Buruh di Cimahi Butuh Fasilitas Pengasuhan Anak, Mendukung Perempuan Pekerja
Minimnya fasilitas pengasuhan anak membuat buruh perempuan kehilangan hak bekerja dan anak kehilangan hak tumbuh dalam pengasuhan yang layak.
Penulis Salma Nur Fauziyah1 November 2025
BandungBergerak - Buruh di Kota Cimahi dan kota-kota lain di Indonesia membutuhkan tempat pengasuhan anak (daycare). Ketiadaan fasilitas ini kerap menempatkan buruh, terutama perempuan, pada dilema antara tetap bekerja atau berhenti demi mengasuh anak.
Siti Eni, Koordinator Departemen Perjuangan Buruh Perempuan Federasi KASBI dan FPPB Cimahi menilai, keberadaan pengasuhan anak sangat krusial bagi buruh, mengingat banyak anak buruh yang harus dititipkan kepada keluarga mereka di kampung. Ini berisiko karena akan menimbulkan perbedaan pola asuh anak, juga hubungan emosional anak dan ibu cenderung menjauh.
Siti mencontohkan, mayoritas buruh di sektor padat karya adalah perempuan, mencapai 90 persen. Banyak di antara mereka mengalami stres setelah cuti melahirkan karena tidak memiliki tempat penitipan anak.
“Saat mereka harus kembali kerja, mereka belum mendapatkan tempat pengasuhan atau mau dititipkan di mana anak saya begitu,” tuturnya.
Sejak 2019, serikat buruh terus melakukan advokasi untuk mendorong layanan pengasuhan anak di Kota Cimahi. Upaya tersebut menghasilkan forum dialog multipihak bertajuk “Sinergi Implementasi Penyelenggaraan Taman Pendidikan Pengasuhan Anak Ramah Anak Ramah Buruh Bagi Pekerja di Kota Cimahi” yang digelar 30 Oktober 2025 di Kantor Pemerintah Kota Cimahi.
Kegiatan ini diinisiasi oleh Inti Solidaritas Buruh (ISB) dan Federasi Persatuan Perjuangan Buruh (FPPB) KASBI, serta dihadiri perwakilan pemerintah, perusahaan, dan akademisi. Siti Eni menyambut baik forum dialog lintas sektor ini.
“Kami berharap dengan adanya dialog ini, semua pihak—pemerintah, perusahaan, dan masyarakat—dapat bekerja sama agar beban tidak bertumpu pada satu pihak saja,” kata Siti.
Baca Juga: Kita Adalah Buruh
Pergi sebagai Buruh Pemetik Teh, Pulang sebagai Buruh Domestik
Dari pemerintah pusat, Asisten Deputi Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Pemenuhan Hak Anak Wilayah II Eko Novi Ariyanti Rahayu Damayanti menjelaskan bahwa pedoman pendirian tempat pengasuhan anak, atau Taman Asuh Ramah Anak (TARA), sudah tersedia.
Berkaca pada kondisi pekerja Indonesia saat ini, partisipasi pekerja perempuan masih sangat minim. Menurut Eko, dalam rentang tahun 2019-2024, gap antara pekerja laki-laki dan perempuan mencapai 30 persen. Hal ini dikarenakan rata-rata ketika perempuan pekerja menikah dan memiliki anak, mereka memutuskan untuk tidak kembali bekerja.
“Karena mereka tidak punya layanan untuk pengasuhan anak yang bersifat sementara ketika mereka bekerja,” kata Eko, menjelaskan alasan banyak perempuan berhenti bekerja setelah memiliki anak, di forum.
Karena ketiadaan tempat pengasuhan anak, para pekerja perempuan terpaksa menitipkan anaknya pada tetangga atau diasuh oleh anak mereka sendiri yang masih di bawah umur. Ini menyebabkan kerentanan terjadinya pola asuh yang tidak layak.
Eko memaparkan 2,85 persen balita mendapatkan pengasuhan yang tidak layak, 5,88 persen balita mendapatkan pengasuhan tidak layak pada ibu pekerja, dan sebanyak 21,4 persen balita tidak mendapatkan pengasuhan yang layak pada ibu tidak bekerja.
Di sisi lain, Eko memaparkan masih banyak pengelola layanan pengasuhan anak belum bersertifikat, sekitar 60 persen. Padahal pengetahuan terhadap tingkat pengasuhan anak begitu penting, sebagaimana dalam regulasi Perpres 12/2025 tentang RPJMN 2025–2029 dan UU No. 4/2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA).
"kadang-kadang itu belum dimiliki oleh agen-agen pengelola yang ada di taman pengasuhan anak,” ujarnya.
Sementara itu, Wali Kota Cimahi Ngatiyana menilai keberadaan layanan pengasuhan anak penting untuk mendukung hak anak dan kesejahteraan keluarga pekerja.
“Ayo kita bersama-sama saling tolong-menolong, bantu-membantu antara perusahaan, karyawan maupun yang lain-lainnya,” pesannya.
Potret Kepadatan dan Kerentanan Sosial di Kota Cimahi
Kota Cimahi merupakan wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi di kawasan Bandung Raya. Pada 2020, jumlah penduduknya mencapai 620.393 jiwa. Dari total penduduk tersebut, 79.659 jiwa tergolong miskin atau pra-sejahtera, dan 192.109 jiwa berada pada usia produktif.
Dengan luas wilayah hanya 4.103,73 hektare, Cimahi menjadi daerah terkecil di Bandung Raya. Lebih dari sepertiga lahannya—sekitar 1.609 hektare (39,21 persen)—digunakan untuk permukiman. Selebihnya terdiri atas lahan industri 700 hektare (17,06 persen), lahan militer 375 hektare (9,14 persen), sawah 326 hektare (7,94 persen), serta area perdagangan dan kebun campuran.
Keterbatasan ruang dan kepadatan penduduk menimbulkan tekanan sosial tersendiri, termasuk bagi kelas buruh. Angka tersebut menunjukkan kebutuhan layanan sosial yang inklusif masih menjadi tantangan nyata di tengah pertumbuhan kota yang padat dan industrial.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

