• Berita
  • Meneguhkan Peran Perempuan di Garis Depan Krisis Ekologis dan Konflik Agraria

Meneguhkan Peran Perempuan di Garis Depan Krisis Ekologis dan Konflik Agraria

Perempuan sering kali harus memikul beban ganda di tengah krisis ekologis yang dipicu kebijakan rezim yang tidak ramah lingkungan.

Diskusi Koalisi Bandung Lautan Damai dan Iteung Gugat, di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Jumat, 28 November 2025. (Foto: Instagram KawanBergerak)

Penulis Awla Rajul4 Desember 2025


BandungBergerak - Dalam ancaman krisis ekologis dan konflik agraria, perempuan memikul beban ganda yang kian berat untuk menghidupi keluarga dan mengurus rumah tangga. Dibutuhkan intervensi kebijakan berperspektif gender untuk mengakui dan memperkuat peran penting mereka sebagai aktor yang berdaya. 

Manajer Kampanye dan Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat Siti Hannah Alaydrus menyebut, rezim di Indonesia mengedepankan eksploitasi sumber daya ekstraktif sebagai sumber ekonomi yang dibanggakan, dan terbukti telah menyebabkan krisis ekologis. Dampaknya, kelompok marginal, termasuk perempuan, semakin rentan dan terpinggirkan. 

“Ini berujung pada ketidakadilan ekologis yang menambah orang-orang yang dari awal sudah terpinggirkan, seperti perempuan, anak-anak, disabilitas, dan kaum marginal lainnya, semakin merasakan ketimpangan,” ujarnya dalam diskusi bertajuk “Perempuan dalam Krisis Ekologis: Dampak Konflik Agraria dan Ekstraktivisme di Indonesia” di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Jumat, 28 November 2025.

Diskusi yang dimodetarori oleh Sagita Asyifa ini merupakan bagian dari rangkaian peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terharap Perempuan (HAKTP) yang diselenggarakan secara kolektif oleh Koalisi Bandung Lautan Damai dan Iteung Gugat. Bersama Hannah, Wulandari hadir sebagai narasumber mewakili Perkumpulan Inisiatif. 

Hannah membeberkan, selama satu dekade belakangan, kasus konflik agraria merenggut paling banyak nyawa perempuan. Konflik juga membuat perempuan yang bertahan semakin rentan sebab mereka menghadapi beban berlapis. Misalnya, ketika lahan direbut untuk perkebunan sawit atau aktifitas tambang, perempuan secara bersamaan akan kehilangan akses pangan dan cadangan alam untuk keluarganya.

Ketika lahan yang mulanya dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan dan sumber pangan hilang, perempuan mau tak mau harus menjalani beban ganda: menghidupi keluarga sambil membantu peran suami untuk mendapatkan penghasilan. Belum lagi ketika pendapatan menipis, perempuan sering kali harus berhadapan dengan pilihan berutang. Dalam beberapa kasus lain, perempuan terpaksa bekerja ke luar negeri sebagai buruh migran untuk menambah penghasilan keluarga.

Hannah menjelaskan, intervensi kebijakan berperspektif gender yang memberi pengakuan khusus untuk peran dan kebutuhan perempuan dalam lingkungan hidup, sangat dibutuhkan. Perspektif pembangunan harus mempertimbangkan dimensi sosial, budaya, lingkungan, dan gender. Ada empat dimensi keadilan gender yang perlu dikedepankan, yaitu dimensi keadilan rekognitif (pengakuan terhadap perempuan sebagai pemangku kepentingan), dimensi keadilan distributif (distribusi merata terhadap akses, manfaat, anggaran, insentif, kompensasi, dan lain-lain), dimensi keadilan prosedural (partisipasi yang inklusif), serta dimensi keadilan remedial atau korektif (penegakan hukum ganti rugi, pemulihan lingkungan, ekonomi, dan sosial).

“Perencanaan dan pengambilan keputusan harus lewat partisipasi setara, mengarusutamakan gender. Nah ini tidak semata-mata formalitas,” 

Baca Juga: Mendiskusikan Kehidupan Orang Bajau di The Room 19: Tersisih di Laut Sendiri
Peringatan Keras dari Bencana Sumatra untuk Jawa Barat, Hentikan Alih Fungsi Hutan

Krisis Ekologis Jawa Barat 

Krisis ekologis sudah benar-benar terpampang nyata di Jawa Barat. Di daratan, deforestasi dan alih fungsi lahan memperparah bencana dan jangkauannya. Walhi Jawa Barat mencatat, per tahun 2023 luas hutan Jawa Barat tersisa sekitar 259.576 hektare. Di sisi lain, lahan kritis terus bertambah. Jawa Barat menduduki peringkat ketiga secara nasional daftar provinsi dengan luas lahan kritis, mencapai 907.979 hektare pada tahun 2021. Di kawasan pesisir, warga dihadapkan pada ancaman naiknya permukaan air laut 

Krisis ekologis di Jawa Barat diperparah oleh proyek-proyek pembangunan infrastruktur raksasa dan program energi. Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung dan Bandara Kerjatati, misalnya, menyusutkan bentang alam dan berimbas buruk bagi kelestarian lingkungan sekitar. Sementara itu, program energi, seperti pembukaan hutan untuk tanaman energi (HTE), mengubah kawasan hutan menjadi tanaman monokultur. Tanaman energi seperti Kalindra dan Gamal dijadikan bahan bakar pengganti batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), aktivitas pembangkitan listrik yang berdampak buruk untuk lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Dampak dari krisis ekologis terakumulasi dalam bencana yang semakin sering datang dan yang semakin banyak titiknya. Yang paling baru, Pangalengan di Kawasan Bandung Selatan mengalami banjir di penghujung November 2025 lalu. Sebulan sebelumnnya, hujan deras yang baru berlangsung 15 menit telah merendam Lembang di Kawasan Bandung Utara. 

Kalau kawasan Bandung Selatan dan Kawasan Bandung Utara yang terletak di ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut (Mdpl) saja bisa didera banjir, apalagi kawasan cekungan Bandung. Kawasan Kabupaten Bandung di sekitar Sungai Citarum sudah menjadi langganan banjir tahunan. Di Kota Bandung, kawasan Gedebage, Cibaduyut, dan Kopo bernasib serupa. Kawasan Cicaheum bahkan mengalami banjir bandang pada Maret 2018

Petani Jawa Barat melakukan aksi damai menolah PLTU batu bara dan biomassa, 21 Oktober 2025. (Foto: Dokumentasi Trend Asia)
Petani Jawa Barat melakukan aksi damai menolah PLTU batu bara dan biomassa, 21 Oktober 2025. (Foto: Dokumentasi Trend Asia)

Diskriminasi terhadap Perempuan Nelayan

Wulandari menceritakan bagaimana pempuan nelayan yang diwadahi lembaga Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) menghadapi persoalan redistribusi tanah untuk rakyat melalui program reforma agraria yang masih bias daratan. Perempuan tidak hanya diabaikan oleh pemerintah, tetapi juga menghadapi persoalan hak kepemilikan dan pengelolaan wilayah pesisir. Ini belum termasuk persoalan lama yang masih dihadapi perempuan, seperti diskriminasi dan keadilan gender dalam sistem.

Wulan menyebutkan, perempuan nelayan belum memiliki perlindungan dan pengakuan dari negara. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, tidak mengakui peran besar perempuan nelayan dalam rantai pasok produksi wilayah pesisir karena memberi definisi sempit sebatas penangkapan dan tidak mengakui identitas perempuan nelayan. 

“Padahal perempuan nelayan terlibat dalam proses praproduksi, produksi, dan pemasaran. Sebelum nelayan tangkap pergi melaut, perempuan terlibat dalam menyiapkan bekal dan beberapa alat yang dibawa, seperti perbekalan,” kata Wulan.

Lantas, perempuan terekslusi dari pasar kerja karena profesinya tidak diakui secara sosial dan dianggap tidak melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan perempuan. Diskriminasi yang dialami perempuan nelayan ini membuat pekerjaan mereka terasa tersembunyi. Padahal mereka melakukan pekerjaan dari seluruh rangkaian produksi wilayah pesisir.

Persoalan menjadi semakin sistematis ketika krisis iklim berlangsung. Perubahan iklim membuat hasil tangkapan nelayan menurun. Menyebabkan ketidakstabilan ekonomi yang membuat beban perempuan semakin berlipat. Ini belum berbicara masalah rentannya perempuan dieksploitasi, baik atas tubuh, pikiran, hasil kerja, maupun ruang-ruang hidupnya.

“Perempuan jadi sulit mengakses informasi terkait bacaan karena disibukkan dengan urusan rumah tangga, membuat mereka lebih rentan terhadap risiko kehilangan mata pencahariaan. Perempuan akhirnya kesulitan mendapatkan bantuan karena tidak dianggap sebagai pekerja utama di sektor perikanan,” beber Wulan.

Petani memanen bawang merah di area gusuran PSN eks proyek PLTU Indramayu 2 Desa Mekarsari, Kecamatan Patrol, Indramayu, Jawa Barat, 23 Desember 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Petani memanen bawang merah di area gusuran PSN eks proyek PLTU Indramayu 2 Desa Mekarsari, Kecamatan Patrol, Indramayu, Jawa Barat, 23 Desember 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Peringatan 16 HAKTP di Bandung

Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) adalah kampaye melawan kekerasan berbasis gender yang dilangsungkan secara internasional mulai tanggal 25 November hingga 10 Desember setiap tahunnya. Di Bandung, peringatan digarap secara kolektif oleh berbagai komunitas dan lembaga, seperti koalisi Bandung Lautan Damai (Balad), Iteung Gugat, Walhi Jabar, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Jabar, Simpul Puan, Sekodi, dan Great UPI. Ada banyak rangkaian kegiatan yang diselenggarakan di beragam lokasi, melambangkan keberagaman yang dihidupi. 

Tahun 2025 ini kampanye 16 HAKTP mengusung tema “Unite to End Digital Violence against All ”. Tema ini dipilih untuk menyoroti kekerasan berbasis gender di ruang digital. Di Indonesia, menurut data Komnas Perempuan, kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun meningkat hampir 10 persen dari tahun sebelumnya. Kekerasan seksual mendominasi sebanyak 26,9 persen dari total kasus kekerasan yang dilaporkan.

Di Bandung, kampanye 16 HAKTP menghadirkan beragam kegiatan. Selain diskusi publik yang sudah dan akan diselenggarakan dengan tema tertentu, Koalisi akan menyelenggarakan kegiatan kunjungan ke beragam rumah ibadah dan Kampung Adat Cireundeu.  

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp Kami

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//