• Opini
  • Menyoal Absennya Perlindungan Negara pada Perempuan Pekerja sekaligus Ibu Tunggal, Potret Perempuan dalam Film Mai

Menyoal Absennya Perlindungan Negara pada Perempuan Pekerja sekaligus Ibu Tunggal, Potret Perempuan dalam Film Mai

Alih-alih menjadi tanggung jawab negara, perempuan seperti Mai (perempuan pekerja dan ibu tunggal) dengan semua persoalannya ada dalam eksploitasi kapitalisme.

Fajrin Sidek

Alumnus Jurusan Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung

Ilustrasi. Salah satu kelompok yang hidup di masyarakat adalah kalangan feminis. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

28 Juni 2024


BandungBergerak.id – Akhir-akhir ini di akun media sosial saya, terdapat cuplikan yang populer mengenai film Mai. Sebuah film bertemakan drama asal Negara Vietnam yang pertama tayang pada bulan April 2024 lalu. Tentu saja, beberapa potongan film tersebut yang sering saya lihat di media sosial lebih terfokus pada perjalanan romansa atau kisah cinta seorang perempuan yang berujung kandas. Akhirnya karena cukup penasaran, saya pun kemudian menonton film tersebut.

Film ini menceritakan Mai (Phuong Anh Dao) yang seorang perempuan berusia 37 tahun di mana di usianya yang sudah kepala tiga, Mai memiliki seorang anak remaja putri yang dia besarkan sendiri. Di sisi lain, Mai juga bekerja di sebuah tempat pijat, dan dalam pekerjaannya tersebut Mai tidak hanya menguras keringat untuk penghidupan putrinya melainkan juga untuk ayahnya yang sangat gemar berjudi. Dalam posisi ini, kita dapat melihat bahwa Mai memiliki peran ganda dalam kehidupannya; peran perempuan secara domestik dan publik, di mana di satu sisi Mai adalah seorang ibu, disisi yang lain Mai juga seorang pekerja.

Kehidupan Mai begitu sangat berat, selain menanggung beban ekonomis untuk kehidupan anak dan ayahnya yang kerap terlilit hutang karena berjudi. Mai juga tak luput dari stigma negatif di tempat tinggalnya. Tuduhan perempuan penggoda suami orang, pelacur hingga ujaran-ujaran amoral disematkan secara langsung kepada dirinya. Apalagi yang paling memilukan adalah tuduhan-tuduhan tersebut dilontarkan langsung oleh tetangga-tetangganya yang juga perempuan.

Selain itu, di tempat kerjanya, Mai selalu menjadi objektivikasi seksual terutama dari para lelaki yang dalam hal ini kerap mengarah pada kekerasan dan pelecehan seksual. Hal ini didukung dari posisi Mai yang seorang terapis pijat, di mana para pengunjung yang ia layani bukan hanya dari kalangan perempuan tetapi juga dari laki-laki. Ditambah lagi, terdapat beberapa rekan kerja Mai yang sesama perempuan merasa tersaingi karena rupa Mai yang dianggap jauh lebih cantik sehingga memunculkan persepsi bahwa karena kecantikannya banyak lelaki yang terpikat kepadanya dan memilih Mai untuk menjadi pemijat para pelanggan.

Meskipun kehidupan Mai cukup berat, kehadiran seorang laki-laki yang berusaha mengisi hatinya yang sudah lama kosong menjadi secercah harapan bagi aspek inheren kehidupan personalnya. Pertemuan Mai dengan Sau (Tuan Tran) menumbuhkan benih-benih cinta yang sudah lama tidak ia jumpai. Meskipun pada akhirnya keduanya saling mencintai, namun harapan untuk bersama pupus karena tidak adanya restu dari Ibu Sau.

Tidak adanya restu Ibu Sau yang menghalangi agar Mai dapat menjalin kasih dengan Sau bukan tanpa alasan. Selain karena keadaan ekonomi yang timpang, di mana Sau adalah anak konglomerat dan Mai seorang yang tak berkecukupan, juga di satu sisi Mai memiliki masa lalu yang dianggap kelam oleh Ibu Sau.

Kelamnya masa lalu Mai justru diungkap sekaligus karena perlakuan dari ayahnya sendiri. Saat berusia muda Mai dipaksa oleh Ayahnya untuk melayani laki-laki hidung belang. Ayah Mai yang seorang penjudi itu terlilit hutang dan tidak memiliki cara apa pun untuk bisa mendapatkan uang untuk melunasi hutang-hutangnya, akhirnya ia pun harus mengorbankan Mai yang masih gadis. Akibat perlakukan ayahnya tersebut, Mai bahkan harus hamil di usia dini dan melahirkan putrinya yang ia rawat hingga besar sendirian.

Baca Juga: Pentingnya Membela Perempuan dengan Perspektif Perempuan
Karier Perempuan dalam Bayang-bayang Budaya Maskulin
Perempuan-perempuan Pembela HAM dari Bandung Melawan Penggusuran

Peran Ganda Perempuan dan Stigma Negatif Ibu Tunggal

Ester Lianawati dalam bukunya berjudul “Akhir Penjantan Dunia, Psikologi Feminis untuk Pembebasan Laki-laki dan Perempuan”, menjelaskan bahwa perempuan direduksi ke dalam tiga esensi paradoksal yaitu perawan, ibu dan pelacur. Perawan untuk menjamin kemurnian dari keturunannya, ibu untuk memberi keturunan dan pelacur untuk memberi kenikmatan seksual.

Dalam hal ini reduksi tersebut oleh Ester disebut sebagai Trinitas Peran Paradoksal yang sangat mempengaruhi kondisi psikis perempuan itu sendiri. Pengaruh tersebut melahirkan kondisi yang membuat perempuan terjebak dalam mitos kesempurnaan, mengembangkan kepatuhan untuk memenuhi tuntutan trinitas peran dan perasaan tidak aman serta perempuan akan selalu membandingkan dirinya dengan sesama perempuan dan melahirkan persaingan antar perempuan (Ester, 2022).

Kondisi demikian lahir tidak secara kodrati melainkan dibangun/dikonstruksi oleh sebuah kerangka ideologis milik laki-laki atau dalam istilah Ester disebut dengan Ideologi Kejantanan. Konsepsi seperti itu kemudian berdampak pada kondisi yang timpang dan membentuk suatu tatanan hierarkis antara laki-laki dan perempuan; laki-laki superior dan perempuan inferior.

Peran Trinitas yang disebutkan oleh Ester dalam konstruksi perempuan di lingkup masyarakat patriarki dapat terlihat dalam film Mai tersebut. Karakter perempuan yang harus mencapai kesempurnaan terstandarisasi oleh keperawanannya. Mai yang memiliki masa lalu kelam sebab pernah dipaksa untuk berhubungan seksual sudah bukan termasuk pada kategori perempuan sempurna, sehingga seberapa besar pun cintanya kepada laki-laki dan harapannya untuk bersama dengan orang yang dicintai oleh Mai tak akan pernah tercapai.

Selain itu, perempuan dikonstruksi untuk memiliki peran sebagai ibu dan pelacur (istilah ini sekali lagi merujuk pada konteks pemberi kenikmatan seksual). Mai adalah seorang ibu tunggal yang dipaksa untuk melahirkan dan merawat anaknya. Dalam perjalanan kepengasuhannya ia mengalami banyak penderitaan terutama dampak traumatis yang amat sangat berat, terutama kondisi psikologis Mai pasca melahirkan (Baby Blues). Dampak traumatis itu muncul karena kehamilan yang tidak di inginkan oleh Mai sendiri. Jangankan kehamilan yang tidak di inginkan, kondisi psikologis Ibu pasca melahirkan bisa menjerat siapa saja. Oleh karena itu, dukungan dan bantuan oleh orang-orang terdekat (suami atau keluarga) sangat dibutuhkan dalam hal ini.

Pada posisi yang dialami oleh Mai justru kurang sekali mendapat perhatian yang seharusnya dilakukan oleh Ayahnya. Bahkan sampai Mai menginjak usia 37 Tahun, ia harus sedemikian keras bekerja untuk penghidupan anaknya. Di samping itu, Mai yang tak bersuami kerap mendapat stigma negatif yang menambah kepiluan dalam hidupnya. Stereotip pelacur, perempuan penggoda suami, atau perempuan nakal sering dialamatkan kepada Mai. Apalagi ini dilontarkan oleh sesama perempuan. Perilaku misoginis ternyata tidak hanya ditunjukkan oleh laki-laki, namun justru bisa dilakukan oleh perempuan. Di sini istilah Women Supporting Women menjadi hilang.

Mai, Perempuan Pekerja dan Kontekstualisasinya di Indonesia

Penjinakan terhadap perempuan secara sosial dan politik sudah dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru di Indonesia. Penjinakan atas perempuan tidak lepas dari perkembangan kapitalisme di Indonesia, di mana kemampuan perempuan dalam sektor ekonomi hanya dijadikan sebagai tenaga kerja sekunder. Karena statusnya yang demikian maka perempuan sangat mudah dan rentan untuk di eksploitasi, salah satu contohnya adalah pengupahan yang relatif rendah dibanding laki-laki.

Julia Suryakusuma dalam bukunya berjudul “Ibuisme Negara, Konstruksi Keperempuanan Orde Baru”, menjelaskan bahwa proses penjinakan di bawah rezim Orde Baru dapat terlihat melalui dua konsep yaitu “Pengiburumahtanggaan” dan “Ibuisme”. Pengiburumahtanggaan atau housewifization merupakan istilah yang digunakan oleh seorang Feminis Marxis bernama Maria Mies. Istilah tersebut merujuk pada definisi “proses di mana kaum perempuan secara sosial merupakan ibu rumah tangga yang tergantung pada pendapatan suami, tanpa mengindahkan apakah secara de facto ia ibu rumah tangga atau tidak” (Julia, 2021).

Selanjutnya konsepsi Ibuisme dikembangkan oleh Madelon Djajadingrat di mana menurutnya ideologi ibuisme merupakan gabungan nilai-nilai borjuis kecil Belanda dengan nilai-nilai tradisional priayi. Identifikasi Djajadiningrat ini menunjukkan bahwa perempuan (ibu) dalam konteks Indonesia selalu berkait kelindan hubungannya dengan keluarga, kelompok, kelas, perusahaan, atau negara. Sehingga perempuan dalam hal ini tidak bisa eksis pada dirinya sendiri, karena akan selalu terkoneksi dengan sesuatu, baik itu keluarga, komunitas dan negara atau anak, suami serta bapak.

Menurut Julia, kedua kerangka konseptual ini masih bersifat fungsionalistis dan mengabaikan peran negara sebagai aspek paling penting konstruksi keperempuanan. Oleh karena itu, ia menambahkan analisis kata kunci dari Van Langenberg tentang peran negara. Julia memasukkan analisis tersebut karena baginya negara berperan penting dalam konstruksi sosial keperempuanan. Adapun kata kunci disusun dan ditempatkan dalam kategori-kategori; kekuasaan, legitimasi, akumulasi, budaya dan pembangkangan.

Lebih lanjut, khususnya bagi perempuan pekerja terdapat istilah lain yang menggambarkan kondisi perempuan di Indonesia yaitu domestikasi yang mempunyai implikasi penjinakan, segregasi dan depolitisasi kaum perempuan. Domestikasi mengharuskan penjinakan kaum perempuan dalam proses akumulasi, yang di samping itu negara bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan kapitalis untuk menciptakan buruh perempuan yang mudah diatur dan mendukung industri-industri ringan dalam negeri serta menopang praktik diskriminasi upah (upah rendah) yang membuat buruh perempuan lebih diminati.

Maka dalam hal tersebut negara menjadi aktor dalam proses akumulasi kapitalis dan setali dengan itu mendefinisikan suatu ideologi gender untuk kepentingannya. Julia Suryakusuma menyebut hal tersebut dengan “Ibuisme Negara”, yakni ideologi gender yang menciptakan stereotip kaku-baku dan bersifat sangat membatasi karena tujuannya untuk mengontrol dan menciptakan tatanan hierarkis, di mana dalam ideologi tersebut mengandung unsur-unsur “pengiburumahtanggan” dan “ibuisme”.

Perempuan pekerja pada saat yang sama merupakan istri dari seorang suami dan ibu bagi anak-anaknya. Ia tidak hanya menanggung beban ekonomis, melainkan juga pelayanan (termasuk hubungan seksual) bagi suami dan juga pengasuhan bagi anak-anaknya. Peran ganda ini termasuk bagian dari konstruksi negara orde baru melalui domestikasi yang menjadi dogma sampai dengan sekarang yang diasumsikan seolah-olah kodrati.

Kondisi perempuan dalam konteks Indonesia tak beda jauh dalam film Mai. Karakter Mai sebagai perempuan pekerja dan ibu tunggal banyak ditemui di Indonesia. Lingkungan Mai yang tidak mendukungnya sebagai pekerja sekaligus ibu tunggal menimbulkan dampak buruk baik secara mental ataupun fisik.  Terlebih pada kondisi tersebut peran negara secara sosial justru absen.

Di Indonesia konteks demikian sangat lumrah ditemui. Perhatian negara terhadap perempuan seperti Mai selalu luput dan jarang terjamah. Pada titik ini maka pengabaian terhadap kondisi perempuan tersebut menjadi persoalan. Bahwa keadaan dan beban ekonomi menjadi tanggung jawab personal, terlebih tanggung jawab itu dipikul oleh seorang perempuan sekaligus ibu tunggal. Alih-alih seharusnya menjadi tanggung jawab negara, perempuan dengan keadaan yang seperti itu menjadi keuntungan kapitalisme untuk melancarkan eksploitasinya.

Mai dan perempuan-perempuan di Indonesia yang mengalami keadaan seperti itu harus menjadi perhatian khususnya bagi pemerintah. Keberpihakan politik kepada kaum perempuan merupakan hal yang mutlak, agar ke depan tidak ada lagi perempuan yang mengalami kondisi seperti Mai; seorang perempuan yang trauma akan masa lalunya, stigma negatif, ibu tunggal dan pekerja dengan upah murah.

Terakhir saya ingin mengutip kalimat dari Mai dan menambahkannya. 

“Tidak ada yang mati karena kehilangan seseorang, tetapi orang bisa saja mati karena trauma yang berat, upah yang rendah, dan hidup yang tidak layak.”

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang perempuan

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//