Dualisme Organisasi Mahasiswa: Cermin Retak Nalar Kolektif Kampus
Dualisme organisasi mahasiswa adalah alarm keras bahwa demokrasi kampus sedang butuh reorientasi nilai.

Fathan Muslimin Alhaq
Penulis konten lepas asal Jakarta
31 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Di tengah gegap gempita dunia pergerakan kampus, dualisme organisasi mahasiswa menjadi ironi yang terus berulang. Di ruang yang seharusnya menjadi laboratorium kepemimpinan dan demokrasi, justru muncul konflik internal yang menyerupai dinamika politik tingkat nasional.
Fenomena ini bukan hal baru, tapi kini semakin kompleks –apalagi di era digital, ketika setiap kubu berlomba menunjukkan legitimasi di media sosial.
Dualisme organisasi mahasiswa biasanya berawal dari konflik kepemimpinan –siapa yang sah menjadi ketua, siapa yang berhak mengatasnamakan lembaga. Perbedaan tafsir terhadap AD/ART dan hasil musyawarah sering kali menjadi pemicu utama. Akibatnya, muncul dua versi organisasi: satu mengklaim legalitas struktural, satu lagi menuntut legitimasi moral.
Menurut Pusat Kajian Kepemudaan Universitas Indonesia (2022), sekitar 42 persen organisasi mahasiswa di kampus besar pernah mengalami konflik struktural internal. Dari jumlah tersebut, setengahnya berujung pada pembentukan dua kubu kepengurusan. Artinya, hampir setiap dua dari lima organisasi mahasiswa memiliki potensi terbelah karena krisis kepercayaan internal.
Fenomena ini mengingatkan pada pepatah lama: “Ketika visi kehilangan arah, ego mengambil alih kendali.” Dualisme bukan hanya perbedaan pendapat, tapi juga pertarungan legitimasi yang seringkali disulut oleh ambisi pribadi, kurangnya komunikasi, serta minimnya mekanisme penyelesaian konflik di tingkat kampus.
Baca Juga: Gugatan LMID Atas UU Sisdiknas, Menuntut Pendidikan Gratis Semua Jenjang
Reformasi TNI di Persimpangan Jalan
Anak Muda Bisa Apa?
Dampak Dualisme
Efek domino dari dualisme organisasi mahasiswa begitu terasa. Yang pertama, proses kaderisasi terhenti. Mahasiswa baru bingung harus bergabung ke kubu mana, sementara kegiatan internal tersendat karena tidak ada satu keputusan yang dianggap sah. Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2023) menunjukkan bahwa organisasi dengan konflik internal mengalami penurunan partisipasi anggota hingga 25 persen dalam satu tahun berjalan.
Yang kedua, hilangnya kredibilitas organisasi di mata publik kampus. Dosen pembina enggan terlibat, pihak birokrat kampus ragu memberikan legalitas, dan mahasiswa umum mulai menjauh. Ketika dua kubu terus saling klaim, nilai-nilai perjuangan mahasiswa yang seharusnya menyuarakan isu sosial justru terkubur oleh pertikaian internal.
Ironisnya, dualisme sering kali justru diwarnai dengan narasi besar yaitu “demi demokrasi” atau “melawan ketidakadilan struktural”. Padahal, jika ditelisik lebih dalam, konflik tersebut sering kali dipicu oleh ego personal dan minimnya mekanisme transisi kepemimpinan yang sehat.
Akar Masalah
Dualisme dalam organisasi mahasiswa tidak muncul secara tiba-tiba. Ia tumbuh dari ketimpangan antara nilai dan praktik. Di atas kertas, AD/ART menjamin musyawarah mufakat dan keterbukaan, namun di lapangan, sering kali proses pemilihan justru didominasi oleh kelompok tertentu.
Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Riset Sosial Kampus Nusantara (2024) menemukan bahwa 70 persen konflik organisasi mahasiswa diawali dari sengketa pemilihan ketua atau pengurus inti. Bahkan, dalam beberapa kasus, pemilihan dilakukan tanpa pengawasan yang memadai, tanpa notulensi resmi, atau tanpa verifikasi keabsahan peserta.
Budaya politik kampus yang seharusnya menjadi miniatur demokrasi justru sering berubah menjadi ajang perebutan simbolik kekuasaan. Mahasiswa terjebak dalam pola pikir “menang-kalah” alih-alih “benar-salah”. Akibatnya, semangat kolektif tergantikan oleh loyalitas kubu.
Krisis legitimasi ini diperparah oleh kurangnya peran aktif birokrasi kampus. Banyak pihak rektorat yang memilih diam dengan alasan netralitas, padahal diamnya otoritas justru memperpanjang ketidakpastian. Di sisi lain, organisasi mahasiswa kehilangan figur mediator yang bisa menengahi konflik dengan adil dan objektif.
Jalan Rekonsiliasi
Mengurai benang kusut dualisme organisasi mahasiswa tentu tidak mudah, tapi bukan mustahil. Kuncinya terletak pada pembangunan sistem demokrasi internal yang transparan dan inklusif.
Pertama, perlu ada reformasi AD/ART yang secara tegas mengatur mekanisme penyelesaian sengketa internal. Tidak cukup hanya mengandalkan musyawarah lisan; harus ada prosedur tertulis yang disepakati bersama, termasuk sanksi bagi pihak yang melanggar keputusan forum resmi.
Kedua, kampus harus aktif menjadi fasilitator, bukan sekadar penonton. Birokrat dan dosen pembina perlu hadir sebagai jembatan, memastikan bahwa setiap keputusan organisasi mengacu pada prinsip demokrasi kampus, bukan kepentingan pribadi.
Ketiga, organisasi mahasiswa perlu membangun budaya evaluatif. Setiap pergantian kepemimpinan harus disertai laporan pertanggungjawaban yang jelas dan bisa diakses anggota. Transparansi adalah vaksin terbaik melawan konflik laten.
Selain itu, ruang digital juga harus digunakan secara produktif. Media sosial jangan lagi dijadikan ajang saling sindir antar kubu, tapi sarana edukasi politik dan advokasi isu sosial. Dengan begitu, organisasi mahasiswa bisa kembali ke jalur perjuangannya: menjadi agent of change, bukan agent of chaos.
Dualisme organisasi mahasiswa adalah alarm keras bahwa demokrasi kampus sedang butuh reorientasi nilai. Ini bukan sekadar masalah siapa yang benar atau salah, melainkan refleksi dari cara mahasiswa memaknai kepemimpinan, dialog, dan tanggung jawab moral.
Organisasi mahasiswa seharusnya menjadi ruang tumbuhnya kesadaran kolektif, bukan panggung pertikaian ego. Jika mahasiswa gagal menjaga integritas organisasinya sendiri, bagaimana mungkin bisa dipercaya memperjuangkan kepentingan masyarakat luas?
Dalam dunia yang kian terpolarisasi, tugas terbesar mahasiswa bukan memperbanyak kubu, tapi memperkuat jembatan. Sebab, sebagaimana kata Soekarno, “Pemuda yang bersatu bisa mengguncang dunia, tapi yang terpecah hanya akan jadi gema dari kekuasaan.”
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

