• Kolom
  • CATATAN SI BOB #28: Tanam Tuai

CATATAN SI BOB #28: Tanam Tuai

Kelompok musik Tanam Tuai membawa kabar dari petani Pangalengan. Memilih membuat lagu tentang kentang dan kol: tema yang tak akan viral.

Bob Anwar

Musisi dan penulis asal Kota Bandung. Dapat di hubungi di Instagram @bobanwar_ atau [email protected]

Kelompok musik Tanam Tuai. (Foto: Bob Anwar)

13 November 2025


BandungBergerak.id – Musisi selalu punya pilihan: diam atau bicara. Victor Jara memilih bicara, tangannya dipatahkan di stadion Santiago sebelum ia dibunuh, setelah dipaksa bernyanyi terakhir kali.

Kelompok Musik Tanam Tuai jauh dari dramatika seperti itu. Tujuh musisi Bandung ini bikin lima lagu tentang petani Pangalengan: keresahan, rasa simpati dan harapan dan sebagainya. Oktober lalu mereka tampil di Pendopo Wali Kota Bandung: panggung ditata seperti kebun, sayuran di atas papan, tak ada MC. Puisi dibacakan di antara lagu.

"Kami melihat langsung bagaimana petani berjuang dengan cuaca yang tak menentu," kata Nissan Fortz, vokalis mereka. Kalimat sederhana. Tapi di baliknya ada pilihan: untuk melihat, lalu bicara.

Di Bandung hari ini, kebanyakan musisi lebih tertarik menghitung dan membanggakan angka streaming. Mereka belajar algoritma TikTok, bikin video catchy di tujuh detik pertama sebelum orang skip. Musik jadi komoditas. Dan Tanam Tuai memilih bikin lagu tentang kentang dan kol: tema yang tak akan viral.

Kenapa? Mungkin karena kesadaran. Tapi apa artinya kesadaran seniman?

Nasser banyak membaca sejarah. Novel tentang Revolusi Prancis membuat ia takut pada teror. Ketika Raja Faruk dijatuhkan 1952, rekan-rekannya ingin sang Raja dibunuh. Sembilan jam Nasser berdebat. "Pertumpahan darah membawa pertumpahan darah," katanya. Kesadaran itu, kata Mohamed Heikal kemudian, menyelamatkan Mesir dari banyak kematian. Faruk dilepaskan. Ia mati bertahun kemudian.

Tapi Nasser adalah penguasa. Kesadarannya punya gigi. Ia bisa bertindak. Sementara musisi: apa yang bisa mereka lakukan?

Di tahun 1965, Joan Baez menyanyikan We Shall Overcome di depan ribuan orang. Phil Ochs menulis puluhan lagu protes. Pete Seeger bernyanyi sampai suaranya serak. Perang Vietnam tetap berlanjut satu dekade. Musik membangkitkan kesadaran, tapi kesadaran bukan kekuatan.

Tanam Tuai tak bicara perang. Mereka bicara kentang. "Ini bukan album protes," kata Zaki Peniti, sang bassis. "Ini kabar." Dari selatan. Dari Pangalengan. Dari tanah yang memberi makan kita.

Kabar, pilihan yang rendah hati. Atau pilihan yang aman.

Rendah hati, karena mereka tahu batas. Mereka bukan aktivis. Bukan politisi. Tujuh orang dengan gitar dan suara. Kabar adalah kapasitas mereka.

Baca Juga: CATATAN SI BOB #25: Esok Pagi, Kita Putus Asa
CATATAN SI BOB #26: Apatico Pukul Sebelas Malam
CATATAN SI BOB #27: Balada Ashley

 Membawa Kabar dari Selatan

Aman, karena kabar tak menuntut. Tak menyalahkan. Seperti wartawan yang meliput lalu pulang. Seperti fotografer yang memotret anak kelaparan, menang penghargaan, lalu pindah ke subjek lain.

Di mana batas antara menyampaikan kabar dan melarikan diri dari tanggung jawab?

Saint-Just, pemimpin muda Revolusi Prancis, mulanya lembut. Ia menentang hukuman mati. Tapi keyakinan mengubahnya. "Revolusi bukanlah pengadilan, tetapi hantaman petir," katanya kemudian. "Kesalahan revolusi masa kini," tulis Camus, "dijelaskan oleh ketidaktahuan tentang batas itu."

Batas. Tanam Tuai tampaknya sadar akan batas mereka. Lima lagu. Satu pertunjukan. Kabar dari selatan yang disampaikan di pendopo kota. Tapi kesadaran akan batas, apakah itu kebijaksanaan atau ketidakberdayaan yang diberi nama lain?

Setiap hari truk dari Pangalengan turun ke Bandung. Membawa kentang, kol, wortel. Di pasar-pasar harga pun naik. Petani dapat sedikit. Dan kita di kota tak pernah tahu siapa yang menanamnya. Dalam tiga tahun terakhir, berapa hektar lahan di Pangalengan berubah jadi vila, jadi kafe? Petani menjadi buruh abadi di tanahnya sendiri?

Tanam Tuai menyampaikan kabar tentang ini. Lima lagu di Spotify. Mulai sering diputar, kebanyakan pengikut dari kota. Bukan dari Pangalengan. Di sana sinyal kurang. Petani tidur pukul delapan. Mereka tak dengar lagu tentang diri mereka.

Kita di kota yang mendengar. Tersentuh. Lalu apa? Lalu kita lanjut scroll Instagram. Cari kafe baru. Makan kentang goreng sambil bilang, "Kasihan ya, petani kita."

Kesadaran tanpa tindakan adalah kesadaran yang mandul. Tapi tindakan macam apa yang mungkin? Kita punya pekerjaan, punya hidup yang sudah berjalan. Dan petani pun tak butuh kita turun ke sana: mereka butuh harga yang adil, sistem yang berubah, kebijakan yang berpihak.

Hal-hal yang tak bisa diselesaikan dengan lima lagu.

Di akhir pertunjukan itu, sayuran di panggung dibawa pulang penonton. Jadi oleh-oleh. Mungkin dimasak. Mungkin busuk di kulkas. Dan pagi harinya, truk dari Pangalengan turun lagi. Petani bangun jam empat. Menyiram tanaman. Berdoa, semoga ada yang peduli.

Musik berhenti. Tapi dunia terus berputar.

Barangkali memang begitu: kesadaran adalah langkah pertama, tapi ia bukan langkah terakhir. Tanam Tuai sudah melangkah. Langkah selanjutnya bukan lagi tanggung jawab mereka. Tapi tanggung jawab siapa?

Pertanyaan itu tetap di sana. Menggantung.

05/11/2025

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//