• Opini
  • Renjana dan Kota yang Kehilangan Imajinasi

Renjana dan Kota yang Kehilangan Imajinasi

Renjana dalam konteks sosial hari ini bisa dibaca sebagai metafora dari Kota Bandung yang bergerak tanpa arah batin.

Abah Omtris

Musisi balada Bandung

Ilustrasi. Orang muda dan kotanya. (Ilustrator: Arctic Pinangsia Paramban/BandungBergerak)

7 November 2025


BandungBergerak.idRenjana berjalan pelan / menyentuh pelipis hujan / ia tak hendak bicara / hanya duduk /di antara daun gugur dan gelas kosong.

Bait pembuka lagu Renjana menghadirkan suasana batin yang hening, namun sarat makna. Ia bukan sekadar puisi tentang cinta, melainkan potret tentang sebuah kota yang kehilangan kepekaan. Di tengah hiruk-pikuk Bandung yang terus menghias diri dengan festival, taman digital, dan mural warna-warni, lagu ini seperti bisikan kecil yang menolak tunduk pada kebisingan.

Renjana dalam konteks sosial hari ini bisa dibaca sebagai metafor dari kota yang bergerak tanpa arah batin. Bandung, yang dahulu dikenal sebagai kota gagasan, kini cenderung sibuk menata citra. Ia indah, tetapi keindahan itu sering kali menjadi kosmetik untuk menutupi keretakan sosial dan kultural yang kian dalam. Di antara daun gugur dan gelas kosong, ada ruang batin yang ditinggalkan.

Bandung hari ini sering disebut sebagai “kota kreatif,” sebuah label yang diulang tanpa jeda. Namun kreativitas yang dimaksud kerap berhenti pada permukaan: acara seremonial, konten visual, atau dekorasi ruang publik. Imajinasi sosial—yakni kemampuan membayangkan masa depan kota yang adil, setara, dan manusiawi—mulai menghilang di tengah dominasi modal dan citra.

Di satu sisi, modernisasi membawa wajah baru: jalan yang lebih rapi, ruang publik yang ramah kamera. Namun di sisi lain, ia menyingkirkan ruang hidup warga kecil, komunitas alternatif, dan kebebasan berekspresi. Kota menjadi panggung, bukan lagi ruang dialog.
Dalam situasi seperti ini, renjana hanya bisa berjalan pelan –karena tak lagi mendapat tempat untuk tumbuh.

kau boleh memanggilku gila
atau barangkali: cinta
tak penting sebenarnya
aku hanya ingin menjadi
yang kau dengar saat kau sunyi.

Bait ini menyuarakan perlawanan lembut terhadap tatanan yang menilai segalanya dengan ukuran ekonomi. Di Bandung, suara yang berbicara tentang cinta, makna, dan kesunyian sering dianggap “tidak produktif”. Padahal mungkin di sanalah sumber kewarasan sejati berada.

Lirik ini mencerminkan semangat komunitas kecil dan seniman independen yang masih berjuang menjaga kesadaran di tengah sistem yang kian pragmatis. Mereka tidak mencari panggung besar –hanya ingin menjadi gema yang terdengar saat kota kehilangan suara jiwanya.

Baca Juga: Kasus Penyegelan Bandung Zoo: Warga Bandung Melawan Oligarki Tanah
Seni dan Perlawanan: Membaca Realitas melalui Cermin Chernyshevsky
Menyoal Perwal Kota Bandung dan Krisis Cara Pandang terhadap Budaya

Gagasan, Seni, dan Gerakan Sosial

Bandung pernah menjadi ruang di mana gagasan dan seni berpadu dengan gerakan sosial. Dari masa pergerakan nasional hingga lahirnya ruang-ruang budaya kontemporer, kota ini dahulu tumbuh dari keberanian berpikir. Kini, sistem kepartaian dan birokrasi kebudayaan yang tidak sehat justru menumpulkan energi itu. Politik kota lebih sibuk memoles pencitraan dibandingkan membangun kesadaran warga.

Pemimpin yang lahir dari sistem politik koruptif akhirnya juga menjadi cermin: miskin gagasan, miskin imajinasi. Maka kebijakan kebudayaan pun berhenti pada slogan- “Bandung Juara”, “Kota Kreatif”—tanpa gagasan mendalam tentang bagaimana budaya bisa memperkuat kehidupan warga.

hidup kadang seperti jam
yang berdetak sering kita lupa
aku pun pergi
tanpa harus sampai
tanpa harus tahu siapa yang hilang.

Bandung, seperti banyak kota lain, terjebak dalam ritme yang serba cepat. Warga bekerja, beranjak, berpindah, tetapi sering lupa tujuan. Rutinitas menggantikan refleksi.
Baris “tanpa harus sampai” bisa dibaca sebagai bentuk kesadaran: bahwa hidup tak selalu harus berujung pada pencapaian, melainkan kesetiaan untuk terus berjalan –meski tanpa tepuk tangan.

Kesetiaan inilah yang tampak dalam kerja seniman, komunitas, dan warga yang masih mempertahankan ruang hidup mereka di tengah tekanan modal. Mereka menjaga renjana agar tidak padam, bahkan ketika dunia tak mendengar.

jika dunia tetap tak mendengar
aku kan tetap bernyala
di dada yang tak pernah pulang.

Bait terakhir ini menegaskan sikap eksistensial yang tegas: memilih untuk tetap bernyala meski tanpa pengakuan. Ia adalah deklarasi kecil melawan dunia yang dingin dan abai.
Dalam konteks Bandung, “dada yang tak pernah pulang” adalah simbol dari warga yang merasa asing di kotanya sendiri –mereka yang terus merindukan ruang bagi imajinasi, solidaritas, dan cinta pada kehidupan.

Namun selama masih ada yang bernyala –melalui lagu, diskusi, karya, atau tindakan solidaritas– Bandung belum sepenuhnya kehilangan dirinya. Api kecil itu adalah tanda bahwa kota ini masih punya harapan untuk pulang ke arah yang lebih manusiawi.

*

Lagu Renjana mengingatkan bahwa keberlanjutan sosial tidak hanya bergantung pada taman hijau atau infrastruktur digital, tetapi pada keberlanjutan batin dan kesadaran warga kota.
Bandung akan terus hidup hanya jika warganya masih memiliki renjana—semangat untuk berpikir, mencipta, dan mencinta dengan kesadaran.

Kota ini tidak butuh lebih banyak slogan; ia butuh ruang bagi keberanian dan imajinasi. Sebab, seperti kata lirik itu, meski dunia tak mendengar, seseorang tetap bisa bernyala.
Dan mungkin, dari nyala kecil itulah, Bandung akan menemukan kembali jiwanya.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//