PAYUNG HITAM #68: Memaknai Arc Wano dalam Animasi One Piece sebagai Cermin Dunia Kita
Arc Wano adalah perumpamaan tentang siklus abadi bagaimana penguasa lahir, rakyat menderita, pemberontakan terjadi, dan sistem kembali berputar.

Chan
Buruh Pariwisata
6 November 2025
BandungBergerak.id – Beberapa waktu yang lalu, saya menonton kembali animasi One Piece, tepatnya pada episode Arc Wano. Niat awalnya sederhana, sekadar mencari hiburan di tengah kekosongan, melepas lelah dari rutinitas yang terasa kian mekanis. Namun di luar dugaan, bagian ini malah menyeret saya ke dalam perenungan yang dalam tentang bagaimana dunia yang kita tinggali, tentang rakyat yang dipaksa bahagia, dan tentang kebebasan yang selalu dikorbankan atas nama stabilitas.
Wano digambarkan sebagai negeri tertutup, diperintah oleh penguasa zalim yang bekerja sama dengan monster. Di bawah kekuasaannya, rakyat hidup miskin dan lapar, namun tetap menunduk. Mereka menyembah tradisi, menghormati kehormatan, dan membiarkan diri diperas demi sesuatu yang disebut kedamaian.
Saya teringat pada gagasan Enrico Malatesta bahwa "kebebasan hanya mungkin bila setiap orang memiliki sarana untuk hidup mandiri, tanpa bergantung pada kehendak atau belas kasihan orang lain”.
Saya memaknai gagasan itu sebagai pengingat bahwa Kebebasan sejati tidak akan datang dari belas kasihan siapa pun, ia hanya akan lahir dari keberanian manusia untuk menolak diperintah dan berani berdiri di atas kakinya sendiri. Gagasan itu bergema saat saya melihat rakyat Wano tertawa palsu sambil menelan air limbah, tentang bagaimana anak-anak yang bermain di sungai beracun dan masyarakat yang menutupi luka dengan senyum palsu. Dunia fiksi itu terasa terlalu nyata, seolah yang berubah hanya kostum kimono menjadi seragam kerja, pedang menjadi kartu identitas, dan penjara menjadi rutinitas.
Yang paling menohok bagi saya bukanlah pertempuran besar, melainkan sosok kecil bernama Otama. Seorang gadis yang tinggal di pinggiran Wano, hidup dalam kelaparan dan kesepian. Di hari ulang tahunnya, ia hanya memiliki satu mangkuk nasi sebagai hadiah yang begitu berharga baginya. Namun nasi itu justru ia berikan kepada Luffy, sang bajak laut asing yang baru saja menyelamatkannya dari bahaya. Padahal ia sendiri belum makan selama berhari-hari. Beberapa waktu kemudian, Otama kembali menangis bahagia ketika pertama kali mencicipi oshiruko atau sup kacang merah manis. Air mata itu bukan sekadar karena rasa kenyang, tetapi karena ia lupa seperti apa rasanya hidup tanpa lapar. Saya berhenti menonton beberapa detik, menahan sesuatu di dada.
Bagaimana mungkin seorang anak kecil yang kelaparan bisa menganggap semangkuk nasi sebagai hadiah terindah?
Baca Juga: PAYUNG HITAM #65: Melawan Represi, Menjaga Api
PAYUNG HITAM #66: Membaca Pekerja Seks dalam Bayang Kapitalisme dan Hipokrisi Moral
PAYUNG HITAM #67: Janji Gizi Makan Bergizi Gratis dan Keracunan Massal
Kemiskinan sebagai Kegagalan Sistem
Otama membuat saya berpikir tentang banyak hal di luar layar. Tentang anak-anak di negeri ini yang juga tumbuh dengan lapar, tentang keluarga yang tersenyum di tengah tagihan, dan tentang bagaimana kemiskinan sering dipoles dengan moralitas agar tampak terhormat.
Kita hidup dalam masyarakat yang menjadikan penderitaan sebagai pelajaran kesabaran, bukan sebagai tanda kegagalan sistem. Wano dalam pandangan saya bukanlah sebuah negeri fiksi. Ia adalah cermin yang memantulkan wajah dunia, tempat di mana rakyat dipaksa bahagia agar tidak mengganggu stabilitas.
Di wano juga saya melihat bagaimana para penduduk Ebisu. Mereka selalu tertawa sepanjang waktu, bahkan saat kematian merenggut orang-orang yang mereka cintai.
Kemudian terungkap bahwa mereka tidak benar-benar bahagia, mereka dipaksa tersenyum setelah memakan buah SMILE, racun yang membuat mereka kehilangan kemampuan untuk menangis.
Dan di titik itulah saya merasa ngeri. Bukankah kita juga hidup seperti penduduk Ebisu? Tersenyum di tengah beban hidup, bercanda di antara hutang, menertawakan berita buruk agar tidak terlihat kalah. Kita juga memakan buah SMILE versi kita sendiri dengan upah minimum, lembur tanpa henti, gawai, konten hiburan, dan mimpi kecil tentang kemapanan, itu semua agar kita tidak sadar sedang dirampas perlahan.
Masyarakat modern adalah Ebisu besar, di mana tawa menjadi mekanisme pertahanan terhadap absurditas hidup, bagaimana masyarakat yang dipaksa gembira agar tak punya waktu untuk marah. Namun Wano tidak hanya tentang penderitaan. Ia juga tentang perlawanan. Tentang Kozuki Oden, yang ingin membuka negeri agar rakyatnya melihat dunia, dihukum mati dalam minyak mendidih.
Tentang rakyat yang menertawakannya karena termakan propaganda. Tetapi dua dekade kemudian, semangatnya bangkit dalam diri mereka yang masih berani bermimpi.
Lalu datang Luffy dan kawan-kawan. Bajak laut yang membawa tawa, kebodohan, dan keberanian. Mereka datang bukan sebagai penyelamat, tapi sebagai pengingat bahwa melawan tidak selalu berarti yakin akan menang, tapi karena diam berarti mati.
Luffy tidak punya ideologi rumit, tapi ia punya empati yang jujur. Saat ia berteriak bahwa ia telah berjanji kepada Otama akan mengalahkan Kaido dan ingin mengubah Wano menjadi tempat di mana siapa pun bisa makan sepuasnya. kalimat itu menyimpan sesuatu yang sering dilupakan para pemimpin dunia bahwa keadilan sejati lahir bukan dari kalkulasi politik, tapi dari rasa iba terhadap sesama.
Seperti yang pernah diungkapkan Peter Kropotkin dalam bukunya Mutual Aid : A Factory Of Evolution (1902) bahwa "Kehidupan hanya bisa bertahan melalui kerja sama dan solidaritas, bukan melalui persaingan.”
Dan begitulah cara Luffy bertarung, bukan demi kekuasaan, melainkan demi menyalakan kembali solidaritas di antara mereka yang telah kehilangan harapan.
Namun ketika Kaido akhirnya tumbang, saya tidak merasa lega. Karena saya tahu bahwa setiap kali tirani jatuh, dunia hanya mengganti wajah penindasan dengan wajah baru.
Kebebasan di Wano menurut saya seperti halnya kebebasan di dunia nyata, selalu bersifat sementara. Arc Wano adalah perumpamaan tentang siklus abadi bagaimana penguasa lahir, rakyat menderita, pemberontakan terjadi, dan sistem kembali berputar.
Tapi justru di situlah makna terdalamnya, bahwa kebebasan bukanlah keadaan tetap, melainkan perjuangan tanpa akhir.
Kebebasan Sejati Bukan Janji Politik
Di suatu malam, saya menutup layar ponsel dan mengakhiri Arc Wano dalam animasi One Piece, dan Wano masih bergema di kepala. Keesokan harinya saat berkendara di jalanan kota, saya melihat gedung-gedung menjulang, wajah-wajah lelah, dan berita tentang harga yang naik. Saya sadar, Wano tidak jauh di sana. Ia hidup di dalam kita.
Kita semua, pada satu titik, pernah menjadi rakyat Wano yang menunduk pada ketakutan, memuja stabilitas, membiarkan kebebasan dibunuh atas nama ketertiban.
Kita pernah menjadi Orochi, pengecut yang bersembunyi di balik gelar dan keamanan kecil.
Dan mungkin, sesekali, kita juga pernah menjadi Luffy bodoh, keras kepala, tapi hidup sepenuhnya, meski hanya sesaat.
Arc Wano mengajarkan bahwa melawan bukan soal menang atau kalah, tapi soal menjaga agar hati tidak mati.
Bahwa keberanian kadang hanya berarti menolak tertawa ketika dunia memaksamu tersenyum.
Bahwa kebebasan sejati bukan janji politik, melainkan sikap batin untuk menolak diperintah, bahkan oleh rasa takut itu sendiri.
Bagi saya, kebebasan yang diperjuangkan di Wano bukanlah janji utopis, melainkan perjuangan yang harus terus dihidupkan. Ia adalah tarian yang tak pernah selesai, seperti yang pernah ditulis Emma Goldman, dalam autobiografinya Living My Life (1931): "Aku ingin kebebasan, hak untuk mengekspresikan diri, untuk menikmati hal-hal yang indah dan bersinar dalam hidup.”
Dari kalimat itulah lahir ungkapan legendaris yang sering dikaitkan dengannya, "Jika aku tidak bisa menari, aku tidak mau ikut revolusimu."
Goldman mengingatkan kita bahwa kebebasan sejati bukan hanya soal menggulingkan kekuasaan, tetapi juga tentang merayakan hidup di tengah reruntuhan dunia.
Kebebasan, baginya bukan slogan, melainkan cara hidup yang merayakan sukacita meski dunia runtuh. Dan di tengah kekacauan Wano, saya melihat hal itu di wajah orang-orang yang berani tertawa bukan karena dipaksa, tapi karena memilih untuk tetap hidup.
Mungkin, di dunia yang absurd ini, kita semua sedang menjalani Arc Wano kita masing-masing.
Dan selama masih ada satu orang yang berani menolak tunduk, Wano tidak akan pernah benar-benar mati.
Seperti kalimat yang terus bergema dikepala saya dan entah dari mana asalnya bahwa "Lebih baik terbakar dalam api kebebasan, daripada membusuk dalam ketundukan."
***
*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak dan Aksi Kamisan Bandung

