• Opini
  • Dari Kereta Cepat ke Layar Gawai: Bandung di Persimpangan Kecepatan dan Imajinasi

Dari Kereta Cepat ke Layar Gawai: Bandung di Persimpangan Kecepatan dan Imajinasi

Whoosh mengubah wajah turisme Bandung: turisme instan berbasis konektivitas yang tak hanya digerakkan oleh niat menjelajah, tetapi juga oleh algoritma dan kecepatan.

TH Hari Sucahyo

Pegiat pada Laboratorium Kajian Sosial Lingkungan (LKSL) “NODES”

Kereta cepat Whoosh melintas diatas sawah garapan Ujang Itok di Cigondewah Kaler, Kota Bandung, 15 Oktober 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

13 November 2025


BandungBergerak.id – Bandung selalu punya cara untuk memikat. Di setiap tikungan jalannya, di antara lembah dan bukit yang diselimuti kabut pagi, tersimpan sesuatu yang tak lekang oleh waktu; perpaduan antara alam, sejarah, dan manusia yang terus mencipta. Tapi dalam beberapa tahun terakhir, pesonanya bergerak dengan kecepatan baru.

Sejak kehadiran Kereta Cepat Jakarta–Bandung, atau yang lebih akrab disebut Whoosh, jarak antara dua kota yang dahulu ditempuh berjam-jam kini hanya butuh sekitar tiga puluh menit. Perjalanan yang dulu penuh ritme santai, kini berubah menjadi sekejap mata. Perubahan itu membawa konsekuensi yang lebih luas daripada sekadar kemudahan transportasi. Ia mengubah cara orang berwisata, cara kota ini dipersepsikan, dan bahkan cara warganya memandang diri mereka sendiri.

Sebelum Whoosh meluncur, perjalanan menuju Bandung punya romantisismenya sendiri. Jalan berliku di Puncak atau jalur Tol Cipularang menjadi bagian dari pengalaman wisata itu. Banyak yang menikmati perhentian di Rest Area, menyeruput kopi panas sambil menatap hamparan kebun teh, atau berhenti di Cianjur membeli oleh-oleh. Kini, perjalanan yang sama hanya tinggal sekejap.

Tak ada lagi momen menunggu matahari condong di atas lembah; tak ada jeda untuk menikmati perjalanan. Segalanya menjadi efisien, cepat, dan terukur. Bandung bukan lagi kota yang “didatangi,” melainkan kota yang “dihampiri sejenak”. Perubahan ritme inilah yang menjadi simbol turisme baru: turisme instan, berbasis konektivitas, yang tak hanya digerakkan oleh niat menjelajah, tetapi juga oleh algoritma dan kecepatan.

Baca Juga: Berhentilah Membangun Wisata Alam Buatan di Priangan!
Pengabaian Risiko Bencana di Surga Wisata Lembang
Dari Bandung ke Badung, Primadona Pariwisata yang Terjebak di antara Krisis Ruang dan Ekologis

Turisme Digital dan Wisata Instan

Kehadiran Whoosh bukan sekadar proyek infrastruktur; ia juga menciptakan lanskap sosial dan ekonomi baru di Bandung. Dalam waktu singkat, arus wisatawan harian meningkat tajam. Data dari berbagai platform perjalanan menunjukkan lonjakan pesanan penginapan dan tiket atraksi setiap akhir pekan.

Banyak warga Jakarta kini melihat Bandung bukan lagi sebagai destinasi liburan panjang, melainkan sebagai “pelarian sekejap” di antara jadwal kerja. Mereka berangkat pagi, menikmati udara Lembang atau sekadar nongkrong di kafe Dago, lalu kembali sore hari tanpa harus menginap. Bandung menjadi bagian dari ritme urban Jakarta; sebuah extension kota besar yang melayani kebutuhan rekreasi kelas menengah perkotaan.

Kendati begitu, transformasi ini tak berdiri sendiri. Ia bertaut erat dengan fenomena digitalisasi yang mendefinisikan cara orang merencanakan dan mengalami perjalanan. Turisme Bandung kini tak lagi dikendalikan oleh brosur, agen perjalanan, atau rekomendasi teman. Media sosial, terutama TikTok dan Instagram, menjadi mesin utama pembentuk citra dan keputusan wisata.

Sebuah video berdurasi tiga puluh detik yang memperlihatkan hidden gem kafe di Punclut bisa membuat antrean panjang dalam hitungan hari. Algoritma menciptakan tren wisata dengan kecepatan yang bahkan melebihi pembangunan infrastruktur itu sendiri. Dalam konteks ini, Whoosh dan media sosial saling melengkapi: satu mempercepat mobilitas fisik, yang lain mempercepat mobilitas imajinasi.

Fenomena “turisme digital” ini memberi wajah baru pada Bandung. Kota yang dulu dikenal karena suasana klasik dan kesederhanaannya kini berubah menjadi arena visual yang tak henti diperbarui. Setiap sudutnya berlomba menjadi spot instagramable, seperti dinding mural, kafe bergaya minimalis, taman buatan, bahkan warung pinggir jalan pun belajar menyusun estetikanya.

Di satu sisi, hal ini menandakan vitalitas ekonomi kreatif Bandung; di sisi lain, ia menimbulkan pertanyaan: apakah Bandung masih dinikmati karena keasliannya, atau karena tampilannya di layar? Banyak wisatawan kini datang bukan untuk mengalami, tetapi untuk mendokumentasikan pengalaman. Kamera ponsel menjadi kompas baru, dan algoritma menjadi pemandu wisata paling berpengaruh.

Di tengah percepatan ini, muncul pula paradoks. Kecepatan dan kemudahan yang ditawarkan oleh Whoosh justru membuat wisatawan menghabiskan waktu lebih singkat di Bandung. Banyak kafe dan toko oleh-oleh mencatat bahwa pengunjung datang silih berganti tanpa banyak berinteraksi atau berlama-lama. Mereka tiba dengan ekspektasi tinggi, memotret, lalu pergi.

Fenomena ini disebut beberapa peneliti sebagai “wisata kilat” (instant tourism), di mana perjalanan bukan lagi tentang pengalaman mendalam, melainkan tentang pencapaian checklist visual. Bandung, yang dulu dikenal dengan aura santainya, kini bergerak di bawah tekanan ritme cepat pengunjung yang datang dan pergi seperti arus data di dunia digital.

Bagi sebagian warga Bandung, perubahan ini membuka peluang baru. Banyak pelaku usaha mikro dan kreatif memanfaatkan arus wisata singkat ini dengan membuat produk-produk cepat saji, baik secara literal maupun simbolik. Muncul konsep pop-up market, kafe kontainer yang buka musiman, serta pengalaman wisata “sehari jadi” seperti tour ke kawasan Pangalengan atau Lembang dengan paket lengkap dari TikTok Shop.

Digitalisasi memungkinkan skala promosi yang dulu tak terbayangkan. Anak muda Bandung kini bisa menjual pengalaman lokalnya secara global dengan hanya bermodal kamera ponsel dan koneksi internet. Dalam arti tertentu, Bandung menjadi laboratorium turisme kreatif yang paling hidup di Indonesia.

Masa Depan Turisme Bandung

Perkembangan ini juga menghadirkan tantangan serius dalam tata kelola kota. Infrastruktur publik Bandung masih belum sepenuhnya siap menampung lonjakan mobilitas harian dari wisatawan cepat. Stasiun Tegalluar dan Padalarang, misalnya, masih berjarak cukup jauh dari pusat kota, sehingga menciptakan kebutuhan transportasi lanjutan yang belum efisien.

Lalu lintas di akhir pekan tetap padat, parkir sulit, dan kawasan wisata seperti Lembang sering kali penuh sesak. Fenomena ini memperlihatkan bahwa percepatan akses belum tentu berbanding lurus dengan kualitas pengalaman wisata. Kecepatan transportasi tanpa perencanaan ruang bisa menciptakan “urban congestion” yang lebih kompleks daripada sebelumnya.

Selain itu, digitalisasi turisme juga menimbulkan efek homogenisasi pengalaman. Banyak tempat di Bandung kini tampak serupa satu sama lain: desain kafe yang mirip, menu yang hampir identik, bahkan gaya berpakaian pengunjung yang mengikuti tren daring. Bandung yang dulu dikenal karena karakter unik tiap kawasannya, seperti Braga dengan kolonialismenya, Dago dengan hawa seninya, dan Lembang dengan alamnya, perlahan terserap dalam pola estetik global yang seragam. Ketika semua tempat berusaha “terlihat bagus di foto,” maka yang hilang adalah nuansa lokal dan spontanitas yang dulu membuat Bandung begitu memesona.

Di sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa integrasi antara transportasi cepat dan digitalisasi membawa dampak positif terhadap pemerataan ekonomi. Kawasan yang dulu relatif sepi, seperti Pangalengan dan Rancabali, kini menjadi primadona berkat kombinasi promosi media sosial dan aksesibilitas baru.

Wisatawan yang sebelumnya hanya mengenal Dago atau Cihampelas mulai menjelajah ke wilayah selatan Bandung untuk mencari suasana baru. Ini membuka peluang bagi desa wisata dan ekonomi lokal, terutama bagi generasi muda yang memilih tinggal dan berwirausaha di daerahnya sendiri. Dalam konteks ini, turisme digital berperan sebagai agen desentralisasi, dengan mendistribusikan perhatian dan keuntungan ke area yang lebih luas.

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah Bandung siap menyambut wisatawan, melainkan seperti apa bentuk turisme yang ingin dipertahankan. Kota ini selalu memiliki dua wajah: yang satu menatap masa depan dengan semangat inovasi, yang lain menoleh ke masa lalu dengan nostalgia yang lembut.

Dalam kecepatan kereta dan derasnya arus data, Bandung berisiko kehilangan keseimbangannya. Bila semua hal harus cepat, indah, dan viral, maka ruang untuk kontemplasi dan kedekatan manusiawi perlahan menyempit. Padahal, justru di situlah daya tarik Bandung yang sesungguhnya; kemampuannya membuat orang merasa “pulang,” meski hanya sebagai tamu.

Barangkali, yang perlu dipertanyakan bukan seberapa cepat kita bisa sampai ke Bandung, melainkan seberapa lama kita mau tinggal untuk benar-benar merasakannya. Kecepatan adalah anugerah, tetapi tanpa arah yang jelas, ia bisa mengikis makna perjalanan itu sendiri. Bandung, dengan segala perubahan yang sedang berlangsung, menjadi cermin bagi banyak kota lain di Indonesia: bagaimana menghadapi modernitas tanpa kehilangan jiwa. Kereta cepat dan algoritma media sosial hanyalah alat; yang menentukan masa depan turisme Bandung adalah bagaimana manusia menggunakannya; apakah untuk mempercepat kedekatan, atau sekadar memperpendek jarak.

Kini, di setiap akhir pekan, ketika deretan penumpang turun dari Whoosh dan mengisi trotoar kota, Bandung menyambut mereka dengan dua wajah: yang baru dan yang lama. Di antara suara kamera ponsel dan aroma kopi dari kafe baru di sudut jalan, masih tersisa getar yang sama dengan Bandung tempo dulu, sebuah kota yang hidup dari kehangatan dan kreativitas warganya.

Turisme boleh berubah, tapi daya tarik Bandung selalu ada pada kemampuannya membuat siapa pun merasa bagian dari kisahnya. Dalam kecepatan yang terus meningkat, mungkin itulah yang perlu diingat: bahwa perjalanan sejati bukan tentang sampai dengan cepat, melainkan tentang menemukan makna di setiap langkah yang dilewati.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//