• Narasi
  • Pergi sebagai Buruh Pemetik Teh, Pulang sebagai Buruh Domestik

Pergi sebagai Buruh Pemetik Teh, Pulang sebagai Buruh Domestik

Buruh perempuan pemetik teh harus memikul beban ganda, menjadi pencari nafkah sekaligus buruh domestik. Namun mereka tetap terpinggirkan karena mereka perempuan.

Yusuf Septian

Pegiat HAM dan Demokrasi

Buruh perempuan pemetik teh di salah satu perkebunan teh di Jawa Barat. (Foto: Yusuf Septian)

20 Maret 2025


BandungBergerak.id- Pagi sekali, ia bangun lebih awal dibanding yang lain. Khawatir telat pergi bekerja, karena sebelumnya ia harus tidur sangat larut karena mengerjakan pekerjaan domestik. “Saya harus tidur dalam keadaan resah, seakan beradu cepat dengan jam dinding,” ucap seorang buruh perempuan pemetik di sebuah kebun teh terbesar di Jawa Barat. Hari itu adalah hari Minggu, di mana ia dan teman-temannya sedang bekerja lembur. Ia mengaku selalu bersemangat setiap kali lembur, sebab upahnya lebih besar dibanding hari-hari biasa.

Di sela istirahat memanen teh, ia mengeluarkan kotak bekal. Isinya tidak muluk-muluk; satu perkedel, oseng tempe, dan satu potong ayam goreng yang tidak utuh. Selain itu, dikeluarkannya juga plastik berisi comro (oncom dijero) –gorengan khas sunda– yang kemudian dengan ramah ditawarkan pada saya. Tanpa ragu, saya menerimanya dan ikut makan bersama sambil mengobrol dengan para buruh perempuan pemetik teh yang lainnya.

Tidak cukup dengan comro, saya kembali disuguhi minuman teh buatan para buruh pemetik teh. Sebuah teh yang dibuat sendiri dari daun-daun teh yang berserakan di bawah tanaman teh. Mereka menamainya Teh Gelang. Proses pembuatannya cukup mudah. Hanya dengan disangrai, kemudian diseduh. Maka teh siap disajikan.

Di tengah siang bolong, diimpit tanaman teh, kami makan sambil bersenda gurau. Sesekali saya memberikan pertanyaan usil kepada para ibu-ibu pemetik teh, “Sepulang dari sini, rasanya enak jika mandi air hangat, tidur pasti akan lebih nyenyak, bukankah begitu ibu-ibu?” Sontak semuanya menjawab dengan nada protes layaknya murid sekolah yang ingin segera menjawab pertanyaan guru. Semua menjawab dengan nada gusar dan tidak setuju, salah seorang menjawab dengan gerutuan, “Kalo pulang gak bisa langsung istirahat! harus masak nasi, harus gegeroh (cuci piring), belum lagi suami minta dibikinin ini dan itu!”

Tidak sampai di situ, serbuan jawaban yang membara masih dilancarkan oleh mereka. “Kita mah perempuan bangun paling pagi, tidur paling malam. Bangun siapin bekal suami dan anak, pulang juga begitu,” seru seorang ibu yang diikuti sautan dukungan dari teman-temannya. Satu bicara, yang lain mengiyakan. Seakan nasibnya sedang diwakili oleh temannya yang sedang berpendapat.

Setelah “diserang” ramai-ramai dengan jawaban para ibu-ibu pemetik teh, saya tidak kapok untuk usil. Saya justru semakin tersulut untuk mengganggu pikiran para ibu-ibu ini. Dengan nada dan wajah usil, saya kembali bertanya, “Emang suami tercinta tidak pernah bantu pas di rumah? Kan, sama-sama capek pulang kerja, masa tidak bantu?” Kali ini jawabannya semakin kompak tanpa keraguan, mereka menjawab bersamaan, “Enggak!”

Baca Juga: Pentingnya Membela Perempuan dengan Perspektif Perempuan
Menyoal Absennya Perlindungan Negara pada Perempuan Pekerja sekaligus Ibu Tunggal, Potret Perempuan dalam Film Mai
IWD 2025 di Bandung, Mengundang Aksi Nyata Melawan Penindasan terhadap Perempuan

Tinggal di Desa

Sebagai seseorang yang tumbuh besar di perkotaan, tinggal di pedesaan membuat saya sering terjebak pada bias-bias orang kota terhadap desa. Salah satu bias yang mungkin membuat saya menyesalinya adalah berpikir bahwa kehidupan di desa selalu tenteram dan makmur.

Kepindahan saya dari kota ke desa merupakan tuntutan pekerjaan. Saya harus tinggal di desa, dekat dengan perkebunan teh. Tinggal di dekat kebun teh membuat saya banyak bersinggungan dengan para buruhnya, terutama para pemetik teh.

Tinggal di pedesaan membuat saya kesulitan mencari sarapan pagi. Saat berkeliling mencari sarapan dengan sepeda motor di pagi hari, ternyata saya kalah pagi dengan para buruh kebun teh. Karung di tangan kiri, wadah untuk mengisi teh hasil panennya, sudah terisi penuh saat saya melintasi salah satu area perkebunan. Membuat saya bertanya-tanya, sepagi apa mereka terbangun? Dan, sore hari saya masih bertemu dengan buruh yang sama, di lokasi yang sama.

Selain rasa kagum karena kegigihan para buruh perkebunan teh yang sudah sibuk sejak pagi buta, pemandangan kebun teh yang membentang sejauh mata memandang pun membuat saya semakin kagum dan menikmati tinggal di desa. Udara yang amat sejuk, yang tidak didapatkan di kota, membuat saya merasa dimanjakan. Tapi, sungguh kehadiran buruh perkebunan teh membuat kepala saya bergejolak. Setidaknya bekerja seharian membuat saya berasumsi tentang kondisi ekonominya. Selanjutnya dalam benak muncul pertanyaan,  apakah para buruh perkebunan teh juga menikmati pemandangan kebun teh itu?

Kiranya pertanyaan-pertanyaan di dalam benak tidak saya pastikan, bisa jadi saya kehilangan nikmat akan suguhan pemandangan kebun teh. Saya akan lebih sering bergulat dengan nasib para buruh perkebunan teh yang setiap pagi dan sore melempar senyum saat berpapasan. Tapi siapa sangka, mencari tahu kehidupan dan nasibnya justru membuat pergolakan pikiran semakin menjadi.

Buruh perempuan pemetik teh di salah satu perkebunan teh di Jawa Barat. (Foto: Yusuf Septian)
Buruh perempuan pemetik teh di salah satu perkebunan teh di Jawa Barat. (Foto: Yusuf Septian)

Hari Lembur

Para buruh pemetik teh sangat menanti hari lembur. Hari lembur jatuh pada hari Minggu, di mana biasanya setiap orang menghabiskan waktu libur bersama keluarga. Setelah bekerja Senin hingga Sabtu, para buruh pemetik teh justru menyambut hari lembur dengan antusias, sebab bayarannya lebih tinggi dari hari biasanya. “Lebih baik ambil lembur, daripada di rumah, lembur dapat uang,” ucap seorang pemetik laki-laki yang sedang menghisap rokok di sela istirahat kerja di kebun teh saat ditemui.

Bukan tanpa alasan ketika mereka sangat mendambakan bekerja hingga rela melepas hari liburnya. Alasannya barang tentu karena faktor ekonomi. “Ya, kalo bukan karena kebutuhan, apalagi? Kalo dibilang cape, ya cape, badan udah gak kuat,” terang salah satu buruh perempuan pemetik teh yang berusia 54 tahun sambil duduk lesu dan memijat bahunya sendiri di tengah kebun teh.

Upah yang didapat tak menentu. Kisaran Rp 1,5 juta hingga Rp 2,5 juta per bulan. Dengan upah pas-pasan, tak jarang suami dan istri bekerja di kebun teh yang sama untuk memenuhi kebutuhan.

Ikut bekerja dan membantu perekonomian keluarga, bahkan dengan tugas dan jam kerja yang sama dengan laki-laki, tidak membuat para perempuan pemetik teh lepas dari beban kerja domestik atau sekedar bisa membagi bebannya dengan suami. Para buruh perempuan pemetik teh harus tetap mengerjakan pekerjaan rumah sebelum dan sepulang bekerja. Sambil tetap mengeluhkan pekerjaan rumah, salah satu perempuan pemetik teh menuturkan, “Ah, boro-boro dibantu (suami). Saya mah dari mulai masak, nyuci baju, piring, bersih-bersih juga sendiri. Tapi gimana lagi? Perempuan harus gitu, udah jadi kewajiban.”

Sayangnya, masih banyak yang belum menyadari kondisi demikian, di mana perempuan menanggung beban yang lebih banyak dibanding laki-laki. Kondisi demikian membuat perempuan tidak berangkat pada titik yang sama dengan laki-laki. Tetapi, di lingkungan sosial bahkan di tempat kerja sekalipun, perempuan masih sering dianggap lebih lemah atau tidak lebih kuat dari laki-laki karena ia adalah “perempuan” –tidak melihat beban ganda yang dipikulnya.

Buruh perempuan pemetik teh di salah satu perkebunan teh di Jawa Barat. (Foto: Yusuf Septian)
Buruh perempuan pemetik teh di salah satu perkebunan teh di Jawa Barat. (Foto: Yusuf Septian)

Seperti Hari Biasa

Kondisi ekonomi yang sulit menjadi akar masalah bagi keluarga buruh pemetik teh, terutama perempuan yang harus menghadapi ancaman dan eksploitasi lebih besar dalam situasi rentan ini. Mereka harus memikul beban ganda –menjadi pencari nafkah sekaligus buruh domestik– namun tetap terpinggirkan hanya karena mereka perempuan.

Pada Hari Perempuan Internasional, 8 Maret, para buruh perempuan pemetik teh tetap bekerja seperti biasa. Bangun paling pagi, tidur paling malam, tanpa tahu bahwa di luar sana, perempuan-perempuan lain serentak memperjuangkan hak-hak yang hingga kini masih jauh dari jangkauan mereka.

Sementara di kota-kota besar perempuan turun ke jalan, di desa mereka tetap membungkuk memetik teh. Sementara media sosial riuh dengan seruan kesetaraan, di tangan mereka hanya ada karung penuh daun teh yang dibayar murah. Bagaimana mereka bisa merasakan semangat perlawanan jika suara itu tenggelam dalam deru kerja keras yang tak berujung?

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel menarik lain tentang PEREMPUAN

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//