salah satu anak bertanya: "Bu, kenapa harus belajar musik klasik? Kan sekarang zamannya DJ."

Ashley terdiam. Ia ingin menjawab bahwa musik klasik adalah fondasi. Adalah akar. Adalah sejarah. Tapi ia sendiri sudah tidak yakin lagi. Ia akhirnya menjawab: "Karena di ujian nanti ini yang keluar." Anak-anak itu mengangguk. Mereka mengerti itu. Bahasa kepraktisan. Bahasa yang tidak bertanya mengapa.

Sore itu, sepulang dari sekolah, Ashley membuka kembali laptopnya. Ia buka folder "Karya Final". Ia putar kembali komposisinya yang empat tahun lalu. Gamelan degung bertemu cello. Suaranya janggal, tidak sempurna, terlalu ambisius untuk ukuran mahasiswa. Tapi ada sesuatu di sana. Sesuatu yang jujur.

Ia dengar sebentar. Lalu tutup lagi.

Di Bandung, di Jakarta, di kota-kota lain, mungkin ada ribuan lulusan seni musik yang sedang membuka folder serupa. Atau sudah menutupnya untuk selamanya. Atau sudah menghapusnya, untuk ruang bagi file-file lain yang lebih berguna: CV, surat lamaran, foto KTP.

Amplop cokelat minggu depan sudah menunggu. Ashley akan datang lagi. Menyanyikan lagu yang dipilihkan orang lain. Ia akan mengangguk lagi.

22/11/2025

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//