Jejak Kelam Sang Pahlawan
Gelar Pahlawan seharusnya bukan alat politik, proyek romantisasi, atau pun mekanisme rehabilitasi sejarah. Gelar Pahlawan adalah cermin nilai moral tertinggi bangsa.

Abah Omtris
Musisi balada Bandung
18 November 2025
BandungBergerak.id – Setiap bangsa membutuhkan pahlawan. Begitulah premis yang sering diulang dalam narasi resmi negara. Pahlawan diperlakukan sebagai kompas moral, sebagai teladan, sebagai sosok yang menuntun perjalanan sejarah. Namun ada saat-saat ketika gelar Pahlawan bukan lagi sekadar penghargaan, melainkan alat untuk menegakkan narasi tertentu. Dan saat itulah kita harus mengajukan pertanyaan paling dasar yang selama ini dihindari: apa yang sebenarnya kita muliakan ketika menyebut seseorang sebagai Pahlawan Nasional?
Pertanyaan itu kembali bergema ketika pemerintah menetapkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Bagi sebagian orang, keputusan ini dirayakan sebagai bentuk “pengakuan sejarah”. Namun bagi banyak yang lain, pengangkatan ini membuka kembali luka yang belum pernah benar-benar sembuh. Luka yang tak bisa ditutup dengan seremoni, nisan marmer, atau pidato kenegaraan. Luka yang merentang dari pembungkaman politik, hilangnya puluhan ribu nyawa tanpa proses hukum, hingga pembusukan institusi melalui korupsi yang terlembagakan.
Dalam situasi seperti ini, sangat wajar bila kita kembali mengingat esai klasik Sanento Yuliman, Dalam Bayangan Sang Pahlawan (1968). Sanento menunjukkan bagaimana figur pahlawan sering kali dijadikan bayang-bayang besar yang membungkam kritik, menenggelamkan kompleksitas sejarah, dan menuntut rakyat untuk patuh pada versi resmi yang telah dipoles. Ia mengingatkan bahwa pahlawan yang terlalu diagungkan dapat berubah menjadi figur yang berjarak, abstrak, dan tidak manusiawi - bahkan menutup ruang untuk melihat kenyataan apa adanya.
Sekarang, lebih dari lima dekade setelah esai itu ditulis, kita kembali hidup “di bawah bayangan sang pahlawan” –kali ini dalam konteks yang jauh lebih ironis. Kita diminta menerima bahwa seorang tokoh yang memimpin rezim otoriter selama 32 tahun, yang menciptakan jaringan korupsi terbesar dalam sejarah republik, yang meninggalkan utang luar negeri yang membebani generasi baru, layak diberi gelar Pahlawan.
Baca Juga: Gelar Pahlawan Nasional Soeharto dan Reformasi 1998
Pahlawan Tanpa Dosa, Korban Tanpa Nama: Komedi Gelap dari Negeri Bernama Indonesia
Gelar Pahlawan Soeharto dan Jalan Keluar Bourdieu dari Legitimasi Borjuis
Ini bukan soal membenci Soeharto. Ini soal bagaimana bangsa ini membaca sejarahnya sendiri.
Sebagian argumen pembelaan selalu berputar pada hal yang sama: stabilitas, pembangunan, pengendalian harga, keberhasilan program pangan, dan modernisasi. Narasi tentang “ketegasan pemimpin” dipromosikan sebagai syarat kemajuan. Namun, sejarah modern seharusnya mengajarkan bahwa stabilitas yang dibangun di atas ketakutan bukanlah stabilitas tapi "kepatuhan", sebuah konstruksi rapuh yang suatu saat pasti runtuh. Dan rezim Soeharto telah membuktikannya. Ketika krisis 1997 melanda, sistem yang tampaknya kokoh itu runtuh hanya dalam hitungan bulan, meninggalkan kemiskinan struktural yang masih terasa hingga kini.
Pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional berarti negara sedang mengirim sinyal yang jauh lebih dalam: bahwa pergulatan panjang demokrasi, pengorbanan aktivis, mahasiswa, jurnalis, petani, buruh, dan korban pelanggaran HAM dapat dinegosiasi ulang demi romantisasi masa lalu. Bahwa sejarah dapat diredam menjadi nostalgia.
Kita sedang menyaksikan bagaimana sebuah bangsa mulai lupa pada nilai yang pernah diperjuangkannya sendiri.
Tentu saja, sejarah tidak hitam-putih. Tidak ada pemimpin yang sepenuhnya tanpa jasa. Namun gelar Pahlawan Nasional bukanlah pengakuan parsial. Ia bukan catatan kaki. Ia adalah stempel moral tertinggi yang bisa diberikan negara kepada seorang individu. Karena itu, pertanyaannya bukan apakah Soeharto pernah berbuat sesuatu yang baik, melainkan apakah jasa itu mampu menghapus atau mengimbangi jejak kelam yang ditinggalkannya.
Bila korban petrus, korban perampasan tanah, korban pembungkaman pers, korban pembantaian politik, korban penghilangan paksa, dan generasi yang hidup dalam ketakutan tidak kita masukkan ke dalam pertimbangan moral, maka kita sedang mengkhianati prinsip paling dasar dari penulisan sejarah: bahwa sejarah harus berpihak pada mereka yang tertindas, bukan kepada mereka yang paling kuat.
Di sinilah soalnya: gelar Pahlawan bukan hanya penghargaan terhadap seseorang, tetapi juga penegasan terhadap arah moral bangsa.
Apakah bangsa ini memilih untuk mengingat atau memilih untuk melupakan ?
Dalam konteks hari ini, pemberian gelar Pahlawan juga tidak bisa dilepaskan dari gejala yang lebih luas: menguatnya romantisisme terhadap figur kuat. Di tengah kegagalan institusi demokrasi dalam melayani rakyat, muncul kerinduan terhadap pemimpin yang “tegas”, “kuat”, dan “tanpa kompromi”. Kerinduan ini, bila tidak diimbangi dengan refleksi kritis, dengan mudah dapat berubah menjadi bentuk-bentuk baru otoritarianisme.
Soeharto, dalam narasi tertentu, dibayangkan sebagai sosok “Bapak Pembangunan”. Tetapi dalam pengalaman banyak orang, ia adalah simbol dari hal yang sebaliknya: hilangnya ruang bebas, hilangnya suara warga, hilangnya keadilan. Menjadikannya pahlawan berarti menghapus seluruh lapisan pengalaman tersebut, dan menggantinya dengan narasi tunggal yang indah tapi palsu.
Bangsa yang sehat tidak menutupi jejak kejahatannya sendiri. Bangsa yang matang justru tumbuh dari kemampuannya menatap masa lalunya secara jujur, tanpa menutupi noda yang ada.
Gelar Pahlawan seharusnya bukan alat politik, bukan proyek romantisasi, dan bukan mekanisme rehabilitasi sejarah. Gelar pahlawan harus menjadi cermin nilai moral yang dijunjung tinggi oleh sebuah bangsa. Bila kita sembarangan menempatkan seseorang ke dalam posisi itu, maka kita sedang merusak cermin itu sendiri.
Dalam hal Soeharto, masalahnya bukan sekadar perdebatan akademis, melainkan tanggung jawab moral yang akan diwariskan kepada generasi mendatang. Apa yang akan kita katakan kepada para korban ? Kepada keluarga mereka yang menunggu keadilan selama puluhan tahun ? Apakah kita akan berkata bahwa penderitaan mereka tidak cukup penting dibanding keberhasilan “membangun jalan” atau “menjaga stabilitas” ? Apakah itu definisi pahlawan menurut bangsa ini ?
Kita membutuhkan keberanian, bukan sekadar ketenangan. Kita membutuhkan kejujuran sejarah, bukan nostalgia. Kita membutuhkan pahlawan yang benar-benar mewakili nilai kemanusiaan, bukan yang hanya memenuhi syarat administratif.
Pada akhirnya, setiap gelar Pahlawan adalah pilihan politik dan pilihan moral. Dan tepat di sinilah kita harus berhati-hati. Sejarah telah berkali-kali membuktikan bahwa bangsa yang salah memilih pahlawannya akan tersesat oleh bayang-bayangnya sendiri.
Mungkin inilah saatnya kita mengulang kembali pertanyaan yang diajukan Sanento Yuliman lebih dari setengah abad lalu: apa yang kita cari dalam sosok yang kita sebut pahlawan –keteladanan, atau sekadar tempat berlindung dari kegagalan kita memahami masa lalu? Sebab gelar Pahlawan yang tidak berangkat dari kebenaran tidak akan pernah melahirkan kebanggaan. Ia hanya akan menjadi bayang-bayang kelam yang mengikuti kita tanpa pernah memberi cahaya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

