Pemkot Bandung Memastikan Pelarangan Pembakaran Sampah dengan Insinerator Kecil
Insinerator menghasilkan residu atau polusi yang penanganannya tidak sederhana. Riset ilmiah menunjukkan insinerator dapat mencemari makanan dan lingkungan hidup.
Penulis Iklima Syaira 15 November 2025
BandungBergerak - Pemerintah Kota Bandung memastikan pelarangan penggunaan insinerator atau tungku bakar sampah berkapasitas kecil di lingkung Rukun Warga (RW). Pendekatan pemilahan akan dijadikan prioritas lewat skema perekrutan lebih dari 1.500 orang petugas pemilah sampah dengan gelontoran anggaran hingga 23 miliar rupiah pada tahun 2026 mendatang.
Wali Kota Bandung Muhammad Farhan menegaskan pihaknya menolak permintaan sejumlah RW untuk membangun insinerator berkapasitas sekitar 100 kilogram. Menurutnya, insinerator bukan solusi sederhana seperti yang kerap dibayangkan. Selain proses perizinan dan administrasi yang panjang, teknologi ini menghasilkan residu atau polusi yang harus ditangani dengan benar. Operasional insinerator juga membutuhkan energi besar, sekitar 3.000 watt, serta lahan luas untuk membangun instalasi yang layak.
“Kita suruh bongkar. Nggak boleh, jangan (insinerator RW). Kalau kapasitasnya kecil nggak, tapi kalau kapasitasnya besar, industri,” tutur Farhan dalam diskusi publik bertajuk “Insinerator vs Pemilahan Sampah: Mencari Solusi untuk Darurat Sampah Bandung” di Perpustakaan Bunga di Tembok, Rabu, 12 November 2025 sore.
Diskusi yang berlangsung hampir tiga jam itu dihadiri oleh warga dan komunitas-komunitas pegiat lingkungan dengan beragam latar belakang. Dalam sesi tanya-jawab, mereka menyatakan secara jelas keberpihakan pada upaya-upaya memilah sampah dibandingkan membakar dengan insinerator.
Penggunaan insinerator untuk menangani masalah sampah di Bandung memunculkan kontroversi. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah menyetujui penggunaannya hingga level Tempat Pengolahan Sementara (TPS). Oleh para pegiat lingkungan dan tidak sedikit warga, kebijakan ini disebut tidak tepat. Selain mengancam dari sisi kesehatan dan lingkungan, pilihan membakar sampah dikhawatirkan bakal menggembosi program dan inisiatif pemilahan sampah yang sudah dijalankan oleh warga, komunitas, dan insitusi swasta, termasuk kampus.
Larangan penggunaan insinerator atau tungku bakar kecil sejalan dengan aturan terbaru yang diterbitkan oleh pemerintah pusat. Farhan menyebut langkah ini penting untuk memastikan formulasi penanganan residu insinerator berjalan sesuai ketentuan.
Kendati demikian, Farhan menyebut bahwa Pemkot Bandung akan tetap memakai pendekatan thermal dengan skala yang lebih besar atau skala industri. Alasannya, insinerator skala industri dianggap lebih siap dalam mengelola residu dan polusi. Ditambah, produksi sampah kota yang masih besar.
Sampah masih menjadi salah satu masalah yang paling dikeluhkan warga Bandung. Sat ini volume timbulan sampah mencapai 1.496,3 ton per hari. Dari jumlah tersebut, sekitar 1.000 ton dibuang ke TPA Sarimukti, sementara 496,3 ton sisanya diolah melalui berbagai metode, mulai dari Kawasan Bebas Sampah (KBS), bank sampah, Reduce to Fertilizer (RTF), budidaya maggot, kompos mandiri, hingga pembakaran dengan insinerator.

Tidak Memenuhi Standar
Kritik terhadap penggunaan insinerator datang dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat. Jeffry Rohman, aktivis Walhi Jabar, menilai upaya Pemkot Bandung menghadirkan insinerator atau tungku bakar sebagai solusi cepat menunjukkan kegamangan pemerintah dalam mencari solusi yang benar-benar ramah lingkungan.
“Karena paradigmanya belum bisa berubah, maka kegamangan itu muncul,” jelas Jeffry.
Ia menambahkan, pilihan menggunakan insinerator kerap dianggap sebagai jalan cepat tanpa kajian yang memadai. Padahal, regulasi penggunaan teknologi termal sudah lengkap mulai dari undang-undang hingga peraturan menteri. Persoalannya justru ada pada implementasi, penegakan hukum, dan pengawasan.
“Pada saat itu tidak dijalankan kembali lagi gamang, tidak mau ribet dan tanpa ilmu,” tutur Jeffry.
Jeffry menilai sejumlah tungku bakar yang beroperasi di Bandung tidak memenuhi standar yang dipersyaratkan. Padahal, Permen Nomor 75 mengatur bahwa insinerator harus memiliki izin lingkungan, analisis AMDAL, dan standar operasional yang ketat.
“Kembali lagi bahwasannya, tungku itu yang sekarang bertebaran itu tidak memiliki standar dan jauh dari standar yang mesti dilakukan,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa perangkat yang ada di lapangan lebih tepat disebut tungku bakar, bukan insinerator, dan tetap membutuhkan izin lingkungan.

Baca Juga: Di Balik Asap Insinerator, Memahami Mengapa Mesti Memilih Jalan Panjang Memilah Sampah di Kota Bandung
Cerita Memilah Sampah di Kampung KB Aisyiyah, Mengurangi Dampak Perubahan Iklim dari Desa
Riset Ilmiah tentang Bahaya Insinerator
Sementara itu, hasil riset ilmiah menunjukkan bahwa pembakaran sampah dengan metode apa pun dapat menghasilkan abu dasar dan abu terbang (fly ash) yang tergolong limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun).
Abu dan debu pembakaran sampah mengandung logam berat, seperti merkuri, timbal, dan kadmium yang berpotensi mencemari tanah dan air tanah di sekitar area operasi. Tanpa sistem filtrasi gas buang yang memadai, seperti yang banyak terjadi di Bandung, partikel-partikel halus ini dapat terbawa angin dan mudah terhirup oleh warga. Ini berdampak buruk pada kesehatan secara jangka panjang, di antaranya memicu penyakit kanker.
Residu abu insinerator yang tidak dikelola dengan benar dapat merusak ekosistem mikroba tanah, menghambat pertumbuhan tanaman, dan mencemari rantai makanan. Selain itu, emisi CO2, dioksin, dan furan yang dihasilkan, berkontribusi signifikan terhadap pemanasan global, memperparah kondisi iklim ekstrem yang kini mulai dirasakan di Jawa Barat
Dari sisi sosial dan ekonomi, kehadiran insinerator juga mengikis peran masyarakat dalam pengelolaan sampah. Ribuan pemulung dan pekerja informal yang selama ini berperan dalam sistem daur ulang kehilangan sumber pendapatan, karena semua sampah langsung dibakar tanpa dipilah.
Padahal, menurut kajian Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) dan Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA), sistem pengelolaan berbasis pemilahan menciptakan enam kali lebih banyak lapangan kerja dibandingkan insinerator.
Selain itu, biaya operasional insinerator terbukti sangat tinggi dan tidak efisien. Berdasarkan data DLH Kota Bandung (2022), satu unit insinerator skala menengah membutuhkan solar sekitar 20-25 liter per jam untuk menjaga suhu pembakaran di atas 800 derajat celcius. Ketergantungan energi ini diprediksi membuat biaya tahunan melonjak hingga ratusan juta rupiah per unit, belum termasuk perawatan dan pengangkutan abu B3.
Dari aspek sosial, warga sekitar lokasi pembakaran sering menjadi korban kebijakan top-down. Mereka tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, sosialisasi, maupun analisis dampak lingkungan (AMDAL). Akibatnya, muncul ketimpangan ekologis, di mana beban polusi dialami oleh komunitas berpenghasilan rendah yang tinggal dekat fasilitas pembakaran.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

