Musuh Imajinatif Negara
Praktik pelabelan ataupun common enemy seperti muncul kembali dan akan digunakan lagi untuk meredam kritik dan protes publik.

Farouq Syahrul Huda
Alumni Program Studi Hukum Pidana Islam UIN Surakarta.
24 November 2025
BandungBergerak.id – Semenjak diksi “makar” dan “terorisme” keluar dari mulut Presiden Prabowo Subianto, semenjak saat itulah perburuan aktivis dan demonstran bulan Agustus 2025 di kota-kota besar di Indonesia dimulai. Salah satu kawan dekat saya, Ronny Nur Cahyo dari Ampel Boyolali akhirnya juga menjadi korban penangkapan polisi di minggu terakhir bulan Oktober 2025 pada jam dua pagi dini hari di rumahnya saat ia sedang berbaring tidur. Penangkapan Ronny dilakukan oleh anggota kepolisian Polresta Surakarta tanpa prosedur penangkapan yang resmi dan sah, serta penetapan status tersangka yang terburu-buru dengan tuduhan tindakan anarkis saat demo berlangsung.
Interpretasi dan etimologi tentang “anarkisme” di Indonesia dipahami dengan salah kaprah, setidaknya semenjak Orde Baru berkuasa. Istilah tersebut selalu diidentikkan dengan kerusuhan, tindak kekerasan, perusakan fasilitas publik, dan lain-lain. Sudah banyak tulisan dan artikel yang menjelaskan secara terminologi dan historis mengenai anarkis, anarkisme, dan anarko. Inilah pentingnya para pejabat negara, aparat, dan seluruh pegawai pemerintahan membaca sejarah ideologi dunia dan pemikiran para tokoh-tokoh yang berkaitan dengan istilah-istilah tersebut, sehingga tidak latah mengucapkan bahwa aksi demonstrasi selalu berimplikasi dengan anarkisme. Pernyataan pejabat publik yang “ngawur” tersebut bisa berakibat fatal bagi pemahaman opini publik tentang anarkisme. Alih-alih para politikus membaca dan memberikan pendidikan politik yang benar pada masyarakat, justru malah menyesatkan dan mendistorsi definisi yang sebenarnya.
Sama halnya dengan paham komunisme setelah para kader dan simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia) dibunuh secara massal dan Presiden Sukarno dilengserkan. Pemahaman komunisme di Indonesia dijungkirbalikkan menjadi ideologi antiagama, ateisme, bertentangan dengan Pancasila, dan sebagainya. Prabowo mengadopsi cara berpolitik Presiden Soeharto dalam hal meredam kritik dan protes publik, yaitu dengan cara menstempel/mencap demonstran dengan label-label yang dianggap “membahayakan” stabilitas politik ataupun kedaulatan negara, semacam common enemy. Tentu kita juga ingat ketika Sukarno menggunakan diksi “asing” untuk mengasosiasikan adanya bahaya imperialisme dan kolonialisme gaya baru yang nantinya disebut Nekolim. Prabowo juga sama menggunakan istilah itu dengan sebutan yang lebih tendensius seperti “antek asing”, lalu apa bedanya Prabowo dengan Sukarno?
Baca Juga: Mungkinkah Ketakutan ini Bukan Kebetulan tapi Strategi Kekuasaan?
Pahlawan Tanpa Dosa, Korban Tanpa Nama: Komedi Gelap dari Negeri Bernama Indonesia
Jejak Kelam Sang Pahlawan
Musuh Bersama dan Realitas Ancaman Asing
Sukarno jelas bahwa ia sebagai presiden benar-benar menghadapi ancaman nyata dari asing yang ia sebut sebagai Nekolim. Di masa Perang Dingin, Amerika Serikat (AS) berkali-kali melakukan usaha untuk menjatuhkan Sukarno dari kursi jabatan presiden. Berbagai operasi klandestin yang dilakukan CIA (badan intelijen milik AS) terhadap kekuasaan Sukarno, membuat Sukarno makin yakin bahwa AS berusaha untuk mendongkelnya. Salah satu yang paling dikenal dalam sejarah adalah pemberontakan PRRI/Permesta di tahun 1957-1958 yang di mana ada campur tangan CIA di belakangnya, CIA mendanai dan memasok senjata kepada para perwira militer yang melakukan pemberontakan untuk membentuk pemerintahan tandingan sebagai bentuk protes terhadap pemerintahan pusat.
Beberapa orang sipil juga terlibat dalam pemberontakan tersebut, seperti Sumitro Djojohadikusumo yang tak lain adalah ayah kandung Prabowo Subianto dan Sjafruddin Prawiranegara salah satu pimpinan dari Partai Masyumi. Pemberontakan tersebut berhasil ditumpas oleh militer di bawah perintah Presiden Sukarno dan menemukan fakta bahwa diam-diam CIA ikut serta dalam usaha pemberontakan tersebut. Selanjutnya, dibubarkanlah Partai Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) karena terindikasi bahwa kedua partai tersebut juga terlibat dalam pemberontakan. Meski begitu, pembubaran kedua partai tersebut memberi dampak berkurangnya oposisi di masa pemerintahan Sukarno, terlebih lagi ketika Sukarno mengeluarkan dekrit untuk membubarkan badan Konstituante dan beranjak pada sistem Demokrasi Terpimpin yang berlanjut pada konflik dingin antara Angkatan Darat dan PKI.
Lalu bagaimana dengan masa pemerintahan Soeharto? Meskipun PKI sudah dibubarkan dan anggotanya dibunuh lalu sebagian dipenjara, Soeharto tetap menggunakan isu “bahaya laten komunisme” untuk meredam kritik dan memperkuat kekuasaannya. Setiap ada aksi protes, maka langsung dituduh sebagai komunis ataupun makar dan setelah label itu disematkan pada aktivis, perburuan dan penangkapan terjadi di mana-mana seperti yang terjadi pada Tragedi Malari tahun 1974. Sepuluh tahun kemudian, kekerasan terhadap warga sipil kembali terulang dengan pola yang hampir sama. Soeharto menggunakan Pancasila untuk mereduksi segala paham atau ideologi yang mengganggu kekuasaannya. Dengan mengatasnamakan Asas Tunggal Pancasila, Soeharto membenarkan tindakan kekerasan tersebut seperti yang terjadi pada peristiwa Tanjung Priok tahun 1984, yang menurut Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) peristiwa tersebut menimbulkan korban jiwa sebanyak 23 orang dan korban luka-luka sebanyak 55 orang, bahkan kesaksian dari para korban yang selamat mengatakan bahwa jumlah orang yang tewas lebih dari seratus orang.
Kebrutalan rezim Orde Baru juga tiba pada masyarakat Timor Leste, menamai diri dengan Operasi Seroja dengan dalih adanya ancaman komunisme dari Partai Fretilin di perbatasan pada 1975, Soeharto melalui militernya membantai tiga ratus ribu orang. Tak hanya itu, pelanggaran HAM juga terjadi lagi di Timor Leste yang kemudian dikenal sebagai Tragedi Santa Cruz di tahun 1991, peristiwa tersebut memakan korban kurang lebih 250 orang tewas di kejadian tersebut. Begitu besarnya dampak dari akumulasi imajinatif untuk menciptakan common enemy dari seorang diktator yang diromantisasi untuk melanggengkan kekuasaannya, tentunya masih banyak kejahatan Soeharto yang tidak akan cukup dituliskan di esai ini.
Kebiasaan yang Berulang
Praktik pelabelan ataupun common enemy ini juga terlihat pada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pasca-Reformasi. Hal yang paling santer dalam gejolak politik di masa kekuasaan Jokowi adalah isu khilafah dan radikalisme yang diasosiasikan kepada kelompok muslim sayap kanan, lebih spesifiknya kelompok ini merujuk pada organisasi kemasyarakatan (ormas) seperti FPI (Front Pembela Islam) dan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Jika di era Orde Baru, musuh bersamanya adalah hantu-hantu komunisme (kiri), maka di era Jokowi, kelompok kananlah yang dianggap sebagai “ancaman”. Seperti halnya dengan komunisme, paham dan pemikiran khilafah dianggap bertentangan dengan Pancasila. Alasan utamanya adalah potensi dan orientasi untuk membentuk negara Islam, gerakan HTI berimplikasi pada stigmatisasi tersebut. Tentunya bagi saya ini mustahil dan tidak masuk akal, bagaimana caranya mereka mengganti sebuah sistem di tengah-tengah karakter masyarakat yang majemuk? Ataupun meyakinkan parlemen dan lembaga yudikatif untuk mengubah arah ideologi sebuah bangsa?
Dari segi demokratis pun imajinasi tentang negara Islam mustahil untuk terwujud. Andaikan gerakan itu diimplementasikan dalam bentuk kudeta atau angkat senjata, dalam hitungan detik saja gerakan mereka akan ditumpas dengan mudah oleh tentara dan kepolisian. Dalam sejarah perebutan kekuasaan secara paksa di seluruh negara, justru militerlah yang paling berpotensi melakukan hal tersebut karena mereka memiliki peralatan yang sangat lengkap untuk mendukung aksi kudeta bahkan makar. Alasan paling sederhananya adalah karena merekalah yang mempunyai otoritas untuk bisa memegang senjata dan membunuh, inilah kenapa ada pendikotomian dan simplifikasi antara wewenang militer dan sipil.
Dalam konteks pembungkaman dan pelabelan terhadap oposisi, perilaku politik Habib Rizieq Shihab dalam kerasnya mengkritik rezim Jokowi juga berimplikasi pada kriminalisasi Rizieq Shihab dan pembubaran FPI, hingga terjadinya kasus kejahatan luar biasa oleh aparat yang dialami oleh enam laskar FPI di kilometer lima puluh yang mengakibatkan terbunuhnya keenam laskar tersebut. Kasus tersebut akhirnya dikategorikan sebagai pelanggaran HAM akibat tindakan extrajudicial killing yang dilakukan oleh aparat kepolisian, pelaku sempat diadili tetapi pada akhirnya malah mendapatkan vonis bebas. Tuduhan dan fitnah pun juga seraya dilontarkan kepada para laskar tersebut atas ditemukannya barang bukti seperti pistol dan senjata tajam, sebagai alasan barang-barang tersebut digunakan para laskar untuk melawan dan mengancam aparat kepolisian yang menguntit rombongan Rizieq Shihab.
Ancaman Nyata di Masa Kini
Di rezim Prabowo Subianto yang sekarang, metode dan trik musuh imajinatif ataupun common enemy seperti muncul kembali dan akan digunakan lagi untuk meredam kritik dan protes publik. Kematian Reno dan Farhan, dua demonstran yang dikabarkan menghilang, seperti mengingatkan lagi bagaimana praktik-praktik penghilangan dan pembunuhan sering terjadi di era Soeharto. Saya berasumsi bahwa Reno dan Farhan dihilangkan dan kemudian dibunuh, tentu ini perlu adanya investigasi dan pembuktian lanjutan. Tetapi prasangka dan kecurigaan saya tak bisa menerima kematian Reno dan Farhan dengan wajar. Di akun X milik Muhidin M. Dahlan beliau memosting tweet tentang kematian Reno dan Farhan yang menghubungkan peristiwa penemuan kedua jenazah tersebut dengan peristiwa yang pernah terjadi pada mahasiswa Universitas Trisakti Mei 1998. Muhidin mengatakan dalam tweet-nya, “Sejarah itu berpola: ‘meletakkan’ jenazah!” dengan dilengkapi potongan kliping dari koran pada masa itu.
Apa yang terjadi pada kawan saya, Ronny. Tentunya juga dirasakan oleh para aktivis lain yang ditangkap dan ditahan, Ronny masih beruntung karena tak senasib seperti Reno dan Farhan. Jika praktik seperti ini terus terjadi lagi di rezim Prabowo maka ketenangan dan rasa aman warga negara yang kritis menjadi terancam dan dihinggapi rasa was-was serta perasaan takut untuk menyampaikan kritik terhadap penguasa. Tidak menutup kemungkinan hal-hal tersebut bisa terjadi lagi pada saya dan kita semua di kemudian hari, negara bisa sewenang-wenang dalam mengambil tindakan akibat tingginya praktik impunitas di kalangan mereka sendiri. Kejahatan tanpa hukuman dan keadilan inilah yang akan membawa Indonesia menjadi negara brutal yang represif terhadap rakyatnya dan membentuk perilaku elite untuk dengan mudahnya menghilangkan nyawa masyarakatnya sendiri, sehingga lama-lama akan membuat hal tersebut menjadi wajar dan lumrah.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

