Menyoal Perwal Kota Bandung dan Krisis Cara Pandang terhadap Budaya
Seni dan budaya tidak bisa diatur seperti perizinan bangunan atau sertifikasi usaha. Ia bergerak lewat gagasan, solidaritas, dan dialog.

Abah Omtris
Musisi balada Bandung
28 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Banyak peraturan tentang kebudayaan masih berpijak pada paradigma lama: bahwa “budaya” identik dengan seni tradisi –tarian, gamelan, pakaian adat, atau festival lokal. Paradigma ini tentu penting bagi pelestarian warisan, tetapi ketika dijadikan satu-satunya ukuran, ia justru menyempitkan makna kebudayaan dan mengecilkan peran seni kontemporer yang tumbuh dari dinamika masyarakat urban hari ini.
Dalam pengertian yang lebih luas, kebudayaan bukan hanya warisan, tetapi juga cara berpikir, bersikap, dan berkreasi. Ia adalah mindset kolektif yang membentuk bagaimana masyarakat membaca realitas dan beradaptasi terhadap perubahan. Di sinilah letak masalah banyak kebijakan kebudayaan pemerintah daerah: mereka sibuk memelihara bentuk, tapi lupa menumbuhkan kesadaran.
Akibatnya, kebijakan yang tampak “melestarikan budaya” sering kali justru mematikan kreativitas. Ia menempatkan budaya sebagai benda mati –artefak yang dikurung dalam vitrin, bukan sebagai proses sosial yang hidup. Seni tradisi dijadikan simbol seremonial, sementara seni kontemporer, eksperimental, dan lintas-disiplin dianggap “tidak representatif” karena tidak sesuai dengan estetika formal negara.
Padahal, seni kontemporer –termasuk musik eksperimental, performans, mural, teater jalanan, hingga musikalisasi puisi– adalah bagian sah dari ekosistem kebudayaan yang menghadirkan kritik, kesadaran, dan pembaruan cara pandang. Mereka justru menjadi wadah bagi masyarakat untuk merespons perubahan sosial, urbanisasi, dan ketimpangan. Jika peraturan wali kota masih berpegang pada definisi sempit budaya sebagai “tradisi daerah”, maka kota akan kehilangan napasnya sebagai ruang dialog dan penciptaan nilai baru.
Bandung, misalnya, dikenal dengan vitalitas seni kontemporernya –dari musik independen, seni rupa alternatif, hingga ruang komunitas yang hidup di sela gang-gang. Tetapi semangat ini tidak akan tumbuh jika ruang kebijakan hanya memberi tempat pada bentuk-bentuk tradisi yang dikurasi secara birokratis. Ketika pengakuan terhadap seniman atau komunitas harus diverifikasi melalui KTP domisili, kita sedang menyaksikan absurditas baru: seni dan budaya dibatasi oleh alamat administratif. Maka tak berlebihan bila muncul satire, “seni budaya terbentur tembok KTP".
Baca Juga: Joget di Senayan, Bayang Pemakzulan, dan Bendera Bajak Laut
Kasus Penyegelan Bandung Zoo: Warga Bandung Melawan Oligarki Tanah
Seni dan Perlawanan: Membaca Realitas melalui Cermin Chernyshevsky
Kebudayaan: Proses Hidup, Bukan Koleksi Seremonial
Padahal, kebudayaan –sebagaimana dipahami oleh banyak pemikir humaniora, dari Raymond Williams hingga Sutan Takdir Alisjahbana– adalah proses dinamis yang hidup melalui ide, karya, dan refleksi manusia terhadap kenyataannya. Williams menyebut kebudayaan sebagai a whole way of life, suatu keseluruhan cara hidup yang terus berubah. Sementara Sutan Takdir menekankan bahwa kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia untuk menyesuaikan diri dengan zaman.
Karena itu, ukuran substansial bagi siapa pun yang ingin terlibat dalam pengelolaan kebudayaan seharusnya bukan di mana ia tinggal, tetapi apa yang telah ia pikirkan, tulis, dan ciptakan tentang kebudayaan itu sendiri. Kreativitas tidak mengenal batas administratif; ia tumbuh dari pergulatan batin, pengalaman, dan refleksi. Jika seorang seniman yang tinggal di pinggiran tidak diakui hanya karena alamat KTP-nya bukan “Kota Bandung”, maka sesungguhnya yang gagal bukan senimannya, melainkan sistem kebudayaannya.
Bandung tidak pernah tumbuh dari garis batas administratif, melainkan dari semangat pertemuan dan pertukaran ide. Sejak masa kolonial, Bandung adalah kota lintas budaya –tempat bertemunya mahasiswa, aktivis, musisi, dan perupa dari berbagai daerah yang melahirkan ekosistem kreatif yang unik. Dari sinilah lahir geliat seni eksperimental, ruang-ruang alternatif, hingga praktik seni yang menembus batas antara aktivisme dan ekspresi estetik. Jika kota ini kini membatasi makna kebudayaan hanya pada “yang terdaftar secara formal”, maka Bandung sedang memutus akar sejarahnya sendiri.
Peraturan kebudayaan yang lahir dari cara pandang birokratis selalu berakhir pada absurditas: mencoba menata yang hidup dengan logika yang mati. Seni dan budaya tidak bisa diatur seperti perizinan bangunan atau sertifikasi usaha. Ia bergerak lewat gagasan, solidaritas, dan dialog, bukan lewat formulir dan stempel.
Krisis ini berakar dari cara pandang yang menempatkan kebudayaan sebagai properti negara, bukan ruang publik. Pemerintah merasa memiliki otoritas tunggal untuk menentukan apa yang disebut “budaya daerah”, siapa yang sah disebut “seniman”, dan di mana “ruang budaya” boleh berlangsung. Akibatnya, banyak seniman muda, komunitas eksperimental, dan kelompok lintas-disiplin akhirnya memilih berjalan di luar sistem, membangun ruang-ruang kecil di gang, rumah sewa, hingga ruang virtual.
Ironisnya, ruang-ruang kecil itulah yang justru menjadi denyut kebudayaan sesungguhnya. Di sanalah dialog dan inovasi tumbuh –tanpa seremoni, tanpa baliho pejabat, tanpa kata sambutan. Dari diskusi kecil di teras rumah hingga pertunjukan di loteng, semua menjadi bagian dari ekologi budaya yang otentik dan hidup. Namun karena tidak tercatat secara administratif, mereka sering dianggap “liar”, “tidak resmi”, bahkan “tidak mendukung pembangunan budaya daerah”.
Inilah paradoks besar kebijakan kebudayaan hari ini: ia ingin mengatur kreativitas, tapi tidak memahami esensi kreativitas itu sendiri. Ia ingin membangun budaya, tapi justru membekukannya dalam format seragam. Ia ingin menciptakan ruang, tapi menutup pintu bagi mereka yang tidak masuk daftar.
Bandung dan Bayang-bayang “Kota Kreatif”
Label Bandung Kota Kreatif yang sering dielu-elukan sebenarnya menyimpan ironi. Kreativitas yang dijadikan slogan sering kali dipahami secara komersial –identik dengan industri kreatif, event besar, dan pariwisata. Padahal, kreativitas sejati tumbuh dari kegelisahan dan refleksi kritis terhadap realitas.
Banyak kebijakan kebudayaan daerah menjadikan kreativitas sebagai komoditas, bukan proses. Maka tak heran bila yang muncul justru festival seremonial dengan tema “budaya lokal” tapi diisi oleh pertunjukan yang diseragamkan, tanpa konteks sosial yang hidup. Kota seperti Bandung yang seharusnya menjadi ruang eksperimentasi justru terjebak dalam estetika formal yang aman dan tidak menggugat.
Sementara itu, ruang-ruang alternatif seperti galeri independen, studio musik bawah tanah, atau forum baca puisi sering kali bertahan dengan dana kolektif dan semangat gotong royong. Mereka tidak tercatat dalam peraturan, tapi merekalah yang menjaga api kebudayaan tetap menyala. Ironisnya, ketika karya mereka mulai diakui publik, pemerintah tiba-tiba muncul membawa piagam dan kamera –mengklaimnya sebagai “keberhasilan program kota kreatif.”
Kebudayaan mestinya menjadi ruang pembelajaran kolektif, tempat masyarakat belajar memahami dirinya melalui seni, bahasa, dan narasi. Dalam kerangka ini, pemerintah seharusnya berperan sebagai fasilitator, bukan pengatur. Ia membantu menyediakan ruang, bukan menentukan bentuk. Ia mendorong refleksi, bukan hanya seremonial.
Gagasan ruang belajar kebudayaan –sebagaimana pernah diupayakan banyak komunitas alternatif di Bandung– bisa menjadi model bagi masa depan. Ruang semacam ini tidak membedakan antara seniman mapan dan pendatang baru, antara tradisi dan kontemporer. Yang diutamakan adalah kesadaran kritis, keterbukaan terhadap dialog, dan kemampuan untuk menafsir ulang realitas sosial melalui karya.
Di ruang semacam itu, seni tradisi bisa berdialog dengan seni eksperimental; tari jaipong bisa bertemu dengan sound art, dan batik bisa berevolusi menjadi pernyataan sosial tentang lingkungan dan kerja perempuan. Budaya menjadi proses sintesis yang hidup –bukan museum berjalan.
Kebijakan yang Membebaskan, Bukan Menyempitkan
Sudah saatnya kebijakan kebudayaan daerah –termasuk Peraturan Wali Kota Bandung– berpindah dari paradigma administratif menuju paradigma kultural yang reflektif. Pemerintah perlu memahami bahwa budaya adalah ruang lintas batas: lintas disiplin, lintas generasi, dan lintas wilayah.
Kebijakan yang membebaskan adalah kebijakan yang memberi kepercayaan kepada masyarakat. Ia tidak memonopoli makna budaya, tetapi membuka ruang bagi tafsir dan keberagaman. Ia tidak sekadar membuat daftar acara, tetapi membangun ekosistem yang memungkinkan seniman hidup layak dan bebas bereksperimen.
Mungkin inilah saatnya kita bertanya ulang: siapa yang seharusnya “mengelola” kebudayaan? Apakah birokrat yang menandatangani peraturan, atau masyarakat yang setiap hari menciptakan makna dan simbol baru di ruang hidupnya ? Jika jawabannya adalah masyarakat, maka peraturan seharusnya bersifat memfasilitasi, bukan membatasi.
Kita tidak sedang menolak pelestarian tradisi, tetapi menolak penyempitan makna budaya. Kita tidak menolak kebijakan, tetapi menolak cara pandang yang menempatkan budaya sebagai atribut seremonial. Bandung punya modal besar –sejarah intelektual, jaringan komunitas, dan semangat eksperimentasi– untuk menjadi contoh kota dengan kebijakan kebudayaan yang progresif.
Namun, modal itu akan sia-sia jika pemerintah terus berpikir dengan logika administratif yang usang. Jika seni harus diukur dari KTP, jika ruang budaya ditentukan oleh izin acara, dan jika penghargaan budaya hanya diberikan kepada mereka yang “terdata,” maka yang lahir bukan masyarakat kreatif, melainkan masyarakat patuh.
Seni seharusnya menjadi cermin yang memantulkan realitas –kadang kusam, kadang getir, tapi jujur. Ketika cermin itu diatur oleh peraturan, maka yang tampak bukan lagi kenyataan, melainkan wajah kekuasaan yang disolek agar tampak indah.
Bandung tidak butuh branding baru. Kota ini hanya butuh keberanian untuk kembali berpikir. Ia butuh pemimpin yang memahami bahwa kebudayaan bukan soal panggung, tetapi soal kesadaran. Bahwa pelestarian budaya bukan sekadar melindungi masa lalu, melainkan menumbuhkan daya cipta untuk masa depan.
Jika pemerintah kota sungguh ingin menjadikan Bandung sebagai kota kebudayaan, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengubah cara pandang. Lepaskan kebudayaan dari belenggu administratif, dan biarkan ia tumbuh sebagaimana mestinya — liar, hidup, dan membebaskan.
Karena pada akhirnya, kebudayaan tidak lahir dari peraturan, tetapi dari keberanian berpikir dan mencipta. Dan selama seni masih harus berhadapan dengan tembok KTP, mungkin kita masih jauh dari menjadi kota yang benar-benar berbudaya.
Epilog: Di antara Tembok dan Imajinasi
Barangkali, yang paling berbahaya dari sebuah kebijakan bukanlah isinya, melainkan cara pandang yang melahirkannya. Ketika kebudayaan dipersempit menjadi urusan dokumen dan domisili, maka yang retak bukan hanya ruang seni, tetapi juga imajinasi warga kota itu sendiri.
Bandung –yang lahir dari pertemuan gagasan, keberanian, dan kegelisahan– seharusnya tidak dikelola dengan rumus administratif yang kaku. Ia butuh keberanian untuk mendengarkan yang tidak terdaftar, memberi tempat bagi yang tak tercatat, dan menghargai karya sebagai bukti paling sah dari keterlibatan manusia dalam kebudayaan.
Sebab pada akhirnya, budaya bukan soal siapa yang punya KTP, tetapi siapa yang masih punya gagasan. Dan selama masih ada yang menulis, mencipta, dan melawan dengan kesadaran, tembok itu akan selalu bisa diretas oleh imajinasi.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

