PAYUNG HITAM #67: Janji Gizi Makan Bergizi Gratis dan Keracunan Massal
Gizi sejati tidak hanya mengisi perut, melainkan juga mengisi pikiran. Pendidikan adalah gizi akal yang jauh lebih berkelanjutan daripada piring nasi politik.

Chan
Buruh Pariwisata
30 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Saya masih ingat bagaimana berita itu pertama kali melintas di layar ponsel, tentang ratusan siswa SMKN 1 Cihampelas di Kabupaten Bandung Barat yang mengalami keracunan massal akibat mengonsumsi Makan Bergizi Gratis (MBG). Kabar terbaru, puluhan siswa SMPN 1 Cisarua di Kabupaten Bandung Barat, yang kebetulan dekat dengan tempat tinggal saya, juga mengalami hal serupa usai menyantap MBG pada 14 Oktober 2025.
Kemudian saya mencari informasi kembali di berbagai media untuk mengetahui jumlah korban yang mengalami keracunan MBG di berbagai daerah dan menemukan artikel dari Tempo.co dengan judul yang lugas Korban keracunan MBG Paling Banyak Di Jawa Barat. Datanya mencengangkan, korban MBG di Jawa Barat mencapai 4.125 orang. Tempo mengutip laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) yang melaporkan hingga 12 Oktober, jumlah anak yang keracunan akibat program MBG telah mencapai 11.566 jiwa. Menurut saya, angka itu bukan statistik kosong. Itu adalah ribuan tubuh kecil yang seharusnya sehat di ruang kelas, justru tergeletak di rumah sakit dengan wajah pucat, perut mulas, dan selang infus menusuk tangan mereka.
Di layar televisi, para pejabat masih tersenyum. Mereka berdiri di depan kamera, menyorongkan piring nasi kepada anak-anak, seolah sedang memberikan masa depan. Tetapi kenyataan di lapangan berbeda, piring itu justru menyimpan potensi risiko keracunan. Saya tidak bisa menahan diri untuk bertanya, bagaimana mungkin sebuah program yang diklaim sebagai obat stunting berubah menjadi bencana kesehatan massal?
Baca Juga: PAYUNG HITAM #64: September Hitam, Luka yang Tak Pernah Dikubur
PAYUNG HITAM #65: Melawan Represi, Menjaga Api
PAYUNG HITAM #66: Membaca Pekerja Seks dalam Bayang Kapitalisme dan Hipokrisi Moral
Antara Janji dan Realitas
Sejak awal, MBG diperkenalkan dengan jargon mencegah stunting, meningkatkan gizi anak sekolah, dan meringankan beban keluarga miskin. Sebuah niat yang terlihat baik dimata masyarakat yang tidak bisa disangkal. Namun, niat baik saja tidak cukup. Program yang dicanangkan tanpa kesiapan teknis, tanpa rantai distribusi yang rapi, dan tanpa pengawasan yang ketat, hanya melahirkan masalah baru.
Saya membaca kisah dari berbagai daerah. Anak-anak di Jawa Barat diduga keracunan serempak dan di larikan ke Puskesmas usai menyantap MBG. Para orang tua mungkin marah dengan berbagai kejadian ini. Tapi menurut saya, marah mereka mungkin akan direduksi oleh stigma dan dianggap tidak mendukung program pemerintah. Yang ironis, kelalaian teknis berubah jadi dosa sosial yang ditanggung masyarakat.
MBG bukanlah program kecil. Ia menelan triliunan rupiah dari APBN. Uang rakyat dipakai untuk menyediakan nasi kotak massal, diproses di dapur seadanya, diangkut tanpa fasilitas rantai dingin, lalu sampai ke sekolah dalam kondisi yang kerap sudah tidak layak.
Saya hanya bisa membayangkan mungkin dengan anggaran sebesar itu, berapa banyak anak yang tidak mampu melanjutkan pendidikan bisa kembali melanjutkan pendidikan? Berapa banyak ruang kelas bocor bisa diperbaiki dengan uang sebesar itu? Berapa banyak guru honorer bisa digaji layak? Berapa banyak laboratorium sekolah bisa dibangun? Apa artinya perut kenyang satu kali sehari, jika anak-anak tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan sampai tingkat atas karena tidak mempunyai biaya atau bahkan siswa yang belajar di ruang kelas tidak layak, dengan buku usang, ditemani guru yang frustrasi karena hidupnya sendiri tidak sejahtera?
Kritik pada Program Pencitraan
Saya melihat MBG bukan sekadar program gizi, melainkan panggung politik. Ia lahir dalam gegap gempita, dicanangkan sebagai bukti kepedulian negara. Tapi bukankah kepedulian sejati terletak pada kualitas, bukan sekadar kuantitas? Bukankah lebih penting menjamin pendidikan yang layak, kebersihan dan keberlanjutan program, daripada sekadar menunjukkan angka porsi makanan yang dibagikan?
Program ini memperlihatkan wajah klasik negara kita bagaimana kebijakan besar yang tergesa-gesa, sarat pencitraan, tapi rapuh di eksekusi. Akibatnya, yang menanggung risiko adalah rakyat, terutama mereka yang tidak punya pilihan lain selain menerima.
Menurut pendapat saya kalau benar negara peduli pada gizi dan masa depan anak, ada banyak jalan yang lebih masuk akal daripada MBG, di antaranya:
- Subsidi pangan langsung ke keluarga. Alihkan anggaran untuk memberikan kupon atau bantuan tunai khusus membeli lauk sehat, sayuran, buah, dan sumber protein di pasar lokal. Dengan cara ini, mungkin keluarga bisa menentukan kebutuhan anaknya sesuai kondisi.
- Kantin sekolah sehat. Bangun kantin dengan standar higienis, awasi secara rutin oleh dinas kesehatan dan komite sekolah. Lebih murah, lebih transparan, dan lebih aman dibandingkan dapur massal yang mengirim ribuan kotak nasi sekaligus.
- Perbaikan sanitasi dan air bersih. Banyak kasus gizi buruk bukan hanya karena kurang makan, tapi karena penyakit akibat sanitasi buruk. Anak-anak yang minum air kotor akan tetap sakit meski diberi nasi gratis.
- Pendidikan gizi. Memberikan edukasi dan sosialisasi keluarga, guru, dan siswa tentang pola makan sehat. Anak-anak yang tahu cara memilih makanan akan lebih tahan terhadap arus jajanan murah yang berbahaya.
- Pendidikan gratis. Uang triliunan sebaiknya diarahkan juga untuk membebaskan biaya sekolah, menyediakan buku gratis, transportasi gratis, bahkan subsidi dari jenjang sekolah dasar bahkan sampai kuliah untuk anak kurang mampu. Sebab kenyang itu hanya sehari, tapi pendidikan akan memberi bekal seumur hidup.
Makanan gratis sekali sehari tidak menjamin masa depan, tapi pendidikan gratis bisa membebaskan keluarga dari kemiskinan lintas generasi. Triliunan rupiah yang dihamburkan untuk makanan bergizi gratis bisa dialihkan untuk beasiswa, perpustakaan, internet gratis, pelatihan guru. Dan menurut saya itu merupakan investasi jangka panjang, bukan pesta sesaat.
Pendidikan sebagai Gizi Akal
Saya percaya gizi itu penting. Tapi saya juga percaya bahwa gizi sejati tidak hanya mengisi perut, melainkan juga mengisi pikiran. Pendidikan adalah gizi akal yang jauh lebih berkelanjutan daripada piring nasi politik. Seorang anak yang mendapatkan pendidikan gratis, berkualitas, dan layak, akan mampu mencari makan sendiri dan akan mampu memperjuangkan hidupnya, tanpa harus menunggu belas kasihan negara.
Saya menolak MBG, bukan karena saya anti gizi, tapi karena saya anti kebodohan massal yang dibungkus slogan mulia. Negara tidak boleh menjadikan anak-anak sebagai kelinci percobaan dari proyek politis yang tergesa-gesa.
Kalau benar negara peduli, hentikan pemborosan ini. Berikan pendidikan gratis, bangun kantin sehat, perbaiki sanitasi, libatkan masyarakat. Jangan lagi menjadikan anak-anak sebagai kelinci percobaan untuk proyek politik yang terburu-buru. Sebab masa depan bangsa tidak dibangun dari piring nasi yang basi, tapi dari pikiran yang tercerahkan, tubuh yang sehat, dan kesempatan yang setara.
***
*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak dan Aksi Kamisan Bandung

