Biennale Jawa Barat #4: Melihat Representasi Wajah Kelokalan
Pameran Biennale Jawa Barat #4 mengajak 36 seniman untuk menunjukkan perkembangan wajah berkesenian di Jawa Barat.
Penulis Bawana Helga Firmansyah27 November 2025
BandungBergerak.id – Program dua tahunan Bijaba atau Biennale Jawa Barat #4 tahun ini mengambil tema Tekad digelar di Thee Huis Gallery, Taman Budaya Jawa Barat Jl. Bukit Dago Selatan No.53 A. Ajang pameran tersebut mengajak publik mengenal lebih dalam wacana seni rupa tumbuh dan berkembang di tiap daerah sebagai identitas Jawa Barat.
Perhelatan Bijaba #4 yang didukung pemerintah provinsi Jawa Barat diselenggarakan selama dua minggu dari tanggal 29 Oktober hingga 17 November 2025. Selain pameran seni rupa, biennale Jawa Barat turut melibatkan disiplin seni lain seperti performa teatrikal, musikalisasi puisi, serta menghadirkan serangkaian kegiatan workshop hingga diskusi seni.
“Pameran ini diadakan dua tahun sekali untuk melihat si seni rupa atau karya seni di Jawa Barat itu sendiri dalam konteks lokal,” kata Raindra, selaku pengurus Theehuis Gallery.
Bijaba #4 melibatkan 36 seniman dari berbagai daerah Jawa Barat. Pameran yang dikuratori Diyanto ini menampilkan berbagai jenis media penciptaan karya. Dalam pengantar kurasinya, ia menyatakan bahwa pameran ini dapat dikatakan sebagai upaya untuk membaca kecenderungan pemikiran para seniman serta kemampuannya dalam menyerap gagasan berdasarkan perbedaan budaya dan fragmentasi kelas sosial.
Menurutnya, keragaman karya dalam pameran Bijaba #4 memungkinkan publik untuk melihat lingkup karya yang lebih luas. Tidak hanya sebagai bentuk keragaman kreativitas, melainkan mengukur bagaimana karya-karya seniman dari berbagai kawasan Jawa Barat mampu mengimbangi ekspresi personal, kultural maupun isu sosial.
Pada karya berjudul Seni Sampah Seni Hutan Babakan Siliwangi (2025), Tisna Sanjaya menyoroti krisis sampah yang melanda Kota Bandung. Tisna menggunakan sampah sebagai suara yang keras sebagai penyadaran melalui seni pada pemerintah. Melalui dokumentasi yang terpajang, karya performance art ini menunjukkan bagaimana seniman berkarya langsung di area tumpukan sampah tepat di pintu hutan kota Babakan Siliwangi Bandung.

Karya Tisna juga menampilkan etsa, sebuah teknik cetak yang menggunakan pelat logam yang digores, memvisualkan figur manusia dan beberapa komponen alam. Secara luas, karya monokrom tersebut didominasi dengan berbagai garis dan tulisan. Sementara pada kanvas, yang didominasi warna yang cenderung kusam, menampilkan beberapa objek sampah yang ditumpahkan langsung di lokasi pertunjukkan.
Menyoroti persoalan sampah yang mengganggu lingkungan kota, Tisna berpendapat bahwa seni tak boleh berhenti dari sifat personal, melainkan harus jadi perubahan sosial. Bahwa kekuatan personal harus meluas menjadi perubahan kebudayaan.
Adapun karya Irawan Karsono yang berjudul Pram, Ternyata Menulis itu Sulit (2025), secara khusus mengambil kutipan sastrawan ternama, Pramoedya Ananta Toer: “Menulislah, karena tanpa menulis engkau akan hilang dari pusaran sejarah.”
Irawan meletakkan kutipan tersebut di samping objek kawat jeruji yang menjuntai dan mengikat sebuah mesin tik. Kawat tersebut terkesan melilit segala aspek pada objek, menyelinap di setiap sela, menghilangkan fungsi objek yang menggantung miring tepat di atas kawat tajam yang melingkar dan menumpuk pada dasar lantai.

Baca Juga: Pameran Menyoal Ruang, Identitas, dan Ekspresi di Pasar Antik Cikapundung
Pameran Bandung Photography Month 2025: Merenungkan Karya-karya Fotografi di Pinggir Jalan
Silih Asih, Asah, Asuh
Dengan tema yang tidak mengikat, secara keseluruhan pameran ini membawa publik untuk melintasi berbagai gagasan dari tiap seniman dengan melampaui media konvensional sebagai alat untuk mengangkat ekspresi personal dan respons terhadap suatu isu. Meskipun jika melihat secara luas antara karya satu dan lainnya, ketimpangannya masih terasa.
Memperkuat tema Tekad, Bijaba #4 menggunakan konsep “Silih Asih, Asah, Asuh” sebagai landasan hidup bersama dan konstruksi nilai kemanusiaan turut beririsan dengan kehendak, pikiran, dan tindakan manusia yang saling berkaitan dan terkoneksi –pola pengaturan diri yang bisa disebut Triangtu. Berdasarkan catatan kuratorial, pameran ini turut bersinggungan dengan wacana tradisi serta sisi intelektualitas untuk menggali “kekhasan”.
“Di Bijaba #4 kita ingin melihat gejala kelokalan dari falsafah Sunda: silih asih, asah, asuh. Bagaimana kita merepresentasikan si Jawa Barat itu sendiri,” kata Raindra.
Perhelatan Bijaba #4 memiliki kesan terlalu kecil dan singkat untuk Jawa Barat yang memiliki lingkup wilayah yang luas. Raindra berharap ajang selanjutnya bisa mengembangkan dan memperlihatkan wajah seni rupa Jawa Barat dan karya seni yang berdampak pada masyarakat dan senimannya sendiri.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

